Monday 5 January 2015

Arit dan Bulan Sabit;Pemberontakan Komunis 1926 di Banten

Iman Z.H, S.Pd (Alumni Jurusan Sejarah-UNJ, Anggota Komunitas Kandang Buku)

“Laiknya (Layaknya)Pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun, begitupun dunia yang ternoda, ia musti dicuci dengan darah
-Haji Achmad Khatib

Arit dan Bulan Sabit
Pemberontakan Komunis 1926 di Banten
Michael C. Williams
SYARIKAT INDONESIA, 2003,
175++ halaman 

Kutipan diatas terlihat mengandung makna yang mengajak kita pada situasi kecemasan. Secara umum, mudah ditemui para orator corong partai dan alat politik lainnya didunia modern mampu merangkai diksi yang lebih tajam dan memiliki arus semiotik mobilitas lebih tinggi. Menjadi agak berbeda bila frasa tersebut berasal dari seorang Haji Achmad Khatib sebagai tokoh yang dipercaya sebagai penerus kharisma dari mertuanya, seorang Kyai terkemuka dari era pemberontakan 1888, Kyai Asnawi Caringin Banten. Begitulah sampai hari ini para peziarah menyebut namanya.
Banten, sebuah wilayah khusus dalam memahami sejarah pergerakan nasional era 1920-an, perkembangan Islam modern disatu sisi yakni Sarekat Islam dan labotarium penerapan revolusi komunisme disisi lain. Semua ini berhubungan—serta merta tidak dapat dipisahkan dari benang merah yang bisa diurai sampai abad ke-19 sebagai tradisi memberontak. Hingga munculnya laporan Residen Belanda pada bulan Maret 1925 yang menyatakan Komunisme tidak akan berkembang di Banten,[1] tidak dapat menafsirkan dengan tepat peristiwa setahun kemudian sebagai “Pemberontakan Komunis Banten 1926”.
Rasa terima kasih kepada Penulis Michael C Williams dan juga separuh kecurigaan dalam merangkai fakta sejarah Pemberontakan komunis Banten 1926 yang penuh dengan banyak faktor penentu—sebagaimana sejarawan Anales—secara wajar dapat difahami bila kita melihat Williams mengantarkan tulisannya dengan mengutip Clifford Geertz bahwa perubahan dari Tradisional kepada Modern tidak sesederhana menyebutkannya. Williams mengungkapkan beberapa data lokal yang cukup lengkap, untuk membuat faktor Islam ortodoks lebih bernilai, masuk akal dan eksotis dari yang selama ini diketahui masyarakat Banten umumnya.
Bila melihat dari kacamata Nasional, dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari era 1920an—meminjam bahasa Takashi Siraishi; Zaman bergerak--adalah Islam dan pergerakan. Lalu kemudian, sintesa dari keduanya memunculkan Organisasi Pergerakan terbesar saat itu; Sarekat Islam. Buku ini menawarkan fakta lain, bahwa kondisi yang terjadi dipulau Jawa sejak abad ke-19 tidak menyentuhnya, Banten terisolasi. Para aktor pemberontakan bukan berasal dari SI, tetapi dari kekuatan-kekuatan ortodok melalui flyaover yang kemudian agitasi komunisme sudah menunggu diujung jalan.
Kegagalan SI untuk tumbuh di Banten bisa dijelaskan, pertama tokoh SI Hasan Djajadiningrat merupakan adik dari Bupati Serang R.A.A. Ahmad Djajadiningrat memiliki bias Elite feodal kaki tangan kolonial. Sebagai catatan, wilayah Banten memiliki kekuatan anti-kolonial yang paling kuat diantara pewaris kesultanan manapun dipulau Jawa—jauh di bandingkan dengan kesultanan Yogyakarta atau Surakarta. Kedua, perlu diketahui bahwa gerakan SI di Banten cenderung reformis,[2] tidak cukup mengobati kekecewaan para petani yang sudah siap untuk sebuah revolusi anti-kolonial. Ketiga, purifikasi Islam dari Islam tradisional menuju penyesuaian dengan perkembangan zaman yang dilakukan SI—dalam hal ini masuknya Muhammadiyah ke Banten—dianggap penghinaan oleh masyarakat Banten. Sebab, gerakan transformasi modernisasi Islam di Banten mendapat kutukan dari kalangan tradisional atau Muslim kolot—para pemegang pucuk radikalisasi politik eks pemberontak 1888. Potensi politik ini ternyata diambil alih oleh aktor lain yang sudah menunggu.
Dalam skala nasional, paham Komunisme dibawa Oleh Sneevlit melalui ISDV. Meskipun Hasan Djajadiningrat merupakan anggota Eksekutif ISDV, tetapi keikutsertaannya hanya sebatas “reformsi etis” minoritas di Organisasi itu. Dari kalangan Belanda, C. J. Stam merupakan tokoh komunis yang pernah membuka kelompok diskusi di Serang dan Rangkasbitung yang hanya menarik kalangan Guru, pegawai lokal kereta api, Irigasi dan beberapa priyayi muda yang terbatas. Stam bukanlah satu-satunya komunis di Banten, G.J. van Munster merupakan Guru calon pegawai Bumiputera di Serang. Tetapi, hubungannya dengan dunia luar dan agitasi komunisme tergolong kecil dan terbatas lagi.
Beberapa aktor lainnya seperti R Oesadiningrat (Pegawai Kereta Api Tanah Abang) kerabat bupati Serang, pulang kampung ke Pandeglang karena dipecat akibat peristiwa mogok dilakukan VSTV Semaun. Sebelum peritiwa tersebut, Semaun pernah menjadi pembicara pada rapat akbar bulan Juli 1922 di Labuan. Rapat akbar ini difasiltasi oleh R Oesadiningrat, meski kemudian pada pecahnya Pemberontakan PKI 1926 R Oesadiningrat menjadi mata-mata polisi Belanda. Beberapa gerakan Semaun yang dikenal dengan Infiltrasi SI menyebabkan perpecahan pada tahun 1923 itu, berakibat pada upaya dibangunnya Basis Sarekat Rakyat di Banten.
Beberapa tokoh PKI lokal lainnya dengan kategori Ter-PKI kan diluar Banten seperti Tubagus Alipan dan Achmad Bassaif. Suatu pengecualian adalah Puradisastra, seorang sunda yang bergabung dengan PKI tahun 1923 aktif di Jawa Barat dan Bengkulu menikah dengan perempuan asal Menes. Ketiga aktor tersebut saling terkait dengan kemampuan politiknya masing-masing. Puradisasrta memiliki jaringan yang kuat, dekat dengan Musso dan Alimin sejak Sarekat Buruh di Batavia. Sedangkan Achmad Bassaif tergolong keturunan Arab yang fasih, senjata Partai yang ampuh dalam membuat ajaran-ajaran Islam lazim dalam ideologi dan perjuangan PKI. Tb Alipan yang ter-PKI kan di Temanggung memiliki jaringan dengan para pekerja percetakan. Hingga muncul nama-nama PKI dari pekerja percetakan seperti Abdu Rahcmat, Ishak dan Atmodiharjo.
Agitasi PKI bukan tanpa kegagalan. Dibangunnya Sarekat rakyat di Banten pernah mengalami berbagai kegagalan. Pada bulan Oktober 1923, Musso mengadakan Orasi Politik di Kadomas Pandeglang tanggal 12 dan tanggal 13, pesertanya hanya sembilan Orang. Kegagalan-kegagalan lain dapat dijelaskan dalam jaringan yang lebih luas. Beberapa diantaranya antisipasi kolonial yang sudah membuang para tokoh kunci seperti Tan Malaka, Bergsma, dan Semaun ditahun yang sama. Hal ini diperparah dengan Penolakan Tan Malaka atas keputusan Prambanan 25 Desember 1925—keputusan untuk memberontak. Ketidaksamaan sikap tersebut membuat pemberontakan yang terjadi—sudah diprediksi tidak akan berhasil— malah membuat munculnya peristiwa mistik dan mencemaskan.
Sebuah fakta terbalik muncul. Sebuah laporan pemerintah tahun 1924 bahwa anggota PKI dikaresidenan Banten hanya dua orang. Kemudian hanya dalam waktu 12 bulan jumlah anggota ribuan dan semakin bertambah tahun 1926.[3] Beberapa peningkatan awal komunisme, pertama dimulai dengan Petisi ditandatangani 200 orang pada bulan agustus 1925 yang diprakarsai Tb Alipan dan Tb Hilman dengan titel feodal “Tubagus”  untuk menjalin kontak dengan Keturunan Kesultanan Banten. Isinya menyarankan Hak-hak kebangsawanan dalam bentuk uang pensiun untuk para keturunan kesultanan.
Kedua, dibuatnya Rukun Asli tanggal 22 Agustus 1925. Sebuah perkumpulan rahasia, rapat asosiasi ini pertama dilakukan di Kramatwatu, bukan kebetulan karena desa ini termasuk salah satu desa yang terlibat pemberontakan 1888 dan anak-anak pemberontakan masih banyak tinggal disana.[4] Polisi kolonial tidak kalah hebatnya dalam menekan, membubarkan hingga membuat intimidasi halus dan kasar dalam membendung pertumbuhan masa PKI di Banten. Kemudian muncul DO atau Ditactorial Organisatie sebagai pematangan hasil keputusan Prambanan.
Ketiga, menjaring berbagai elemen masyarakat lainnya seperti Jawara dan menjadikan lurah-lurah desa sebagai penghubung meluasnya PKI serta beberapa iuran-iuran yang terkumpul lebih besar dari dugaan sementara. Meski diketahui kemudian, secara berkala polisi kolonial menangkapi dan berhasil menemukan timbunan-timbunan senjata dan uang dalam jumlah besar ditimbun dirumah-rumah tokoh PKI yang sudah berhasil ditangkap secara berkala. Di Desa Dalung, Haji Mohamad Arif anggota PKI ditemukan 6 pucuk pistol revolver dibalik tembok rumahnya, di Ciruas ditemukan 800 golok, Pabuaran-Pancur-Gunungsari tersita pistol jenis Mauser, Beaumot dan tumpukan kain putih serta juga ditemukan 10.000 Gulden dana pemberontakan.
Ketika Pemberontakan sudah didepan mata, para para tokoh kunci sudah dibalik teralis, kecuali mereka para haji yang memiliki kharisma dimata masyarakat Banten. Hal ini menyebabkan gerakan inisiatif dari para perencana pemberontakan yang tersisa untuk meminta ketegasan dari senior atau jaringan atas PKI yang berada di Batavia, Bandung maupun Singapura akhirnya menyebabkan aksi ini lebih bersifat lokal. Selain itu, isu, memegang peranan penting—meskipun sumber isu itupun lebih menarik.
Ketegangan dimulai dengan penyataan Kyai Asnawi agar para Jamaah menunda berlayar ke Mekah untuk berhaji ditafsirkan sebagai sinyalemen bahwa sebuah peristiwa besar akan terjadi—tafsir PKI, ini adalah bentuk dukungan. Kemudian puluhan desa di berbagai daerah Banten mengadakan puasa masal dan membeli kain putih secara besar-besaran. Ditambah, di daerah Petir terbunuhnya seorang lintah darat, tidak lama kemudian di Desa Kaduhejo terjadi aksi blokade. Setiap aksi kriminal yang terjadi kemudian bisa diakui sebagai peran Jawara dalam pemberontakan ini, seperti beberapa ancaman bagi warga yang tidak ikut pemberontakan akan ditandai dengan “dirobohkannya” pohon didepan rumahnya serta intimidasi lainnya.
Banyaknya kalangan petani yang dipenjara memiliki penjelasan tersendiri. Pemogokan-pemogokan di Semarang dapat diidentifikasi sebagai gerakan Buruh kereta api yang dimobilisasi oleh Semaun, tetapi untuk Banten sampai terjadinya pemberontakan, kelas pekerja tidaklah dominan di wilayah tersebut. Komunisme masuk dan merangsang gerakan pemberontakan di Banten melalui tafsir-tafsir ulama yang lebih dapat difahami kelas petani Banten. Banyak diantara pelaku pemberontakan bahkan belum pernah keluar desanya. Mobilisasi serentak ini dapat terwakili dengan beberapa draf wawancara polisi belanda terhadap para petani tersebut denga kalimat tetangga saya memiliki kartu komunis saya pun ikut, tetangga saya semua ikut memberontak saya juga ikut, katanya setelah pemberontakan terjadi tidak ada pajak perkepala dan beberapa pengakuan lainnya. Bahwa hal ini menjelaskan, petani merupakan kelas yang paling tertekan dalam situasi kolonial.
Malam sebelum pemberontakan terjadi, tokoh PKI Serang seperti Soleiman, Atmodiharjo, Alirachman, Michnar ditangkap. Sudah menunggu para kolega meraka Djarkasih, Haji Ayip Achmad “Sang Jago Serang”, Arman, dan Haji Mohamad Noer. Menyusul kemudian Afif, H. Tb. Emed, lalu tokoh sentralnya Haji Achmad Khatib dan Kyai Moekri sebuah pengecualian karena berhasil lolos dari pengejaran.
Pemberontakan ini jelas gagal sejak awal, bahkan menyentuh tujuannya pun tidak. Tetapi, dengan menyebutkan beberapa penangkapan-penangkapan, penggrebekan rapat-rapat serta sumber senjata yang disita; betapa pemberontakan sudah tidak dapat dilakukan belum dapat menafsirkan bagaimana mencekamnya Banten pada 1926. Sinyalemen bahwa setelah pemberontakan 1888, kapanpun akan terjadi pemberontakan. Beberapa faktor diantaranya adalah beberapa tokoh pemberontak 1926 berasal dari Desa eks pemberontakan 1888 dan tokoh tersebut memiliki garis darah yang sama. Kepuasan terakulumasinya sifat Ortodoks Islam Banten dan kekuatan Isolatif wilayah tersebut baru kemudian terjawab dengan ikutnya Banten dalam revolusi 1945.





[1] Hlm.4
[2] Hlm 10
[3] Hlm 17
[4] Hlm.32

No comments: