Wednesday 21 January 2015

Luruh Membaca Pram

Sebuah Kisah Tentang Pengalaman Membaca

Oleh: Abdul Hakim[1]

     Tulisan ini adalah cerita tentang pengalaman saya dalam membaca. Bila ada sebuah kategori saya mungkin termasuk dalam kategori yang sedikit membaca, tetapi memiliki keinginan yang kuat untuk terus membaca. Pengalaman yang ingin saya ceritakan di sini adalah ketika saya membaca karya-karya salah satu penulis besar yang dimiliki oleh Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (Bung Pram). Saya yakin banyak khalayak yang sudah jauh lebih mengenal Pram dan lebih fasih berbicara bahkan menuliskan tentang Pram dan karyanya. Lagi-lagi di sini saya tekankan ini hanya cerita tentang pengalaman saya tentang membaca.

**

Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu penulis terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Lahir di Blora, Pram tumbuh, berkembang dan mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Pram juga menjadi penulis Indonesia yang karyanya begitu banyak diapresiasi dalam beberapa penghargaan, di antaranya adalah Freedom to Write Award dari PEN Amerika Center, Ramon Magsaysay Award, Filipina, Wertheim Award, UNESCO Madanjeet Singh Prize, Fukuoka Cultural Grand Prize, dan masih banyak yang lainnya. Namanya masuk dalam nominasi pemenang Nobel Sastra, karya-karyanya juga telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa.
       Pram juga luruh dalam pergumulan politik, tentu sebagai reaksi dari tulisannya yang dianggap provokatif. Karyanya yang proaktif dalam pergumulan politik membuat dirinya seringkali menghadapi kerasnya kekuasaan, dan merasakan penjara juga pengasingan. Pengalaman terparah Pram tentu ketika ia diasingkan di Pulau Buru, pasca peristiwa 1965, namun kepiawaian dan kreativitasnya dalam menulis tidaklah lenyap karena penjara atau pengasingan, ia tetap berkarya dan terus berkarya.
   Tajamnya pena sang sastrawan dunia dalam melahirkan karya-karyanya yang relalis sosial, cukup membuat penguasa  gerah. Kekejaman penguasa, lantas membuat Pram menghadapi penderitaan. Kala seluruh bangsa ini menderita karena sebuah otoriter penguasa, Pram pun ikut menderita, karena selain diasingkan, karyanya banyak diberangus, terlebih lagi selama pengasingannya Pram tidak difasilitasi untuk menulis. Hal ini menyebabkan generasi bangsa Indonesia hari ini kehilangan ingatan kolektif tentang Pram dan sekian banyak buah karya salah satu putera terbaik bangsa Indonesia, karena sikap represif penguasa.
    Beruntung masih cukup banyak karya Pram yang terselamatkan, sempat tercetak, dan dicetak ulang sehingga masih kita nikmati. Dari karya-karya tersebut dapat kita rasakan semangat yang membara yang serta-merta dapat menular ke dalam diri kita. Karya-karya Pram bukan saja indah alur cerita dan penulisannya tetapi juga sarat akan nilai yang mendidik bangsa ini, menyadarkan kita akan persoalan yang dialami masyarakat. Nilai-nilai realisme sosial yang terkandung masih sangat relevan dengan kondisi kekinian.
Dalam Roman Gadis Pantai[2] misalnya, Pram dengan balutan narasi indah nan menggugah mampu memberikan suatu kritik menukik tajam langsung ke jantung feodalisme, yang amat disayangkan masih hidup di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ia dengan fasih dan tentu memberikan kritik tajam dengan melukiskan kondisi yang dialami masyarakat Jawa yang feodal. Ia menggambarkan bagaimana dilema pemikiran seorang gadis pantai memasuki dan mengenal realisme sosial yang feodalistik, terkungkung dan tidak merdeka. Hari-hari dipenuhi dengan ketakutan, ketakutan akan orang-orang yang punya kuasa. Gadis Pantai yang lugu melihat realitas kehidupan tersebut, di mana “orang kebanyakan” harus menerima nasibnya sebagai sahaya, sebagai orang yang mengabdi dan menuruti kemauan penguasa, orang kebanyakan yang bahkan tidak punya hak atas tubuh mereka.
       Dalam pergumulan pemikiran Gadis Pantai dalam melihat realitas tersebut, terasa muatan pemikiran dan kritik Pram terhadap feodalisme. Mempertanyakan mengapa ada orang yang menjadi sahaya bagi orang yang lainnya? mengapa orang rendahan selalu bernasib bertimpakan kemalangan? Satu kalimat kritik akan feodalisme yang masih terasa dalam masyarakat kekinian terbungkus dalam percakapan antara Gadis Pantai dan Perempuan tua yang menjadi sahayanya.
Mas Nganten masih ingat cerita sahaya tentang kakek sahaya yang ikut berontak bersama Pangeran Diponegoro? Ya, Mas Nganten masih ingat, bukan? Seorang penewu pernah mengurniainya wejangan: Kau tidak mengabdi kepadaku Man, tidak Man! Kalau kau Cuma mengabdi kepadaku, kalau aku tewas dan kau tinggal hidup, kau mengabdi kepada siapa lagi? Kau cari bendoro baru, kalau dia juga tewas? Tidak, man, tidak. Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja, para pangeran, dan para Bupati. Satu turunan tidak bakal selesai, man. Kalau para raja, pangeran dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan dengan Belanda. Entah Berapa turunan lagi. Tapi, kerja itu mesti dimulai.[3]
   Kutipan paragraf tersebut sangatlah terasa kegelisahan akan kondisi bangsa pada masa tersebut. Pada masa kolonial di mana masyarakat Indonesia hidup dalam nuansa feodalistis. Feodalisme yang sangat menghambat kemajuan bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan bangsa Barat. Hingga kini, pada masyarakat kita feodalisme belumlah luntur. Kita masih merasakan nuansa feodalisme dengan balutan yang berbeda (neofeodalisme). Jikalau dahulu kita melihat feodalisme yang memberikan jurang pemisah antara kalangan priyayi dan orang kebanyakan, kini kita melihat nuansa feodalisme di dalam masyarakat yang terpisah antara yang punya kekuasaan (kekayaan dan jabatan) dengan kaum papa dan pegawai rendahan.
Pentingnya membaca karya-karya Pram adalah sebagai bahan refleksi diri tentang nilai kehidupan. Sekaligus untuk membuka cakrawala pemikiran kita akan situasi masyarakat yang membelenggu kaki, tangan, dan mulut kita untuk mencapai kemajuan, serta pikiran yang utama memberikan semangat untuk membebaskan diri kita dari belenggu tersebut.
     Membaca karya-karya Pram memang bukan hanya perkara melihat keindahan alur cerita yang dibuatnya, membaca karya Pram berarti kita mewarisi semangat yang ia tuangkan dalam karyanya. Semangat dalam mendidik bangsa yang luruh dalam nuansa feodalistis, semangat dalam menghancurkan segala bentuk feodalisme yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.
   Beruntung kita generasi milenium masih bisa menikmati era kebebasan saat ini, tidak seperti Zaman Kolonial ataupun ORBA di mana kita tidak dibebaskan untuk membaca segala hal yang dianggap provokatif dan dapat mengganggu stabilitas. Dan menjadi lebih disayangkan lagi adalah ketika kita menjadi generasi yang masuk dalam kebebasan membaca dan berpendapat kita malah malas untuk membaca atau menulis. Sayang sekali kondisi masyarakat Indonesia masih sangatlah minimminat baca dan tulis. Sayang sekali ketika kita tidak memiliki hasrat dan dahaga akan pengetahuan. Padahal dengan membaca, menurut saya pribadi, bukan hanya pengetahuan yaang kita dapat, tetapi juga sebuah semangat, sebuah semangat yang menggebu-gebu untuk terus membaca, karena bagi saya dengan membaca kita menjadi tahu, tahu akan ketidaktahuan kita.
     Itulah secuil pengalaman yang saya dapatkan ketika saya membaca, dan saya merasa sangat beruntung masih diberikan kesadaran akan kurangnya saya membaca, kesadaran akan pentingnya membaca, kesadaran akan asyiknya membaca, dan kesadaran akan nikmatnya letupan semangat kala membaca. Melalui pengalaman ini, saya ingin menceritakan apa yang saya rasakan dan berharap Anda sekalian juga merasakan apa yang saya rasakan ketika membaca.
Mari membaca, kawan!



[1] Alumni Sejarah Universitas Negeri Jakarta
[2] Gadis Pantai adalah Roman yang tidak selesai, sebenarnya Gadis Pantai merupakan trilogi. Namun, dikarenakan kekejaman tangan kekuasaan, dua lanjutan roman ini harus hangus terbakar oleh keburukan dan kepicikan penguasa Orde Baru.
[3] Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai, (Jakarta : Lentera Dipantara, 2007), hal. 120-121

No comments: