Saturday 19 April 2014

Kehendak Yang Mesti Diperbaiki


Oleh: Citra Nuraini*


Kehendak untuk memperbaiki mesti ditinjau ulang oleh para wali masyarakat.


The Will to Improve
Tania Murray Li
Hery Santoso dan Pujo Semedi 
(Penerjemah)
Marjin Kiri,2012
536 halaman
Masyarakat sebagai suatu entitas yang beragam, selalu dijadikan objek sasaran berbagai progam pembanguan dari berbagai tokoh yang beragam, dari tingkat lokal hingga internasional. Progam pembangunan ini selalu diproduksi dan tidak akan pernah usai,  sejak zaman kolonial  hingga kini. Tujuan berbagai progam pembangunan itu adalah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Namun, anehnya progam-progam pembangunan ini tidak mampu menuntaskan persoalan. Keberadaan progam-progam ini justru membawa masalah baru bagi masyarakat.

Disinilah buku The Will to Improve tulisan Tania Muray Li menjawab sengkarut persoalan yang lahir dari ‘kehendak untuk memperbaiki’ tersebut.  Kehendak untuk memperbaiki, dikonsepkan dan dilaksanakan oleh para aktor yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’. Para wali masyarakat adalah sebuah kedudukan yang dibangun berdasarkan klaim bahwa merekalah yang paling tahu tentang masyarakat karena mereka memiliki pengetahuan. Para wali masyarakat ini melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat setempat melalui gelanggang kekuasaan yang dinamakan Foucault dengan  ‘rasionalitas khas kepengaturan’, yaitu upaya merumuskan “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia” dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang spesifik” dan diraih melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal. 11). Kepengaturan bertindak secara persuasif. Kekuatan untuk mengarahkan orang bekerja dengan cara mengarahkan minat, membentuk kebiasaan, mendorong internalisasi nilai-nilai, merumuskan cita-cita dan kepercayaan bersama.

Dengan memanfaatkan fakta etnografis dan historis perubahan masyarakat di Poso, Tentena, Taman Nasional Lore Lindu di pegunungan Sulawesi Tengah sebagai fokus penelitian, Tania menjaskan secara kronologis perjalanan kehendak untuk memperbaiki. Disana, selama seabad terakhir berbagai progam beserta intervensi kepengaturan diciptakan.

Progam-progam pengaturan masyarakat, yang dilahirkan pemerintah kolonial hingga rezim neoliberal sering saling tumpang tindih. Hal ini terjadi kaena progam-progam tersebut memiliki persoalan mendasar dan mengidap keterbatasan. Inilah kritik yang ditegaskan Tania. Keterbatasan pertama, sedikitnya perhatian kepada rezim penguasa yang justru ditempatkan sebagai mitra pembangunan, seburuk apapun pemerintahannya. Keterbatasan kedua, nihilnya atensi terhadap relasi kekuasaan yang terselubung antara wali masyarakat dan masyarakat binaan. Masyarakat bukanlah bejana kosong yang dapat diisi apa saja, sedangkan para wali masyarakat pun bukan kaum yang bebas nilai dari kepentingan kelompok. Hubungan tersebut mempertegas batas diantara keduanya yang bersebrangan dan tak terjembatani. Bisa dikatakan, pemberdayaan masih merupakan sebuah hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, pendekatan ini mengesampingkan faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis mereka. Batas inilah dasar yang membuat progam perbaikan dari dulu hingga kini, bisa masuk akal dan berakar kuat, tetapi selalu bermasalah. (halaman 496)

Menariknya dalam buku ini, Tania tidak memberi satu kesimpulan tunggal tentang yang harus kita lakukan. Melalui penjelasannya yang disusun dengan deskripsi yang apik dan kaya data, dia hanya mengajak kita berpikir hingga ke akar permasalahan, berpikir lebih luas, dan berpikir agar usaha perbaikan dapat dikerjakan lebih manusiawi. Oleh karena itu, sudah selayaknya buku ini kita baca.

*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ. Mantan pegiat pers mahasiswa. 

No comments: