Thursday 23 October 2014

Sektor Industri Pendidikan Area Suburnya Neolib dan Minggatnya Esensi

Oleh: Yudha Riadiansyah*

“bagi kaum tertindas dan yang ikut menderita serta berjuang di pihak mereka.” 
Paulo Freire


Dunia pendidikan kita (Indonesia) memang semerawut, bagai benang kusut. Kusut yang sulit di urai, karena sudah tidak dapat dicari lagi mana ujung pangkalnya. Mentri Pendidikan siapapun, dari zaman ke zaman nampaknya bingung harus mengurai permasalahan benang kusut pendidikan ini dari mana. Tantangan zaman memaksa kita harus menjawab semuanya, globalisasi bak sebuah jawaban akan tantangan yang dihadapi setiap negara dan berbuah neoliberalisme yang telah menjangkiti Indonesia. Tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan dengan strata tertingi, yaitu Universitas.

Pernahkah kita melihat bahwa suatu hal itu memang benar adanya, bagai angan menggembar- gemborkan kebebasan untuk menjadi manusia yang tidak terjajah dan kesetaraan dengan manusia yang beradab. Dengan ilmu dan pengetahuan harapan akan kebebasan dan kesetaraan bisa diwujudkan. Sama seperti dunia pendidikan saat ini yang kehilangan jati dirinya, yang tidak pernah menunjukkan tujuan sesunguhnya. Dengan tujuan ingin membentuk kesadaran dan kemerdekaan, tetapi yang diwujudkan hanya sebuah kebebasan dalam kekangan. Kebebasan berfikir yang ditawarkan dunia pendidikan secara rasional hanyalah gambaran semu dimana sistem yang berjalan hanyalah menawarakan pendidikan praktis.

Jika berkenan kita bernostalgia kebalakang di awal tahun 2000 an masih ingat dengan kebijakan privatisasi Pendidikan Tinggi (PT) beberapa tahun lalu yang berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan disusul dengan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tak lupa untuk ranah publik yang lebih luas, Badan Layanan Umum (BLU) pun lahir dengan butir-butir pasal yang mengandung bahaya laten, kemudian ditambah anehnya lagi dengan di sahkannya RUU PT dengan kebijakannya melahirkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ini terlihat sebagai produk ‘arogansi kekuasaan’, keempatnya memberikan otonomi bagi Perguruan Tinggi untuk mengelola segala kepentingannya sendiri. Sayangnya, hal ini ditafsirkan lebih kepada otonomi untuk menghasilkan uang (keuangan). Kemandirian yang dicita-citakan pemerintah ini malah membelot menjadi ajang aktualisasi PT dalam mengelola dan mengatur siklus modal pendapatannya. Hingga tak heran jika ada mini market di dalam area kampus, atau tak sedikit pula universitas yang memiliki auditorium atau aula yang disewakan.

Alhasil PT harus mengelola keuangannya secara mandiri karena adanya pengurangan anggaran pendidikan dari pemerintah. Sehingga dampak langsungnya terhadap mahasiswa sangat terasa, yaitu diwajibkan membayar uang kuliah lebih mahal karena kampus tidak lagi mendapatkan biaya operasional dari pemerintah. Hanya masyarakat berduit saja yang berkesempatan besar memperoleh pendidikan, sedangkan masyarakat yang kurang mampu tidak bisa kuliah. Padahal masyarakat Indonesia notabene masih banyak yang berada di golongan menengah ke bawah. Akibatnya, masyarakat yang tidak mampu ini secara ekonomi akan memilih perguruan tinggi yang biaya kuliahnya relatif terjangkau.

Para pengamat pakar pendidikan yang kontra akan sistem pendidikan di atas memandang pandangan ini sebagai tindakan privatisasi, kapitalisasi dan komerialisasi perguruan tinggi. Ternyata para pengamat sekaligus praktisi telah menggunakan alat analisis atau paradigma yang salah dalam memandang masalah pendidikan. Sekiranya konsep-konsep privatisasi, kapitalisasi, komersialisasi, dan westernisasi yang banyak digunakan pengamat dalam menilai permasalahan pendidikan hari ini adalah konsep-konsep untuk menggambarkan fenomena kegiatan pembentukan dan penguasaan modal dalam ekonomi pasar. Kemudian yang lebih ironisnya lagi lemahnya kemampuan dalam bidang menejerial keuangan lembaga pendidikan, sehingga menimbulkan inefisien cukup besar, mentalitas korup serta hegemoni partai politik atau para penguasa dengan segala tujuannya.[1]

Kemudian tidak hanya itu, gelar pun bisa dijadikan sebagai komoditi (barang dagangan). Perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan program-program unggulan. Mulai dari akreditas yang menggiurkan sampai kerja sama dengan berbagai perusahaan, baik skala Nasional hingga Internasional. Tidak cukup dengan itu, perguruan tinggi juga berlomba mengemas dan menonjolkan program unggulan dengan sertifikasi Internasional. Sertifikasi Internasional dapat berupa pengakuan dari organisasi besar Internasional. Semisal, sertifikasi ISO 9001 ataupun pengakuan American Associaton of College and Schools of Business (AACSB).

Dr. Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Menejemen Perguruan Tinggi menyatakan bahwasannya ada sembilan variabel yang menjadi daya pikat atau daya saing sebuah kursi kemahasiswaan di perguruan tinggi.[2] Di antaranya adalah kursi yang murah dan mudah. Menurutnya, pasar intelektual relatif sama dengan pasar komoditi lainnya. Kursi popular dan nama beken harus dibayar dengan harga tinggi, tetapi sebaliknya sebagian besar kursi ditawarkan dengan harga murah dan cara yang mudah.

Ketidakmerataan akan pendidikan Indonesia saat ini mempertegas kenyataan bahwa tujuan dan tugas pendidikan nasional belumlah tercapai. Mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan hanya sekedar tujuan pendidikan melainkan sebagai cita-cita dan tujuan bangsa ini serta merupakan aset sebuah bangsa untuk kedepannya. Dan Pendidikan tinggi yang bermutu semestinya tidak memerlukan biaya yang mahal dan membebankan rakyat miskin yang ingin mengecam pendidikan lebih tinggi.

Perguruan Tinggi perlu di songkong oleh semua pihak, karena merupakan salah satu pusat budaya yang penting, di samping fungsinya mempersiapkan pemimpin negara di masa depan dari setiap bangsa. Seharusnya di kelola dengan prinsip-prinsip demokrasi, HAM, akuntabilitas, transparansi dan memberdayakan semua pihak di lingkungan PT serta mengacu terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk mempersiapkan manusia-manusia berkualitas itu. Kita masih punya waktu mengejar ketertinggalan, karena kita bukan hanya memiliki kemampuan, tetapi potensi-potensi manusia yang memang mempunyai kapasitas untuk maju. Penataan kembali prinsip-prinsip dasar pendidikan sudah waktunya dipikirkan kembali. Terlalu lama sudah perhatian kita tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis sehingga melupakan sesuatu yang fundamental dan berkaitan dengan masa depan bangsa ini.

*Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah angkatan 2011



[1] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan. LkiS 2005. Halaman 3
[2] Ndraha, Talizidudhu. 1988.Manajemen Pendidikan. Jakarta:Bina Aksara

No comments: