Tuesday 22 September 2015

Orientalisme

Oleh: Iman Zaenatul Haeri, S.Pd*

"Melakukan kajian perkembangan pemikiran tentang Orientalisme tidaklah mudah, Orientalisme masa kini mengajarkan kepada kita banyak hal mengenai ketidakjujuran intelektual dalam menyamarkan dan mengaburkan pembagian-pembagian tersebut (Timur-Barat / Utara-Selatan / Imperialis-Anti-Imperialis / Rasis-Anti-Rasis), yang hasilnya adalah semakin parah dan semakin permanen pengkotak-kotakan yang tidak proposional."


Orientalisme
Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukan Timur Sebagai Subjek
Edward Said
Pustaka Pelajar, 2010
xxxii + 558 halaman
Pengantar
Situasi politik, ekonomi, kebudayaan Timur Tengah belum stabil hingga kini. Berbagai perang saudara, pembunuhan masal serta aksi-aksi teror terus mewarnai pemerintahan Nasional di kawasan tersebut yang silih berganti dengan pilihan yang dipaksakan; otoriter atau demokratis bahkan sebaliknya tidak kunjung menyelesaikan masalah; perpecahan iya. Apakah kita bisa berharap, manusia yang lahir ditengah konflik multidimensi tersebut bisa membuat sebuah karya intelektual monumental yang mampu menjelaskan—diluar dugaan—situasi dunia global kekinian? Kita ambil contoh paling imajinatif bahwa ditengah-tengah konflik lahirlah seorang anak manusia yang mampu memetakan situasi tersebut secara tajam dan terbuka diluar keterbatasan psikisnya yang meragukan untuk berfikir objektif akan lingkup diluar dirinya. Hal tersebut tidaklah imajinatif sebab Edward W Said lahir di Palestina.
Ia dibesarkan di Mesir dan Palestina, sebagian besar karir akademisnya dibangun di Amerika; perjalanan hidupnya ini mengantarkan Said kedalam paradoks identitas. Ia hidup di lingkungan Palestina yang mayoritas Muslim, meski ia berasal dari keluarga Keristen; ia memilih Agnostik.[1] Ayahnya memaksakan identitas “Edward” padanya meskipun menjadi Said—identitas Arabnya-- tidak pernah ia pilih secara penuh.
Karyanya ini, Orientalisme, merupakan pergulatan intelektualnya yang bahkan menurutnya:

“saya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa buku ini dapat menarik banyak perhatian dari berbagai kalangan yang justru belum saya bahas secara tuntas dalam buku ini, khususnya dari masyarakat Timur(jauh) itu sendiri”[2].

Pernyataan ini yang menjawab keresahan beberapa kalangan mengapa Said tidak membahas secara luas para orientalis yang fokus di wilayah “Timur Jauh”. Orientalisme membahas mengenai Barat dan Timur. Yaitu relasi kekuasaan politik, Intelektual, kultural dan Moral diantara keduanya. Orientalisme bisa dimaknai sebagai cara Barat memandang Timur—meski masih banyak makna lain. Secara kasat, Timur dibagi menjadi beberapa penggalan, yang pertama Timur Tengah yang diasosiasikan dalam wacana Islam dan bangsa Arab, yang kedua adalah Timur Jauh; India, China, serta beberapa wilayah Asia lainnya—seperti telah disebutkan Said tidak terlalu mendalami untuk relasi wilayah Timur tersebut. Oleh sebab itu, maka wajar bila Said tidak pernah menyinggung Suma Oriental Tome Pires yang memiliki ekses Orientalis yang paling ketara dan vulgar.
Orientalisme menjadi penting bukan karena wacana ini hanya sekedar relasi dua peradaban besar, tetapi wacana ini memiliki rentan waktu yang cukup panjang dengan upaya-upaya tidak henti dari sekian banyak intelektuaL Barat yang sengaja maupun tidak mempertahankan tradisi orientalisme dalam setiap kajiannya. Lalu apa itu Orientalisme?
Secara gamblang, tidak adil kiranya menjelaskan Orientalisme hanya sebatas eksplanasi formal. Dimana karakteristiknya disebutkan dalam poin-poin yang tegas, definisi yang sakral serta ruang lingkup yang tidak berubah; Said jelas tidak mengarahkannya kesana. Said mengerti betul problematis upayanya untuk membedah Orientalisme secara luas dan mendalam sehingga ia secara jujur menjelaskan perbedaan pengetahuan murni dan pengetahuan politis,  masalah metodologis yang ia temui serta sisi-sisi psikologis atau analisa diri sejak Bab pertama buku ini.
Problematika Pengetahuan Murni dan Pengetahuan Politis yang menjadi kontradiksi dalam Orientalisme sebetulnya sudah dimulai ketika Barat memproklamirkan keberadaan pengetahuan murni yang bisa didapatkan dengan kajian ilmiah. Tetapi Said sudah menyadari secara historis, bahwa kelahiran Orientalisme merupakan kenyataan politik dan Budaya, maka ia tidak berada di ruang hampa[3]. Oleh sebab itu, objektivitas Barat memandang timur yang terdapat dalam Orientalisme sangat-sangat dipertanyakan. Permasalahannya, rentan waktu yang sekian panjang tersebut, cara pandang yang lahir dari keserampangan Barat memberi label siapapun intelektualnya; mengajar, menulis dan melakukan penelitian tentang dunia timur—entah ia seorang sejarawan, antropolog, sosiolog ataupun filolog—mereka selalu disebut orientalis. Orang-orang yang dianggap ahli mengenai dunia Timur, yang dalam buku ini dipertanyakan keahliannya.[4]Hal ini sekaligus menggugurkan bahwa Orientalisme merupakan pengetahuan Murni.
Diakui ataupun tidak, keberadaan Otoman Turki sebagai lambang kekuasaan Islam sejak abad ke 15 (silahkan ralat) hingga kemundurannya pada abad ke 19 telah menjadi momok menakutkan bagi Barat (Eropa). Saat itu, Islam dipandang sebagai puncak peradaban Dunia secara Politik, ekonomi, intelektual, teknologi, dan semua sub keilmuan mencakup astronomi hingga kedokteran. Atau dalam bahasa sinis, keunggulan dunia Arab tersebut ditafsirkan sebagai keunggulan musuh Kristus; sebab kedatangan Islam membatalkan ketuhanan Yesus. Fenomena ini kemudian melahirkan peristiwa-peristiwa bersejarah seperti Perang Salib. Sejak itu, Timur diasosiasikan sebagai wilayah eksotis tidak tersentuh—sebagai ketidakmampuan barat mencapai peradaban Islam, sebuah peradaban besar yang misterius, keunggulan-keunggulan yang belum dapat difahami Barat yang terkemuka melalui sastra-sastranya, dalam hal ini Said bahkan melihat benih Orientalisme dalam karya Williams Sakspeare.
Sayang, minimnya pengetahuan Barat tentang Timur menjadikan munculnya prinsip-prinsip tersebut tidak hilang meski dalam beberapa dekade lanjutan, Barat sudah memiliki data literatur timur yang begitu melimpah melalui perkembangan Imperialisme dan Kolonialisme. Orientalisme adalah semacam asumsi budaya Barat melihat budaya Timur. Ketika memasuki Era Kolonialisme, paradigma Orientalisme tidaklah berubah. Bila kemudian Barat, setelah berhasil menaklukan wilayah Timur, persis ketika Napoleon secara bersemangat mengeksplorasi sejarah-arkeologi di Mesir setelah menemukan Piramid—keterkejutan bahwa ada peradaban besar yang sudah lama—tidak membuat prinsip Orientalisme hilang.

Prinsip Orientalisme
Lalu apa yang dimaksud prinsip-prinsip Orientalisme? Pengantar dari penerjemah bahasa Indonesia buku ini, Achmad Fawaid, cukup menggambarkan kerangka ideologis dalam Orientalisme. Menurut Fawaid, Representasi, adalah Kunci mengenal Orientalisme. Said, lagi menurut Fawaid,  secara sederhana hanya membicarakan representasi Timur oleh Barat. Hal ini terbagi menjadi beberapa prinsip, yaitu Pertama, mentimurkan Timur. Timur sebagai “Geografi Imajinatif”. Prinsip ini menggambarkan timur dan Barat memiliki batas yang tegas—padahal sudah tidak bisa dibuktikan bahwa Timur-Barat yang pemisahannya cenderung kultural dan politis bisa bertahan hingga kini dengan temuan-temuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Jadi tafsir Geografis Imajiner bukan kebenaran mutlak, yang benar tanpa harus disuarakan atau ditunjukan bahkan dibuktikan. Timur yang ditimurkan ini merupakan kisah panjang dari para orientalis selama ratusan tahun untuk memproduksi maknawi yang sama secara terus-menerus meskipun berasal dari sumber yang berbeda. 
Meskipun Timur sudah berkembang dinamis, sifat konservatif Orientalis tetap mereduksi Timur, dengan gabungan serampangan atas hal-hal negatif yang lagi-lagi Timur diposisikan sebagai Timur kembali oleh Barat secara imajinatif dan tekstual. Ketika kondisi aktual Timur tidak sesuai dengan teks imajinatif orientalis, maka kondisi aktual yang dikorbankan dan imajiner timur dalam Orientalis tetap bertahan. Kedua, Pandangan Negatif terhadap Islam yang sifatnya konsisten. Para Orientalis, dari yang paling vulgar hingga yang paling samar, tidak dapat menghilangkan upayanya dalam memposisikan Islam dalam situasi yang problematis; setiap kemajuan selalu dipandang rendah dan kemunduran dalam Islam sebagai problem Internal yang cacat. Belum lagi bagaimana, orientalisme menyerang Muhammad secara brutal dari segala sisi tanpa pertimbangan objektif.  Said menambahkan:

“Seperti yang pernah saya katakan, kepentingan Eropa terhadap Islam berasal bukan dari keingintahuan mereka, tetapi dari ketakutan mereka terhadap agama pesaing monoteistik bagi agama kristen ini, yang secara kultural dan militer lebih berkuasa”[5]

Serangan ini terkadang lebih luas, menyerang tidak hanya Muhammad, tetapi bangsa Arab. Orang Arab misalnya, dianggap sebagai penunggang-penunggang unta, teroris, berhidung bengkok, si hidung belang yang senang menerima suap, dan terkadang dalam seksualitas. Hal yang terakhir ini mereduksi masyarakat Arab untuk digiring pada seksualitas agar hanya memiliki sifat biologisnya, namun secara istitusional, politis dan kultural, mereka nihil. Saya menjadi ingat mengenai siaran Pers dari kedutaan Irak secara Resmi di Jakarta awal Maret 2015 lalu terkait pemberitaan bahwa Irak berada dalam kondisi memprihatinkan, Dubes Irak mengkonfirmasi dan mengatakan “jangan percaya media Barat”. Prinsip ketiga, adalah keyakinan para Orientalis bahwa hanya Barat yang—dan memang Timur—harus ditampilkan oleh Barat “mereka tidak bisa menampilkan diri mereka sendiri, mereka harus ditampilkan.”[6]
Prinsip tersebut secara terbuka sudah mengkonfirmasi kepentingan-kepentingan Orientalisme yang saling berkelindan dengan Imperialisme, kolonialisme dan dominasi peradaban Barat. Formula lanjutan dari prinsip yang ketiga ini menghasilkan sebuah panggung teater bahwa timur layak ditampilkan Barat sebagaimana Barat memahami Timur. Hingga pada titik-titik tertentu arahnya selalu sama; Timur direndahkan secara Intelektual. Bila kesadaran ini berbenturan dengan nilai-nilai Barat tentang kebebasan dan persamaan Hak, harus diakui bahwa para tokoh liberal seperti John Stuart Mill, Arnold, Caryle, Newman, Macaulay, Ruskin, George Elliot dan lainnya tidak bisa lepas dari prinsip Oreintalisme, bahwa kebebasan mereka hanya untuk ras Eropa.
Situasi kolonial memberikan angin segar bagi Orientalisme untuk berkembang lebih luas. Arah politik dunia kolonial saat itu yang dimotori oleh Inggris dan Perancis. Untuk Inggris, keberhasilannya menguasai India, serta beberapa pencapaiannya untuk mengeksploitasi sejarah budaya bangsa tersebut hingga menemukan fakta bahwa bahasa Sansekerta lebih tua daripada bahasa Ibrani.[7] Fakta tersebut digunakan untuk memperkuat sikap anti-semit Barat untuk segera meninggalkan bahasa Injil. Sedangkan Perancis ditandai dengan eksploitasi negara tersebut untuk menguasai jalur terpenting di Timur setelah kekalahan oleh Inggris di India; akhirnya Perancis berupaya menguasai Mesir.[8] Napoleon saat itu menerapkan penguasaan Mesir yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Pertama, Napoleon lebih tertarik dengan kemenangan bangsa Eropa di Timur ketimbang di Eropa sendiri; kedua, sejak remaja Napoleon sudah tertarik pada kajian timur. Ketiga, Napoleon mengenal Mesir secara taktis, strategis maupun historis. Ketiga hal tersebut menyebabkan Napoleon benar-benar tekstual terhadap Timur. Bahkan dalam buku ini, mengutip seorang penulis Biografi Napoleon, mengatakan:

“... untuk mencapai tujuan ini, enampuluh ulama yang mengajar di Al-Azhar diundang ke kantornya (Napoleon) diberi Penghormatan militer penuh dan kemudian dibujuk dengan cara memperlihatkan pada mereka kekaguman Napoleon terhadap Islam dan Mohammad serta rasa hormat Napoleon yang tampak jelas terhadap Al-Qur’an dan yang tampak sangat akrab baginya”.[9]

Kebijakan Napoleon tidak serta merta dapat dipandang sebagai komunikasi budaya setara. Sebab hal tersebut hanyalah bagian dari proyek “tekstual” untuk menguasai Mesir. Agar Mesir terjamah oleh penelitian Eropa.  Inilah yang kemudian menjadikan Mesir sebagai wilayah imajiner (sesuai dengan skema teks yang dibangun Barat atas Mesir) dan yang nyata dari semua itu adalah Terusan Suez. Sementara Mesir direduksi dalam teks, semua pihak kagum dengan pencapaian Perancis mengeksplorasi Mesir sebab membangunkan kemegahan dan setumpuk hasil Penelitian mengenai sejarah Mesir disisi lain, nyatanya pembukaan terusan Suez berjalan dengan mulus.
Selain secara imperial, orientalisme dibedah oleh Said, menjadi kepingan-kepingan teks yang tidak hanya terdiri dari pemilahan antara Orientalisme Klasik dan Modern. Tetapi lebih dalam lagi, Orientalisme telah masuk ke ranah-ranah keilmuan yang paling dianggap objektif (saat itu). Yaitu dalam Antropologi dan Filologi. Sacy dan Renan. Kedua tokoh ini merupakan kunci dari orientalisme dibidangnya. Sacy generasi pertama orientalisme yang selalu menjadi rujukan dan Renan generasi kedua. Pada halaman 194-195 disebutkan bagaimana Sacy secara gamblang mengatakan bahwa, orientalisme patut memilih teks-teks timur sesuai kepentingan Eropa dan mentransformasikan sebelum di apresiasi—disini kemudian prinsip Orientalisme kembali muncul (teks Timur dipilah antara sesuai dan tidak dengan kepentingan Eropa) lalu baru kemudian diapresiasi (?). Upaya awal Sacy kemudian diteruskan oleh Renan melalui filologi. Meskipun filologi lahir pada 1777 ketika Friedrich August Wolf menciptakan sebuah studi, Renan-lah yang kemudian mengangkat filologi menjadi bidang kajian Timur. Renan mampu membuktikan bahwa bahasa Semit merupakan bahasa yang merosot dan kurang layak.[10] Hal ini menyebabkan filologi menjadi sebuah labotarium “demonstrasi pedagogis” untuk menciptakan, membatasi dan menghakimi materi telaahnya—timur.[11] Dalam bahasa yang disukai Said, ia menganalogikan sebagai ayunan pendulum kesatu arah yang menyebabkan ayunan balik yang sama ke arah berlawanan; Timur dibagi dua, setelah bahasa Sanskerta diagung-agungkan untuk mempreteli bahasa Semit semata-mata demi satu kongklusi; merendahkan Timur.
Secara kronologis, perkembangan Orientalisme terwakili oleh banyak tokoh yang tidak bisa semua saya sebutkan disini. Akan tetapi pada perkembangan lanjutan, Orientalisme diteruskan oleh Gibbs dan Massignon. Apakah kedua tokoh ini melanjutkan prinsip Orientalisme yang bersifat “meringkas” terhadap Timur? pada perjalanannya, memang kedua tokoh ini bersikap kritis pada Orientalisme sebelumnya; anti-positivistik, intuitif dan simpatik.[12] Perbedaaan metodologis ada pada cara dimana mereka tidak mengabaikan hal-hal detail dari Timur, artinya induktif. Hal-hal khusus melahirkan gagasan Umum yang sebelumnya  deduktif. Secara samar, meskipun Gibbs sudah menghilangkan dislokasi tentang Timur dalam Orientalisme, Gibbs berada dalam tataran percaya bahwa Islam dirusak oleh para pemeluknya atau para pembaharu yang oportunis, sebab Gibbs merasa jauh didepan melampaui Islam yang tengah dipraktekan, dikaji dan berjalan dalam realitas saat itu. Sedangkan Massignon, yang diakui membela Islam disatu sisi dan membebaskan dirinya dalam “ortodoksi” disisi lain.[13] Meskipun keduanya tidak pernah menafikan--secara samar tetap-- melemahkan Islam dihadapan Eropa. Sebab mereka tidak mampu menolak hasrat Eropa Sentris untuk menundukan Islam dihadapan Eropa[14]

Setelah Inggris dan Perancis; Amerika
Pasca Perang Dunia I dan II, terhitung sejak 1960-an situasi politik berubah. Banyak wilayah-wilayah kolonial yang merdeka dari Perancis maupun Inggris yang sudah tidak dapat menguasai sepenuhnya wilayah jajahan di Timur; yang tersisa hanya penguasaan tekstual dan Intelektual saja. Di Barat, kajian ketimuran mulai Tumbuh di Amerika, seiring dengan peran, pengaruh dan kepentingan Amerika di Timur; dibukalah banyak fakultas atau studi-studi ketimuran. Dari sekian tokoh Orientalis Amerika, kita mengenai beberapa diantaranya Sania Hamady, Morroe Berger, Raphael Patani dan lainnya.
Para Orientalis Amerika tetap meneruskan prinsip Orientalisme dalam bentuk dogma; pertama bahwa timur terbelakang dan Barat rasional. Kedua, Bahwa para Orientalis tersebut lebih mengutamanakan manuskrip klasik Timur ketimbang bukti langsung mengenai kehidupan timur dalam realitas. Ketiga, bahwa timur abadi, seragam dan tidak mampu mendefinisikan dirinya sendiri.[15] Bila pada masa Renan, anti-semit dipukul rata sebagai bagian dari Timur, para Orientalis Amerika mereduksi menjadi sekedar Islam dan zionisme seketika hilang meskipun yang dibahas adalah wilayah Israel. Secara kelembagaan, Amerika mencoba mendirikan aparatus-aparatus riset mengenai Timur, seperti Institut Timur Tengah di Washington tahun 1946, lalu beberapa asosiasi-asosiasi kajian Timur Tengah bersama Ford Foundation, Departemen Pertahanan, Korporasi RAND, Institut Hudson dan perusahaan multi-nasonal lainnya. Said memaparkan dengan jelas bagaimana kemunculan Orientalis Amerika secara riwayat kehidupan akademis orang tersebut. Memakai sumber-sumber Arab yang tidak valid, seleksi data yang serampangan dan semua itu menjadi thesis-thesis yang absurd mengenai Islam. Sebuah penggalan dari kajian teks kritis Said menggambarkan bagaiman seorang Orientalis Amerika menulis dalam kalimat:

“sesekali waktu, Khalifah muncul, namun selanjutnya memutuskan kontak dengan masyarakat Baghdad dan terus bermukin di Merv, dengan mempercayakan pemerintahan atas Irak kepada salahseorang kepercayaanny, Al Hasan bin Sahl, saudara dari al-Fadl, yang hampir dengan seketika dihadapkan dengan pemberontakan Syi’ah, yang dipimpin oleh Abu’l-Saraya, yang pada bulan Jumadil akhir 199/Januari 815 meminta bantuan senjata dari Kuffah untuk membantu Ibnu Tabataba dari keluarga Hasan”[16]
Lalu Said menambahkan“seandainya ada orang yang sama sekali tidak memahami Islam membaca penggalan ini, dia tentu tidak akan tahu apa itu syiah dan siapa itu keluarga Hasan. ... Pada akhirnya dia akan begitu saja percaya bahwa pada Dinasti Abbasiy’ah, termasuk Harun Al-Rasyid, ternyata orang yang tolol, hina dan pembunuh-pembunuh yang haus darah, yang duduk bermalas-malasan di Merv. Bahkan dalam Cambridge History of Islam, kekuasaan Islam bahkan tidak mencakup Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol).[17]

Sampai disini, dapat dicermati bahwa Orientalisme tetap konsisten mempertahankan prinsip prinsipnya meskipun sebenarnya Timur sendiri sudah mengalami dinamika sejak Orientalisme muncul pertama kali. Fokus Said mengenai Pengetahuan dan kekuasaan, diakui olehnya dipengaruhi oleh Michel Foucault. Lalu kemudian apakah Said memang benar-benar tidak pernah membahas wilayah Timur lain selain Timur dekat/ Timur tengah? Dalam beberapa penggalannya mengenai Orientalisme, Said menceritakan bagaimana pada Kongres Orientalisme pertama tahun 1873, para Orientalisme sudah terikat secara politis dalam wilayah kajiannya. Satu nama yang dikenal para sejarawan Indonesia adalah Snouck Hurgronje. Setelah menjadi pengkaji Islam—kita semua mengetahui—ia akhirnya menjadi penasihat pemerintah belanda dalam menangani tanah jajahan Islam Indonesia.[18] Lalu pada halaman berikutnya, Said mengupas bagaimana Hurgronje meskipun menyadari terkadang “Hukum Islam” harus menyerah pada tekanan sejarah—ia tetap memeprtahankan abstraksi-abstraksi bahwa hukum Islam terikat pada kehendak otorite penguasa.[19]






[1]Agnostik adalah sikap mempercayai Tuhan bila sudah membuktikan sendiri.
[2]xvi
[3] 18
[4] 2-3
[5] 535
[6] 457
[7] 208
[8] 113
[9] 123
[10] 216
[11] 219
[12] 399
[13] 422
[14] 441
[15] 468-469
[16] 472-473
[17] Ibid,
[18] 322
[19] 395

No comments: