Saturday 18 February 2012

Ketika Tato Menjadi Kriminal

Oleh: Bara Prastama

Tidak semua wajah mayat bertato itu mengerikan. Kadang-kadang Sawitri punya kesan mayat bertato itu seperti orang tidur nyenyak atau orang tersenyum dalam buaian gerimis. Di mata Sawitri kadang tampak bagaikan sebuah layar panggung sandiwara... (Seno Gumiro Adjidarma, Penembak Misterius, 1985).



TATO
Hatib Abdul Kadir Olong
LKiS, 2006
xi + 368 halaman
Sepenggal kalimat yang memiliki makna mendalam diatas, jelas mendeskripsikan situasi pada periode khusus dimana Orde Baru menggunakan cara represif dan militeristik saat berkuasa di Indonesia. Seno Gumira (Sastrawan Indonesia) mencoba menggambarkan situasi pada peristiwa Petrus (Penembakan Misterius “83-“85) yang memakan banyak korban + 8000 Jiwa dan belum tentu mereka yang mati adalah pelaku kejahatan yang masuk dalam tindakan kriminal.

Pada tahun 1966 pasca penumpasan PKI tato sering dianggap sebagai tindakan berdosa dan bertentangan dengan anjuran agama besar (baca: Islam, Kristen, Khatolik) sehingga beredar rumor bahwa siapa-siapa yang melakukan penatoan akan identik dengan PKI. Kemudian pada Tahun 1980, cengkraman Orde Baru semakin menguat, ketika tato dianggap sebagai tindakan kriminal, beringas, dan tak berpendidikan.  Biopower ini juga digunakan untuk memanipulasi kesadaran masyarakat Dayak untuk mempertahankan kebudayaannya, hingga isu modernitas muncul dan mengikis localgeniuis masyarakat.

Kemudian Orde Baru memberlakukan kebijakan menumpas gali (gabungan anak liar), bajingan, gento, penjahat, kriminal, yang umumnya bertato. Dalam aksinya, aparat dengan modus operandi berpakaian preman mendatangi korban pada tengah malam, naik jeep, kadang menggunakan topeng, kemudian menciduk, kemudian korban dihajar, ditembak, dimasukan karung, dan akhirnya dibuang di sungai, di tepi jalan, di perempatan, di pasar, ada juga yang ditaruh dekat pos kamling. Pada awalnya korban Petrus merupakan preman yang dimanfaatkan sebagai floating mass (massa mengambang) demi memenangkan suara Golkar dalam Pemilu 1982 di banyak kota di Indonesia (urban).

Setahun setelah pemanfaatan tersebut, massa preman ini kembali menganggur dan kembali ke ladang “pekerjaannya” masing-masing. Tentu keberanian itu didasarkan bahwa kedekatan mereka dengan para tokoh politik yang pernah dibantunya ketika kampanye. Kemudian hal ini membuat pencitraan negatif rezim Orde Baru, karena keresahan masyarakat akhirnya Rezim berkuasa menggunakan aparat bersenjata untuk menumpas para preman bertato tersebut.

“...Perasaan takut yang sangat kuat telah mencengkram rakyat ... Mereka yang akan melawan ya akan ditembak. Tidak ada pilihan lain karena mereka melawan. Beberapa mayat mereka ditembak. Hal ini sebagai shoch therapy.” (Ramadhan K.H. & Dwipayana, Biografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989:339).

Soeharto juga menyatakan:

“Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman itu datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya. Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketentraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-oleh hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian ada perempuan yang diambil kekayaan dan si istri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja.”

Beberapa dalih, abstrak, tidak kongkret terus di keluarkan Rezim berkuasa dan mulai menghapuskan ingatan masyarakat bahwa ini pelanggaran HAM. Dari uraian di atas dapat di simpulakan bahwa memang secara modus operandi atau implementasi lapangan pembunuhan para gali tersebut dilakukan secara misterius, namun secara substansial pembunuhan pada tahun 1983-1984 bukanlah pembunuhan misterius (Petrus). Sebab, pembunuhan itu dilakukan secara masif, ada institusi yang mengakui, bahkan seorang kepala negara mengakuinya secara terbuka.

Penembakan misterius (petrus) yang marak terjadi selama 1983-1985 merupakan bagian dari kontrol negara dalam rangka stabilitas ekonomi yang berdalih pada kontiunitas pembangunan negara, meningkatkan kualitas kehidupan, dengan menurunkan derajat kemanusiaan, menghilangkan bagian tubuh tertentu, bahkan mengorbankan nyawa individu yang tidak disukainya atau dianggap melanggar aturan tanpa meja hijau. Apakah perlakuan seperti ini dapat dikatakan negara yang berasaskan hukum?

Lantas dimana nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung pada UUD”45? Mungkin benar orang-orang bertato pada kala itu pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat, namun mestinya semua warga negara harus berada dalam suplemasi hukum. Sebelum dieksekusi, mestinya seorang terdakwa harus dihadapkan ke meja hijau terlebih dahulu. Jika terbukti bersalah maka eksekusi pun kemudian dilaksanakan secara ksatria. Yang terhukum ksatria, sang eksekutor juga ksatria.



No comments: