Friday 5 February 2016

Jacotot dan Pedagogi Utopia

Judul : The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Inttelectual Emancipation
Penulis : Jacques Ranciere
Alih Bahasa : Kristin Ross
Penerbit : Stanford University Press, Stanford, California
Tahun Terbit : 1991
Halaman : XXIII+148 halaman

Siapapun mampu mengajari apa-apa yang tidak diketahuinya (jika yang diajar telah teremansipasi)
Pada 1818, Joseph Jacotot, Professor University of Louvain, Belgia diminta mahasiswanya untuk mengajar Bahasa Prancis. Ketika itu disiplin ilmu belum terlalu ketat, demikian Jacotot. Ia menguasai beberapa disiplin ilmu seperti Matematika, Hukum, dan ideologi, namun tak sama sekali ia mengerti Bahasa Prancis. Tak mau menyerah, ia menyanggupi permintaan mahasiswanya sekaligus memulai petualangan intelektualnya.


Menggunakan edisi dwibahasa (Prancis-Belgia) Telemaque, novel didaktik karangan Fenelon, dibantu seorang alih bahasa, kelas Bahasa Prancis Jacotot dimulai dengan satu relasi setara: Jacotot dan mahasiswanya tak mengetahui apa-apa soal bahasa Prancis. Telemaque merupakan kisah petualangan anak Ulysses, Telemachus bersama gurunya, Mentor yang kelak di akhir novel diketahui sebagai Minerva, dewa kebijaksanaan.

Alih-alih memberikan penjelasan tata bahasa, rambu-rambu gramatikal, konjugasi, dan cara melafalkan bahasa Prancis, mahasiswa Jacotot hanya membaca Telemaque. Mereka mengorespondensikan kata dalam bahasa Prancis yang mirip dalam bahasa Belgia, dan mandiri merumuskan komposisi gramatikalnya untuk kemudian dikonfirmasi artinya kepada alih bahasa.

Setelah pembacaan mencapai setengah buku, satu persatu mahasiswa diminta membaca kembali Telamaque dari awal. Alih bahasa bertugas mengoreksi-tanpa memberitahu apa yang benar-semua tata bahasa yang terucap dan terpahami. Jika masih ada yang salah, mahasiswa harus mengulang dan mengulang kembali Telemaque dari awal. Jika tak ada yang salah, mahasiswa Jacotot diperbolehkan membaca setangah buku sisanya. Di akhir pembelajaran, Jacotot yang mulanya pesimis malah terkejut dengan kemampuan mahasiswanya memehami bahasa Prancis sebagaimana orang Prancis (native speaker) memahaminya.

He Expected horrendous barbarisms, or maybe a complete inability to perform. How could these young people, deprived of explanation, understand and resolve the difficulties of a language entirely new to them? No matter! He had to find out where the route opened by chnce had taken them, what had been the results of that desperate empiricism. And how surprisedhe was to discover that the students, left to themselves, managed this difficult step as well as many French could have done! Was wanting all that necessery for doing. Were all men virtually capable of understanding what others had done and understood (hal. 2).

Lebih dari satu abad kemudian eksperimentasi Jacotot jadi titik awal Jacques Ranciere menulis The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Intellectual Emancipation (1987). Seperti yang Jacotot lakukan, Ranciere meyakini bahwa pendidikan, khususnya urusan belajar mengajar harus diawali dengan kesetaraan, bukan malah menjadikannya sebagai tujuan.

Ketaksetaraan, menurut Jacotot adalah keniscayaan dalam dunia akademik, pendidikan pada dasarnya dibangun atas relasi asimetris: antara yang mengetahui dan tidak mengetahui. Hal terpenting yang dilakukan pendidik adalah mentransmisikan pengetahuannya kepada peserta didik hingga pemahaman peserta didik berada pada level yang sama dengan pendidik (hal.3). Hal ini pula yang dalam tataran lebih kompleks membangun struktur akademik yang ada hingga saat ini.

Penjelasan (Explication) adalah hal yang dilihat Ranciere dari eksperimentasi Jacotot sebagai sesuatu yang membuat relasi asimetris tadi langgeng dan diterima begitu saja dalam sistem pendidikan. Jika mahasiswa kelas Bahasa Prancis Jacotot mengerti Bahasa Prancis pada akhir pelajaran, tanpa sedikitpun penjelasan dari Jacotot, lantas apa guna pendidik selama ini memberi penjelasan? Jika tanpanya peserta didik mampu mandiri mengerti.

Saya memahami penjelasan yang disebut Ranciere tak sekadar menjelaskan bagaimana rangkain seri dan pararel dalam kelistrikan, bagaimana tak pernah ada lebar dan tinggi dalam sebuah garis, bagaimana perjuangan Diponegoro tak mewakili semangat nasionalisme, dan seterusnya. Ia terakit dengan otoritas hirarki intelejensi, ia terakumulasi melalui verifikasi pengetahuan, ia menghasilkan superioritas dan inferioritas.

Dan oleh karenanya, menurut Ranciere yang benar bukanlah peserta didik yang membutuhkan pendidik, melainkan sebaliknya, pendidik yang membutuhkan peserta didik. Sebab dalam medan pendidikan, tanpa peserta didik seluruh atribusi yang menempel di tubuh pendidik tak berguna sama sekali. Tanpa peserta didik, intelektualitas pendidik tak pernah termanifestasikan. Pendidik menjadi superior melalui otoritas, dan peserta didik pasti memulai dengan inferioritas.

Ranciere menyebut kondisi ini sebagai mitos pedagogi yang membagi dunia menjadi dua bagian, lebih tepatnya membagi intelejensi menjadi dua: si superior dan si inferior (hal. 7). Pendidik, si superior melalui otoritasnya terhadap pengetahuan memberikan penjelasan kepada peserta didik yang pasti inferior.

Sialnya penjelasan-penjelasan yang dilakukan mengupayakan sebuah pembodohan (stultification). Ia membatasi gerak pikir peserta didik, sebab mematikan apa yang disebut Ranciere sebagai bahasa ibu (mother tongue). Alih-alih berpetualang seperti Telemachus yang diberitahu Mentor ada satu dunia nan luas untuk dijelajah, peserta didik harus belajar.

Peserta didik mendengar pendidik, kemudian mengulanginya terus menerus, mereka membaca namun tak mengerti. di sini pendidik muncul memberi penjelasan sekaligus berperan sebagai pemberi makna (explicator) guna menjelas satu ihwal untuk pertama kalinya. Dan oleh karenanya, selama ada subordinasi selama itu pula pembodohan terjadi (hal.13).

Sebuah Antiklimaks: Mulanya Kehendak

Dalam wawancara oleh Peter Hallward untuk Jurnal Angelaki (2003), Ranciere mengakui ada dua hal penting yang membuatnya tertarik dengan ihwal otoritas, keahlian, pendidikan. Pertama adalah saat ia belajar di Ecole Normale Superieure (ENS). Dalam domain universitas di Prancis, ENS berada di luar kerangka universitas umum. ENS merupakan pendidikan tinggi yang bertugas menghasilkan Professor.

I am, in the first instance, a tudent. I am one of those people who is a perpetual student and whose profesional fate, as a consequence, is to teach others. “Teaching” obviously implies a certain position of mastery, “researcher” implies in some way a position of knowledge, “teacher-researcher” implies the idea of the teacher adapting a position of institutional mastery to one mastery based on knowledge (Hallward & Ranciere, 2003:194).

Kedua adalah, hubungannya dengan Althusser, khususnya saat Ranciere bersama beberapa mahasiswa dalam Union des Etudiants Communistes memulai proyek pionir membaca Capital Marx-yang dianggap sangat naif oleh Ranciere-hingga keretakan hubungannya dengan Althusser. Tak hanya membaca Capital, proyek ini juga diikuti serangkaian seminar, untuk publikasi sekaligus sebagai bekal radikalisasi Gerakan Mei 1968 di Paris.

Proyek ini membawa dilema bagi Ranciere, satu sisi ia mengalami petualangan intelektual dalam menelusur Marxisme sebab ia tak pernah baca Capital sebelumnya. Di lain sisi, dalam seminar perannya sebagai pionir memberikannya otoritas sebagai yang lebih mengetahui Marxisme dibanding audiens (Hallward & Ranciere, 2003:195). Hemat Ranciere ada petualangan intelektual dan dogmatisme teori yang berkelindan.

Dilema memuncak saat Rancierre tak setuju radikalisasi Gerakan Mei 1968 Paris masuk ke dalam tubuh Universitas. Althusser menginginkan Jurusan Filsafat di Universitas Paris VIII (St. Denis) dijadikan semacam Akademi Marxis, guna mengajari aktivis May 1968 Paris urusan Marxis. Setelahnya Rancierre resmi memutus relasinya dengan Althusser dan mengecam pembentukan Akademi Marxis tersebut sebagaimana ia mengecam pendidikan yang paling tidak berjalan selama ini dibangun atas ketaksetaraan.

Menggunakan kelas Bahasa Prancis Jacotot, Ranciere ingin menyatakan bahwa all men are equally intelligence. Karena intelenjensia-Saya mengartikan intelejensia sebagai sebuah apapun yang mampu dilakukan pikiran termasuk proses dan akumulasinya-hanya bisa dilihat dari efeknya, namun ia tak bisa diukur maupun disolasi mandiri.Sebab pada dasarnya tak pernah ada ukuran untuk intelejensia (hal.46), dan oleh karenanya tak pernah ada intelejensia.

Cenderung nihilis memang, bahkan romantik. Mengapa? Begini Ranciere mencontohkan: seorang filsuf sedang memerhatikan tingkah polah dua manusia. Saat-saat pertama hidupnya, mereka memperlihatkan atensi serupa pada satu hal, menginginkan hal yang sama pada tujuan yang lain. Semakin dewasa, atensi pada satu hal tak lagi serupa, demikian tujuan untuk hal yang lain tak lagi sama (hal. 50).

Apa sebab? Bocah memiliki kebutuhan yang sama untuk dipenuhi agar eksistensinya terjaga. Dan insting membuat mereka setara memuaskan kebutuhannya. Setelah dewasa, dunia menuntut dua manusia tadi memiliki eksistensi yang berbeda (hal. 51). Mereka kemudian mengembangkan kemampuan hidupnya-termauk intelejensia-agar kompatibel dengan tuntutan eksistensinya. Akibatnya, atensi dan tujuan awal tadi tak lagi serupa, dan oleh karenanya hasilnya pun tak pernah sama.

Jadi jika di kemudian hari, dua manusia tersebut bertaruh siapa paling banyak berkencan dengan mahasiswi dalam satu bulan dan hasilnya sangat timpang-yang pertama mampu berkencan lebih dari lima kali, sedang yang terakhir di akhir bulan masih memetakan perempuan mana yang dia ajak berkencan- bukan karena yang terakhir tak punya kemampuan menggaet perempuan, namun karena ia selama kuliah lebih asyik masyuk demonstrasi alih-alih tebar pesona seperti yang pertama.
Kemudian, apa yang mampu mengonstitusikan eksistensi seorang? Rancierre menjawabnya sebagai kehendak (will). Manusia, kata Rancierre, adalah kehendak yang dilayani oleh intelejensia, ia adalah kekuatan rasional hasil perseteruan harapan dan kenyataan (hal. 54).

Sebermula adalah kehendak, lalu perjalanan dari pikiran ke pikiran, yang berkehendak adalah yang mengemansipasi. Ketika yang terakhir tak mampu menggaet satu perempuan pun, tak lantas ia tak memiliki kapabilitas urusan perempuan melainkan ia tak berkehendak. Kedua pemuda tadi pada dasarnya punya kemampuan yang setara dalam menggaet perempuan.

Dari kenyataan bahwa tiap manusia punya intelejensi setara dan mulanya kehendak serta kisah kelas bahasa Prancis Jacotot, Ranciere merumuskan bahwa ada satu universalitas dalam soal pendidikan (universal teaching), khususnya urusan tranmisi pengetahuan, tentang belajar dan mengajar.
One must learn something and relate everything else to it, seorang harus mempelajari sesuatu karena ada pada dasaranya ia memiliki intelejensi namun kehendak yang akan menentukan apa dan sejauh mana hasil pelajaran itu. Dengan dasar intelejensi setara dan kehendak mumpuni, mahasiswa Jacotot akhirnya mampu menguasai bahasa Prancis.

Karena seorang harus mempelajari sesuatu sebab ia berkehendak maka tak ada orang lain yang beerwenang mengatur apa-apa yang ingin ia pelajari. Ia akan mampu mempelajari hal baru dengan mengaitkannya dengan apa-apa yang telah ia pelajari. Apapun itu.

Oleh sebab itu pula, Jacotot menolak semua bentuk lembaga sosial yang bertugas mengemansipasi manusia, termasuk sekolah. Sebab lembaga sosial tersebut dibangun oleh posisi-posisi oleh aktor sosial yang mengandaikan ketaksetaraan. Lagipula lembaga sosial turut pula bertugas memproduksi aktor-aktor tadi (hal. 103).

Apapun namanya, dan bagaimanapun caranya ketika individu sepakat membentuk kelompok hanya ada satu prinsip landasan: distribusi peran didasarkan atas ketaksetaraan intelejensi (hal.131). Meski demikian di tengah medan ketaksetaraan, individu menurut Ranciere masih mampu mewujudkan kestaraan dan disini peran emansipasi terhadap individu ambil bagian (hal. 133).

Melalui apa? “kehendak,” jawab Ranciere.

Selama ia tak memiliki kehendak atau sedikit berkehendak, ia tak akan pernah termansipasi. Dan oleh karenanya seorang bodoh bukan karena ia tak pintar atau memiliki intelejensi rendah dibanding yang pintar melainkan karena ia tak berkehendak. Katakanlah malas.

@anggarseptiadi

Monday 2 November 2015

Meneropong Imajinasi Antikolonial

Oleh Iman Zanatul Haeri

Membaca karya Anderson, kita tidak dapat mereduksinya menjadi satu tema pusat dan memahami struktur narasinya sebagai narasi tunggal. Terlebih bahwa judul buku ini sudah menyiratkan hal tersebut. Bagi para pembaca awam, tentu akan kesulitan memahami perubahan politik di tiga negara tersebut pada akhir abad ke 19; Spanyol sebagai simbol kekuatan kolonial tertua yang tengah sakit keras, Cuba dan Filiphina sebagai wilayah koloni terakhir Spanyol yang sedang dirundung pergolakan politik yang disebabkan oleh trend politik saat itu: Anarkisme; Nihilisme; gerakan Demokrasi yang terlambat; Marxisme; Komunisme dan Nasionalisme yang selalu berkawin silang satu dengan lainnya.
Di Bawah Tiga Bendera
Anarkisme Global dan
Imajinasi Antikolonial
Benedict Anderson
Marjin Kiri, 2015
378 halaman

Telaah lebih lanjut dari fokus kajian ini ternyata lebih luas dari yang kita kira. Situasi politik Spanyol; Filiphina dan Cuba dipengaruhi oleh situasi Politik di Perancis, Jerman, Jepang, Russia, yang terakhir Amerika Serikat. Semua itu dihubungkan oleh Anarkisme dan sikap anti-kolonial yang melewati batas-batas benua. Bahwa para tokoh Anarkis dan tokoh kemerdekaan daerah kolonial berjejaring dan membangun relasi komunikasi interpersonal di Negara-Negara tersebut. Lebih menarik juga, bahwa beberapa pelaku anarkisme dan penyebaran ide anti-kolonial dibahas secara rinci, memungkinkan kita untuk memahami lebih lanjut pilihan-pilihan politik, persinggahan ke berbagai negara dari beberapa situasi yang sifatnya pribadi dan ditentukan oleh perasaan-perasaan yang manusiawi.
Tema besar Antikolonial diawali dengan kisah perjalanan hidup bapak bangsa Filiphina, Jose Rizal. Memang pembahasan mengenai kehidupan, pemikiran, hubungannya dengan tokoh pribumi Filiphina sendiri[1] dan terutama novelnya yang memiliki pengaruh sangat besar Noli Me Tangere (Jangan Sentuh aku) dan El Filibusterismo (Subversif). Bukan kebetulan bahwa pada pertengahan abad ke-19, produksi novel-novel besar sebagai “Republik Global Kesusastraan” mulai meluas ke seluruh dunia. Dari Moby Dick karya Melville (1819), Max Havelaar karya E. D. Dekker dari Belanda (1860)[2], Karya Leo Tolstoi dari Russia (1828), novel karya Tagore dari Bengali (1861) hingga Natsumi Soseki dari Jepang (1867).[3] Tetapi, diawal penjelasan mengenai kehidupan Rizal, Ben Anderson mencoba melihat rekan sebangsa Rizal yang sesungguhnya memiliki kemampuan yang justeru melebihi Rizal dari segi kualitas. Orang itu adalah Isabelo de los Reyes.
Isabelo merupakan seorang antropolog pertama asal Filiphina yang mengusung Folklore. Baginya Folklore merupakan Ilmu baru. Folklore artinya “Kearifan lokal.” Memang kemunculan bidang kajian ini termasuk baru juga ditanah kelahirannya; Eropa. Menarik bahwa folklore sudah menjadi kajian di Inggris, lalu Perancis kemudian Filiphina! Dan spanyol, seperti biasa ketinggalan secara intelektual.[4]
Pertanyaannya sederhana, mengapa Folklore? Apakah tidak ada kajian lain yang bisa membangkitkan semangat juang nasionalisme? Hal ini terjawab dengan kondisi bahwa tidak ada yang tersisa bagi rakyat Filiphina sebelum Kolonialisasi—tidak ada sejarah yang tersisa.[5] Sudah disebutkan bahwa Islam dan Budhisme hanya memiliki pengaruh yang tipis terhadap rakyat Filiphina, maka wajar bila upaya kristenisasi masuk tanpa hambatan berarti. Dari sudut pandang ini, folklore dapat menggantikan kemegahan masa lalu.
Sikap Antikolonial Rizal satu paket dengan anti-katolik, sebab sampai dititik akhir, Vatikan selalu menunjukan sebagai pendukung politik kolonial Spanyol, ditambah dengan prilaku tidak adil pihak katolik Filiphina dengan penyerobotan tanah keluarga Rizal sebagai respon atas kritik rizal terhadap Katolik dalam novelnya, serta beberapa insiden tidak dibolehkannya Rizal menikah secara katolik.
Tetapi kemalangan penulis satu ini tidak hanya itu, rencana Rizal untuk hidup damai di sebuah wilayah di pulau Kalimantan gagal, nama besarnya malah merugikannya,[6] prilaku santunnya[7] yang tidak mengubah keputusan penangkapan atas dirinya; sampai eksekusi,[8] dan berkali-kali berusaha menunjukan ketidak terlibatannya atas perlawanan terhadap penguasa kolonial melalui surat-suratnya[9] terhadap Fernando Blumentritt yang sangat mengharukan.

     “saudaraku tercinta, Saat Engkau menerima Surat ini, aku sudah tidak ada. Esok pada           pukul 7, aku akan ditembak; namun aku tidak bersalah atas tuduhan melakukan                   pemberontakan.”

Ditengah penyangkalannya atas tuduhan-tuduhan tersebut, novelnya mampu menyajikan imajinasi Nasionalisme Filiphina yang menjadi motor pemberontakan Katipunan.[10] Ben, membuktikan berkali-kali bahwa pengaruh besar Rizal bukan berasal dari kehidupan pribadinya, namun dari pengaruh daya imajinasi yang dihasilkan oleh novelnya, sangat berbahaya dilihat dari kondisi politik saat itu. Meskipun itu hanya khayalan tentang masa depan Filiphina sekalipun. Disisi lain, anarkisme sedang tumbuh sebagai perpecahan dari perkumpulan Komunis internasional.[11] Berbagai upaya pemberontakan dan aksi anarkisme atau Bendera Hitam[12] untuk menjatuhkan kekuatan kolonial ini tidak hanya di Spanyol, tapi Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Italia, Serbia[13] dan pembunuhan beruntun di Russia oleh kaum Nihilis.[14]
Seperti Sergei Nechayev hingga Vera Zasuclich. Yang terakhir ini adalah seorang yang pertama kali menerjemahkan karya Marx ke bahasa Russia. Pembunuhan tokoh politik yang paling gencar tersebut dibantu dengan ditemukannya Dinamit oleh Alfred Nobel.[15] Teror pembunuhan dimana-mana. Melaui tiga cara; Tikam, tembak dan ledak.[16] Disisi lain kekuatan Nasionalisme secara global mencapai Cina dan Jepang sebagai tempat pengasingan yang nyaman.
Lalu bagaimana peristiwa di Cuba, dan peran Tarrida yang cukup sentral melalui artikel-artikelnya yang sangat tajam mengenai kemerdekaan Cuba, Puerto Rico dan serangannya atas keberadaan Montjuich; sebuah penjara yang paling kejam di Spanyol, justru semua orang mengetahuinya melalui tulisan Tarrida.[17]
Situasi yang kompleks tersebut;  Anarkisme sebagai kekuatan baru yang menakutkan kekuasaan kolonial, serta kekuatan anti-kolonial yang imajinasinya mampu melewati batas-batas bahasa dan geografi diartikan sebagai kekuatan zaman globalisasi pertama yang meletus pada akhir abad ke-19.  Narasi ini kemudian dirangkai dengan kisah-kisah unik yang tidak mampu dijelaskan oleh kajian satu dimensi keilmuan. Disinilah akhirnya Ben Anderson disebut sebagai Astronomi Politik. Meneropong sejarah layaknya cahaya bintang melalui kegelapan dan Imajinasi. Cukup mengejutkan, bahwa untuk memahami babakan baru Globalisasi pertama ini, Ben Anderson mengutip istilah yang hanya ditemukan di Indonesia, yang ditulis Oleh Sutan Sjahrir. Ketika itu Sjahrir mencoba untuk menggambarkan kondisi saudara sebangsanya pada perjuangan kemerdekaan tahun 1945 dengan istilah “Gelisah”. Suatu kata yang sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Inggris, yang makna semantiknya meliputi Anxious (cemas), trembling (gemetar), unmoored (tanpa pegangan), expectant (menanti-nanti).[18]
Jung Coffee, Rawamangun 28 Oktober 2015



[1] Mengenai hal ini, Ben Anderson membuat sub judul tersendiri sebagai “Keretakan dalam kelompok Nasionalis Imigran”. Narasi ini dimulai dengan terbitnya La Solidaridad oleh sekelompok Filiphina di Barcelona. Penerbitan ini berbarengan dengan beberapa jurnal marxist dan anarkis. Lihat, 146. Disinilah interaksi pertama Rizal dengan Del Pilar yang memiliki cita-cita kemerdekaan yang jelas, tetapi mendukung program Asimilasi Spanyol-Filiphina melalui kalangan politik Liberal di Madrid.
[2] Rizal mengakui sendiri dirinya banyak terpengaruh oleh novel Multatuli (Max Havelaar) Atau bila Max Havelaar adalah novel anticolonial pertama yang ditulis oleh orang Eropa sendiri, maka El Filibusterismo merupakan novel anticolonial yang pertama ditulis oleh pribumi/terjajah!, lihat, hlm.71
[3] Hlm.43
[4] Hlm.4
[5] Baik Isabelo dan Rizal tidak mampu menemukan, dengan perasaan menyerah, data historis bahwa Filiphina memiliki kebanggaan masa lalu yang patut diperjuangkan sebagai orientasi kemerdekaan. Lihat, Hlm 37. Untuk komparasi, bisa dibandingkan dengan Sejarah Kemerdekaan Indonesia. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia dapat menemukan berbagai kemegahan masa lalu dari |Era Kemaritiman, kesultanan-kesultanan Besar hingga kerajaan-kerajaan besar era Hindhu-Budha seperti Sriwijaya atau Majapahit.
[6] “Bangsaku: sepulang dari Spanyol aku tahu bahwa namaku telah dipakai sebagai pekik perang dikalangan tertentu yang mengangkat senjata…” lanjutannya bisa dibaca, lihat hlm. 249-150.
[7] Tidak pernah terlibat dalam berbagai kegiatan subversive dan anarkis, membangun komunikasi yang intens dengan penguasa colonial, tidak menghentikan penguasa Kolonial Spanyol memukul rata dengan pelaku yang jelas-jelas melakukan tindakan tersebut. Atau lihat pengakuan Blanco, seorang kapten-jendral yang mengirimkan surat ke Madrid untuk membuktikan Rizal tidak terlibat pemberontakan. Lihat hlm. 243
[8] Memang semua pihak menyadari bahwa pihak kolonial terlalu terburu-buru mengeksekusi Rizal tanpa alasan hukum yang kuat, akan tetapi dilihat dari sikap kolonial, maka pengaruh Rizal terhadap setiap pemberontakan di Filiphina lah yang terlalu kuat, meski berkali-kali Rizal menyanggahnya. Rizal dieksekusi pada 30 Desember 1896, pada subuh, dieksekusi ditembak dari arah belakang oleh regu tembak. Adegan ini dijadikan monument oleh rakyat Filiphina, lihat hlm.252.
[9] Surat-surat yang mencapai 70 halaman ini surat yang sangat tebal yang pernah dibuat seorang Asia Modern dimasanya.
[10] Kelompok pemberontakan terbesar Filiphina akhir abad ke-19. Didirikan oleh Andres Bonifacio, tetapi ia di dihukum mati justru oleh tuduhan berhianat pada revolusi yang ia sulut sendiri. Ia dieksekusi oleh pihak Emilio Aguinaldo seorang walikota ambisius. Hlm.279-280
[11] Pada Umumnya kita ketahui bahwa Perpecahan ini diawali oleh perdebatan Marx dan Bakunin dalam melihat Negara di kongres Komintern, Lihat, hlm. 108-109
[12] Sub judul ini khusus menceritakan bagaimana kaum Nihilis Russia dan kaum Anarkis bercampuraduk untuk melaksanakan gerakan-gerakan terror pembunuhan politik yang disebut oleh ben Anderson sebagai Le Drapeau Noir (Bendera Hitam), lihat hlm.106-122
[13] Table pembunuhan politik selama 20 tahun sebelum Perang Dunia I, lihat hlm.114
[14] Pembunuhan terhadap Pangeran, Gubernur, Gubernur Militer St. Petersburg, kepala Polisi Rahasia, percobaan pembunuhan Tsar dan banyak lagi, lihat hl. 107-108.
[15] Lihat, 106
[16] Lihat gambar titik-titik pembunuhan global dalam peta hlm.118
[17] Tadinya merupakan seorang Liberalis yang semakin kiri dalam beberapa tahap. Lihat hlm. 258-261
[18] Lihat, hlm.188

Friday 30 October 2015

Kecupan Manis Sebuah Penantian

Oleh Hafid Ayatillah 

I’m back for you, my future


Raut muka itu terasa sangat berbeda, seakan mengisratkan sebuah kehilangan, tiap tatapan yang ia berikan menggambarkan luka yang teramat dalam, tangisan itu pun terdengar sangat jelas walau pun dalam relung hati. Entah mengapa, senyum itu puntera sasangat menyayat walaupun terlihat sangat menggairahkan. Malam itu terasa sangat kelabu namunsangatindah,karenacahaya sang dewi malam hadir ditengah-tengahnya. Seorang wanita terlihat murung, ia berjalan tanpa henti menuju suatu tempat dimana ia biasa ditemani dengan sunyi dan sejuknya malam.

            Delia, begitulah ia kerap disapa oleh teman – temannya, wanita yang tangguh, ceria dancerdas, namun dibalik semua itu ia adalah wanita penyendiri. Terduduk tenang, ia mulai merenung tentang semua yang ia alami, detik demi detik ia resapi hening nya suasana, pejaman itu bukan tak ada artinya, 

Apakah kehidupan ini hanya tak berpihak ke padaku?” begitu batinnya.

Perlahan tetesan air mata keluar dari kedua matanya yang sayu itu dan melewati pipi yang kian memerah akibat tangisannya, ia seakan kehilangan harapan, harapan tuk bahagia dengan apa yang sudah ia rencanakan dengan kekasihnya yang kini mungkin tak dapat ia perlakukan seperti dulu lagi. Semua harapannya kini sudah tinggal angan – angan dan mulai tersapu, terbawa oleh desiran anngin yang berhembus tenang. 

Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah buku, buku catatan lebih tepatnya. Ia buka buku catatan yang bertuliskan “Dream” tersebut, lembar demi lembar ia buka, ia nikmati dan mulai meresapi, bercumbu dengan harapan yang mulai kini menjadi kenangan. Awal dari setiap halaman buku itu menggambarkan bagaimana benih – benih kebahagiaan muncul, yang kelak akan menjadi harapannya, halaman halaman selanjutnya terdapat berbagai dokumentasi dengan seorang pria kesayangannya, terlihat mereka sangat dekat dan tentunya bahagia. 

Tiap ia membuka lembar berikutnya, air mata yang keluar membasahi pipinya semakin deras dan seakan memecahkan keheningan malam. Disela tangisannya kadang terdapat senyum dan tawa kecil, tepat di tengah halaman dari buku itu terdapat secarcik kertas yang bertuliskan “Tunggulah aku, aku akan kembali padamu”.

            Selepas SMA Delia berpisah dengan pria pujaan hatinya itu, mereka dipisahkan oleh tuntutan pendidikan yang diamanahkan oleh orang tua mereka. Sebelum keberangkatan kekasihnya itu Delia sempat bertemu dan saling berjanji dalam secarcik kertas kalau semua ini bukanlah akhir, mereka akan dipisahkan oleh benua yang berbeda untuk waktu yang cukup lama karena kekasihnya akan menuntut ilmu di perguruan tinggi terkenal negara AS. Tahun awal adalah tahun terberat yang dialui Delia selepas kekasihnya pergi, dengan padatnya jadwal kuliah dan juga tugas yang tak kunjung usai, ia tetap teguh menjalani pendidikannya. 

Dalam kesibukannya Delia tetap sempat menghubungi kekasihnya itu dan hubungan komunikasi yang terjalin antara mereka sama sekali tidak mengalami masalah yang berarti. Tahun kedua dan ketiga hubungan mereka masih utuh karena saling memegang teguh dengan janji yang mereka buat. Tahun terakhir adalah tahun yang dinanti nanti oleh Delia, ia sangat senang karena tinggal menghitung bulan mereka akan bertemu dan tentunya akan saling melepas rindu, tetapi semua rencana itu akan jadi sebuah wacana saja karena sebuah moment yang menghancurkan hatinya berkeping – keping.

            Hari itu Delia seperti biasa melakukan rutinitasnya sebagai seorang mahasiswi, dan hari itu terasa sangat cepat bagi Delia. Sesampainya ia dirumah, ia mengecek e-mail nya dan mendapatkan satu pesan yang menjadi pertanyaan baginya. Pria pujaannya itu menuliskan pesan “i m sorry, i must to say good bye”, hati Delia bertanya tanya dan seketika yang ada dalam fikirannya hanyalah pesan yang pria itu kirimkan kepadanya. 

Air mata tiba tiba jatuh tak tertahankan, kini kegundahan menyelimuti hatinya dan fikirannya. Hari hari selanjutnya tak ada satupun pesan atau kabar dari pria pujaan hatinya itu, tekanan batinpun ia rasakan sampai rutinitas yang ia lalui kini menjadi tak karuan. Delia melakukan berbagai cara untuk mengetahui keadaan pasangannya itu, ia mencoba menghubungi ponselnya tetapi ternyata sudah tidak bisa dihubungi lagi, ia coba untuk menelusuri media sosial dan ternyata hasilnya nihil. Usaha usaha untuk menemukan dan hanya mencoba agar bisa mendapatkan paling tidak satu kabar dari pria tersebut sudah ia lakukan, sampai pada puncaknya ia hanya bisa pasrah dan hanya sekedar menunggu.

Suatu pagi Delia terbangun dari tidurnya yang terbilang sangatlah tidak berkualitas, ia hanya tidur dua jam setiap harinya sejak pesan itu ia terima. Ia langsung bersisap siap untuk menjalani harinya seperti biasa, yaitu menjadi mahasiswi. Siang itu matahari sangat terik memancarkan sinarnya, ia terduduk di bawah sebuah pohon sambil meminum jus yang telah ia beli sesudah perkuliahan tadi. Delia menolehkan kepalanya kepada suatu surat kabar yang tergeletak di sampingnya, memungut lalu membacanya. 

Seketika matanya terbelalak melihat sebuah berita yang membuat tubuhnya lemas dan memaksa air matanya jatuh dengan derasnya, disitu tertulis bahwa lab penelitian perguruan tinggi di AS terbakar dan menyebabkan puluhan korban jiwa. Ia teringat bahwa perguruan tinggi tersebut adalah tempat dimana pria yang sangat ia cintai menempuh pendidikan, Iapun menangis karena beranggapan bahwa pasangannya juga menjadi korban dalam peristiwa itu. Berita peristiwa itu menjadi titik puncak dimana ia berfikir kalau ia harus merelakan kepergian seseorang yang benar benar ia harapkan menjadi masa depannya.

            Setelah hal itu ia sering pergi ketempat dimana ia berjanji bersama, dan menunggu saat dimana mereka bisa bersama lagi. Ditempat itu ia selalu berdoa yang terbaik untuk pria kesayangannya dimanapun dan bagaimanapun keadaannya, ditempat itu pula ia kadang mencurahkan isi perasaan yang sedang ia rasakan dan berharap orang yang ia tuju bisa mendengarkannya.

            “Malam ini adalah tepat genap empat tahun aku berpisah, rasanya sangat berat untuk menyadari hal ini”, batinnya. Delia bersiap siap, tentu menuju satu tempat yang sangat berkesan baginya dan hubungannya dengan pria itu, ya tentu saja tempat dimana mereka saling berjanji. Tempat itu tidak terlalu jauh dari rumah Delia, suatu taman yang membuat pengunjungnya merasa tenang walaupun berada di tengah perkotaan yang sangat ramai. Tiap langkah kaki yang ia pijaki terasa sangat berat, mengingat ia masih belum bisa merelakan sepenuhnya bahwa sang pujaan telah tiada. tinggal beberapa ratus meter lagi ia sampai ke taman itu, entah mengapa semakin dekat dengan taman itu raut mukanya semakin murung tetapi ia tetap mencoba tersenyum sampai akhirnya ia telah sampai di taman itu dan duduk di bangku yang disinari oleh ranumnya cahaya lampu taman.


            Delia mengingat kembali janji yang telah ia ucapkan bersama di tempat ini, ia melihat ke sekitar tak ada satu orangpun yang berkunjung di taman ini. Rasa sesak di dalam hati tiba tiba timbul begitu saja, seiring hembusan angin ia memejamkan matanya meresapi keheningan suasana dan mencoba menenangkan perasaannya. Ia berkata ;

Hans, ini tahun ke empat semenjak kita berpisah disini. Aku harap kamu bisa mendengarkan apa yang kukatakan ini dimana dan bagaimanapun keadaan kamu saat ini, Aku akan tetap menunggu dan mengingat apa yang sudah kita janjikan, disini .. ditempat ini”.

Ketika ia selesai mengucapkan kata – kata itu, suatu suara memanggil namanya “Delia ...”, ia menoleh dan dengan segala kesadarannya ia menyadari kalau yang ada di depannya itu adalah pria yang selama ini ia tunggu, pria yang selama ini membuatnya resah, ia pun berdiri dan memeluknya erat. 

Aku tak akan mengingkari apa yang telah aku katakan kepadamu Delia”, bisik Hans kepada Delia.

Tak sepatah katapun yang Delia katakan, hanya tangis haru yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Tangis itu seakan mengeluarkan semua yang ia tahan selama ini dalam relung hatinya yang paling dalam, semua rasa rindu seakan terbalaskan, semua penantianpun seakan terbalaskan. 

Hans menjelaskan mengapa ia menghilang begitu saja dengan meninggalkan berjuta pertanyaan pada sebuah pesan yang ia kirimkan, ia juga menjelaskan apa yang terjadi dengan perguruan tinggi tempat ia memperoleh pendidikan. Dengan satu pelukan penuh makna, Hans membisikkan satu kalimat yang membuat Delia merasa tenang dan membalas pelukan Hans, “I’m back for you, my future”.

Monday 26 October 2015

Kelucuan

Oleh Kenang Kelana

Tertawalah sebelum tawa di larang
Warkop DKI

Antara Tawa dan Bahaya
Kartun dalam Politik Humor
Seno Gumira Ajidarma
KPG, 2013
429 halaman

Kira-kira begitu memahami tawa dalam sketsa kekuasaan. Di atur sesuai apa yang in pada zamannya. Dalam banyak hal tawa menawarkan kepada kita sebuah kegembiraan, sebuah keceriaan yang dalam ilmu pengetahuan medis dan agama tawa adalah obat penyembuh termurah sepanjang zaman.

Di dalam buku ini, kita seolah disodorkan soal perangkat dalam ketertawaan, maksudnya adalah bagaimana tawa membutuhkan instrument layaknya sebuah pertunjukan. Ada subjek mentawakan dan ada objek yang ditertawakan.

Manusia punya peran dalam berkehidupan. Semua melengkapai dalam konteks keterbutuhan [sekelipun prihal keinginan tidak semua insan pernah merasakan] begitu juga dalam candaan yang menghasilkan tawa. Mesti ada orang atau peran untuk menjadi pihak yang ditertawakan. Dalam pergaulan hal ini bisa dan lumrah, terjadi seolah tanpa ada yang tersinggung atau marah sebab tawa kita adalah tawa semua orang.

Pada bab awal buku Antara Tawa Dan Becana kita akan disuguhkan dengan sekian banyak teori pendukung yang mampu menjelaskan pengertian tawa. Ini tanda bahwa tawa adalah hal yang serius banget!!!. Mulai dari Freud hingg kepada Bergson. Dalam prodaknya banyak orang menggunakan instrument karikatur untuk membuat tawa kita menjadi milik (dibaca) semua orang.  Ada Doyok, Oom Pasikom dll.
Seno Gumira Adjiedarma

Selanjunya pertanyaan yang akan menjadi menarik adalah apakah semua tawa adalah bahagia?!. Bagi saya persoalan tawa bukan hanya menjadi sekedar lucu (lucuan) untuk meraih kebahagiaan. Mira, begitu panggilan akrab sang penulis buku (Seno Gumira Adjiedarma) dengan prangkat semiotikanya melihat prodak tawa dalam bentuk kartikatur yang menjadi alat legitimasi untuk menunjukaan obsesi dan bahkan sesuatu yang sedang terjadi di sekeliling kita.

Beni & Mice misalnya—dua orang yang  telah menjadi satu kemudian bubar lagi belakangan ini—di dalam buku-buku karikaturnya yang sempat booming beberapa tahun terakhir ini menjadi pengingat kita akan situasi di Jakarta, dengan gambaranya tentang banjir, tentang tumbuh suburnya kelas menengah yang rapuh diperkotaan dan dalam nada yang satir ia menyebutnya dengan kelompok alay. Kesemuanya digambarkan dengan lucu dan jenaka serta ramah. Sekali lagi media tawa dalam bentuk karikatur menjadi alat representasi dalam kehiduapan sehari hari.

Cover Surat Kabar Perancis
Namun setali tiga uang dari itu, kita juga akan medapatkan kenyataan bahwa tawa yang kita bicarakan juga dapat menimbulkan bahaya, hingga menyebabkan kematian segala. dihukum alamnya, tawa adalah pelepasan ke-tak-sadar-an atas kondisi/politik identitas yang sedang berlangsung. Kita ambil contoh misal kartun Nabi Muhammad yang digambarkan oleh salah seorang kartunis Denmak yang harus mengalami bahaya bahkan ancaman kematian dari seseorang yang mengaku pembela Nabi Muhammad.

Pada zamannya, Warkop DKI membangun lelucon bagaimana aparat keamanan [mulai dari satpam sampai polisi lalu lintas] digambarkan sebagai sesuatu yang bodoh dan cenderung robotik. Padahal semua yang berbau instansi kenegaraan apa lagi kemiliteran terasa sangat tabu untuk dibicarakan, apalagi di “becandaiin”.

Salah satu cerita Warkop DKI memperlihatkan adegan dimana Dono, Kasino dan Indro ikut dalam rombongan latihan Satpam dan dipimpin oleh Boneng yang dalam cerita itu mempunyai seorang kembaran. Dan tanpa mereka sadari bahwa atasan mereka adalah seorang yang kembar dan kembaran dari komandan aslinya menderita penyakit ganguan jiwa. Betapa lucu kemudian para pemain film itu dipimpin oleh seorang yang sakit Jiwa.

Grup lawak Warkop DKI menjadi fakta nyata prihal tawa tidak bisa dibatasi atapun dilarang. Dengan konsekuensi logis bahwa yang kita tertawakan bermuatan Politis/Ideologis. Tawa mempunyai perannya sendiri, untuk apa yang kemudian diistilahkan oleh Gramsci sebagai Counter Hegemoni. Dominasi atas kenyataan yang menjadi objek tawaan adalah bukti keterkaitan antara tawa dan politik yang jelas menghasilkan bahaya dan ancaman.

Tawa dalah prodak zaman, setiap masa menghasilkan kondisi ketertawaannya masing-masing sesuai dengan kenyataan pada hari ini dan seterusnya.


Cempaka Putih. 07 04 2013