Monday 5 January 2015

Soetomo: Dari Etno-sentris Menuju Nasion-sentris


Oleh F. X. Domini B. B. Hera

“...mengingat poela oentoek dan sifat jang specipiek dari masjarakat Indonesia, jalah jang masih berdasar atas adat dan kemaoean tolong-menolong dari orang-orang poeteranja, maka oesaha jang paling gampang dan baik oentoek mengganti dan memperbaiki masjarakat itoe kira-kira jalah jang didasarkan atas adat dan kebiasaan jang soedah ada itoe, hanja sadja dibaharoekan, dibikin modern, dan diatoer dengan pengetahoean, artinja membangoenkan masjarakat atas dasar dan perasaan cooperatief, tolong-meonolong tetapi dalam mana tentoenja masih ada tempat djoega boeat oesaha-oesaha seseorang sendiri (individueel bezit)… Dengan tjara begitoe soedah tentoe dengan sendirinja dan dengan melaloei djalan jang natuurlijk dan menoeroet evolutie, lantas dilompatilah seoatoe phase, sooatoe massa, dari kemadjoean masjarakat.”

Soetomo (dalam Tangkilisan, 2014: 139)

Kutipan di atas sengaja dibuat panjang untuk menggambarkan akumulasi pemikiran seseorang yang mengalami proses transformasi antara nilai etno-sentris dan nasion-sentris dalam identitas ke-Indonesia-annya. Faktanya dokter Soetomo (1888-1938) tidak sempat mengalami negeri yang sejak muda diperjuangkannya merdeka karena meninggal dalam umur 50 tahun. Usia muda bagi sebagian kalangan menilai. Pada zamannya, tokoh ini adalah sosok legendaris dan figur senior yang senantiasa menjadi tempat rujukan banyak aktivis pergerakan. Mempelajari riwayat hidup dan pemikirannya membuat setiap insan menemukan pembelajaran bahwa medan perjuangan politik demi kesejahteraan umum merupakan hal yang bukan mudah dan instan. Semua cita-cita membutuhkan proses dan ditempa dalam serangkaian strategi dimana setiap pilihan pasti mengandung resiko. Pada dokter Soetomo lah sebaiknya intelektual dan aktivis Indonesia di alam kemerdekaan ini belajar.


Pak Tom, Dokter Spesialis Kebangsaan
Surabaya tidak asing dengan kehidupan Soetomo. Pada masa selanjutnya, Surabaya senantiasa identik dengan dua nama Soetomo. Nama pertama ialah Soetomo yang berprofesi sebagai dokter dan memiliki sapaan akrab Pak Tom. Nama kedua ialah Soetomo yang dikenal luas dengan nama Bung Tomo (1920-1981), seorang orator sohor saat peristiwa November 1945 di Surabaya. Banyak masyarakat awam sering tertukar informasi antara Pak Tom dan Bung Tomo kala membahas sejarah Surabaya.
Soetomo yang dikenal masyhur sebagai salah seorang ‘bidan’ yang melahirkan organisasi bumiputera modern Boedi Oetomo pada tahun 1908. Peristiwa monumental tersebut menjadi tonggak sejarah kebangkitan pergerakan nasional. Periode ini menandai strategi otot yang mayoritas membuat posisi penduduk asli Bumiputera kalah dan merugi berkepanjangan diganti oleh strategi otak sebagai buah politik etis di bidang pendidikan. Latar pendidikan dan profesinya sebagai dokter yang berjiwa sosial tinggi, ia juga aktivis pendidikan bagi rakyat jelata. Seperti dokter Wahidin Soedirohoesoedo, Soetomo turut menggalang dana bagi studie fonds – lembaga penghimpun donasi bagi kemajuan pelajar bumiputera.
Ia turut mengambil langkah konstroversial dengan memilih cara kooperatif di saat sebagain besar aktivis memilih cara non kooperatif. Sekalipun jalan gerakan yang ditempuhnya kooperatif, Soetomo menolak menjadi anggota Volksraad – Dewan Rakyat bentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Semasa hidupnya, Soetomo banyak melakukan dialog dan diskusi dengan H. O. S. Tjokroaminoto, E. Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soetan Takdir Alisjahbana dan Ki Hadjar Dewantara. Soetomo turut menyerap ajaran Theosofi yang sedang kondang di kala itu dan ajarannya bersifat mendunia (universal). Ia menjadi obor inspirasi bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional yang lebih muda darinya seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan politisi kawakan M. H. Thamrin. Pemerintah Republik Indonesia secara khusus mengangkat Soetomo sebagai Pahlawan Nasional tahun 1961 (Museum Kebangkitan Nasional, 2014: 2).
Pada masa kolonial, sejarah bangsa Indonesia telah mengenal berbagai perhimpunan kaum muda terdidik dan tercerahkan di tanah jajahan yang gelisah karena kebutuhan dan minat intelektualnya tidak terpenuhi di ruang-ruang kelas formal. Ironisnya, berpuluh-puluh tahun sesudah merdeka dari penjajahan Eropa pun, berbagai masyarakat bekas jajahan itu tetap saja menghadapi kemiskinan dan pemiskinan intelektual pada taraf yang sangat mencemaskan. Pada tahun 1938 kitab kumpulan surat Kartini diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh R. Sosro Soegondo, bekas guru bahasa Melayu di Yogyakarta dan atas prakarsa Imam Supardi. Kata pengantar edisi bahasa Jawa dari dokter Raden Soetomo, pemimpin Boedi Oetomo dengan judul mBoekak Pepeteng (Hera, 2013: 90).

Pemikiran Soetomo menurut Paul van der Veur (dalam Tangkilisan, 2014: 136) dapat dipetakan menjadi delapan pokok, yakni:
1.      Persatuan Indonesia paling utama.
2.      Perbedaan antara ‘Kooperasi’ (Ko) dan ‘Non-koperasi’ (Non) tidaklah penting.
3.      Baik Ekstrimisitas Komunis maupun Ketidaktoleransian golongan Islam harus ditentang.
4.      Semua manusia berusaha dan merupakan penjelmaan Tuhan yang terakhir.
5.      Jalan menuju kemerdekaan panjang dan sukar.
6.      Pendidikan Barat telah mengasingkan bangsa Indonesia dari kebudayaannya sendiri dan mencetak manusia-manusia yang asosial.
7.      Pencetakan kader, disiplin atas diri sendiri, bakti tanpa pamrih, tugas dan kewajiban.
8.      Kembali ke desa, dirikanlah Roekoen Tani.

F. X. Domini B. B. Hera Pria kelahiran 16 Agustus 1989, menyusun esai melalui konsultasi intensif dengan Drs. Peter Kasenda sebagai prasyarat bagi peserta Seri Kuliah Pemikiran “Hilang dan Dibicarakan Kembali: Sumbangsih Pemikiran yang Tenggelam Para Tokoh Pergerakan bagi Indonesia Merdeka” yang diselenggarakan Pusat Studi Budaya dan Laman Batas (Center for Culture and Frontier Studies) LPPM Univ. Brawijaya, Malang. Sesi II mengenai pemikiran Soetomo bersama Drs. Peter Kasenda, Sejarawan Univ. 17 Agustus 1945 Jakarta pada Selasa, 3 Juni 2014 pukul 09.30-11.30 WIB di Ruang Pentas Budaya, Gedung Fakultas Ilmu Budaya Lantai 7 Univ. Brawijaya, Malang. Penulis merupakan lulusan S1 Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang, dan kini sedang menempuh S2 Ilmu Sejarah Univeritas Gajah Mada, Yogyakarta.
Francisˍxˍhera@yahoo.co.id

Daftar Rujukan
Hera, F. X. D. B. B. 2013. Pergolakan Pemikiran dan Penyelenggaraan Pendidikan oleh Aktivis Pergerakan di Hindia Belanda 1900-1942. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Museum Kebangkitan Nasional. 2013. Dokter Soetomo: Pemikiran dan Perjuangannya. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.

Tangkilisan, Y. 2014. Indonesia Mulia: Butir-butir Tersebar Pemikiran DR. Soetomo Mengenai Memajukan Kesejahteraan Rakyat dan Perekonomian Indonesia. Dalam Peter Kasenda dkk, Dokter Soetomo. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.

No comments: