Friday 30 October 2015

Kecupan Manis Sebuah Penantian

Oleh Hafid Ayatillah 

I’m back for you, my future


Raut muka itu terasa sangat berbeda, seakan mengisratkan sebuah kehilangan, tiap tatapan yang ia berikan menggambarkan luka yang teramat dalam, tangisan itu pun terdengar sangat jelas walau pun dalam relung hati. Entah mengapa, senyum itu puntera sasangat menyayat walaupun terlihat sangat menggairahkan. Malam itu terasa sangat kelabu namunsangatindah,karenacahaya sang dewi malam hadir ditengah-tengahnya. Seorang wanita terlihat murung, ia berjalan tanpa henti menuju suatu tempat dimana ia biasa ditemani dengan sunyi dan sejuknya malam.

            Delia, begitulah ia kerap disapa oleh teman – temannya, wanita yang tangguh, ceria dancerdas, namun dibalik semua itu ia adalah wanita penyendiri. Terduduk tenang, ia mulai merenung tentang semua yang ia alami, detik demi detik ia resapi hening nya suasana, pejaman itu bukan tak ada artinya, 

Apakah kehidupan ini hanya tak berpihak ke padaku?” begitu batinnya.

Perlahan tetesan air mata keluar dari kedua matanya yang sayu itu dan melewati pipi yang kian memerah akibat tangisannya, ia seakan kehilangan harapan, harapan tuk bahagia dengan apa yang sudah ia rencanakan dengan kekasihnya yang kini mungkin tak dapat ia perlakukan seperti dulu lagi. Semua harapannya kini sudah tinggal angan – angan dan mulai tersapu, terbawa oleh desiran anngin yang berhembus tenang. 

Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah buku, buku catatan lebih tepatnya. Ia buka buku catatan yang bertuliskan “Dream” tersebut, lembar demi lembar ia buka, ia nikmati dan mulai meresapi, bercumbu dengan harapan yang mulai kini menjadi kenangan. Awal dari setiap halaman buku itu menggambarkan bagaimana benih – benih kebahagiaan muncul, yang kelak akan menjadi harapannya, halaman halaman selanjutnya terdapat berbagai dokumentasi dengan seorang pria kesayangannya, terlihat mereka sangat dekat dan tentunya bahagia. 

Tiap ia membuka lembar berikutnya, air mata yang keluar membasahi pipinya semakin deras dan seakan memecahkan keheningan malam. Disela tangisannya kadang terdapat senyum dan tawa kecil, tepat di tengah halaman dari buku itu terdapat secarcik kertas yang bertuliskan “Tunggulah aku, aku akan kembali padamu”.

            Selepas SMA Delia berpisah dengan pria pujaan hatinya itu, mereka dipisahkan oleh tuntutan pendidikan yang diamanahkan oleh orang tua mereka. Sebelum keberangkatan kekasihnya itu Delia sempat bertemu dan saling berjanji dalam secarcik kertas kalau semua ini bukanlah akhir, mereka akan dipisahkan oleh benua yang berbeda untuk waktu yang cukup lama karena kekasihnya akan menuntut ilmu di perguruan tinggi terkenal negara AS. Tahun awal adalah tahun terberat yang dialui Delia selepas kekasihnya pergi, dengan padatnya jadwal kuliah dan juga tugas yang tak kunjung usai, ia tetap teguh menjalani pendidikannya. 

Dalam kesibukannya Delia tetap sempat menghubungi kekasihnya itu dan hubungan komunikasi yang terjalin antara mereka sama sekali tidak mengalami masalah yang berarti. Tahun kedua dan ketiga hubungan mereka masih utuh karena saling memegang teguh dengan janji yang mereka buat. Tahun terakhir adalah tahun yang dinanti nanti oleh Delia, ia sangat senang karena tinggal menghitung bulan mereka akan bertemu dan tentunya akan saling melepas rindu, tetapi semua rencana itu akan jadi sebuah wacana saja karena sebuah moment yang menghancurkan hatinya berkeping – keping.

            Hari itu Delia seperti biasa melakukan rutinitasnya sebagai seorang mahasiswi, dan hari itu terasa sangat cepat bagi Delia. Sesampainya ia dirumah, ia mengecek e-mail nya dan mendapatkan satu pesan yang menjadi pertanyaan baginya. Pria pujaannya itu menuliskan pesan “i m sorry, i must to say good bye”, hati Delia bertanya tanya dan seketika yang ada dalam fikirannya hanyalah pesan yang pria itu kirimkan kepadanya. 

Air mata tiba tiba jatuh tak tertahankan, kini kegundahan menyelimuti hatinya dan fikirannya. Hari hari selanjutnya tak ada satupun pesan atau kabar dari pria pujaan hatinya itu, tekanan batinpun ia rasakan sampai rutinitas yang ia lalui kini menjadi tak karuan. Delia melakukan berbagai cara untuk mengetahui keadaan pasangannya itu, ia mencoba menghubungi ponselnya tetapi ternyata sudah tidak bisa dihubungi lagi, ia coba untuk menelusuri media sosial dan ternyata hasilnya nihil. Usaha usaha untuk menemukan dan hanya mencoba agar bisa mendapatkan paling tidak satu kabar dari pria tersebut sudah ia lakukan, sampai pada puncaknya ia hanya bisa pasrah dan hanya sekedar menunggu.

Suatu pagi Delia terbangun dari tidurnya yang terbilang sangatlah tidak berkualitas, ia hanya tidur dua jam setiap harinya sejak pesan itu ia terima. Ia langsung bersisap siap untuk menjalani harinya seperti biasa, yaitu menjadi mahasiswi. Siang itu matahari sangat terik memancarkan sinarnya, ia terduduk di bawah sebuah pohon sambil meminum jus yang telah ia beli sesudah perkuliahan tadi. Delia menolehkan kepalanya kepada suatu surat kabar yang tergeletak di sampingnya, memungut lalu membacanya. 

Seketika matanya terbelalak melihat sebuah berita yang membuat tubuhnya lemas dan memaksa air matanya jatuh dengan derasnya, disitu tertulis bahwa lab penelitian perguruan tinggi di AS terbakar dan menyebabkan puluhan korban jiwa. Ia teringat bahwa perguruan tinggi tersebut adalah tempat dimana pria yang sangat ia cintai menempuh pendidikan, Iapun menangis karena beranggapan bahwa pasangannya juga menjadi korban dalam peristiwa itu. Berita peristiwa itu menjadi titik puncak dimana ia berfikir kalau ia harus merelakan kepergian seseorang yang benar benar ia harapkan menjadi masa depannya.

            Setelah hal itu ia sering pergi ketempat dimana ia berjanji bersama, dan menunggu saat dimana mereka bisa bersama lagi. Ditempat itu ia selalu berdoa yang terbaik untuk pria kesayangannya dimanapun dan bagaimanapun keadaannya, ditempat itu pula ia kadang mencurahkan isi perasaan yang sedang ia rasakan dan berharap orang yang ia tuju bisa mendengarkannya.

            “Malam ini adalah tepat genap empat tahun aku berpisah, rasanya sangat berat untuk menyadari hal ini”, batinnya. Delia bersiap siap, tentu menuju satu tempat yang sangat berkesan baginya dan hubungannya dengan pria itu, ya tentu saja tempat dimana mereka saling berjanji. Tempat itu tidak terlalu jauh dari rumah Delia, suatu taman yang membuat pengunjungnya merasa tenang walaupun berada di tengah perkotaan yang sangat ramai. Tiap langkah kaki yang ia pijaki terasa sangat berat, mengingat ia masih belum bisa merelakan sepenuhnya bahwa sang pujaan telah tiada. tinggal beberapa ratus meter lagi ia sampai ke taman itu, entah mengapa semakin dekat dengan taman itu raut mukanya semakin murung tetapi ia tetap mencoba tersenyum sampai akhirnya ia telah sampai di taman itu dan duduk di bangku yang disinari oleh ranumnya cahaya lampu taman.


            Delia mengingat kembali janji yang telah ia ucapkan bersama di tempat ini, ia melihat ke sekitar tak ada satu orangpun yang berkunjung di taman ini. Rasa sesak di dalam hati tiba tiba timbul begitu saja, seiring hembusan angin ia memejamkan matanya meresapi keheningan suasana dan mencoba menenangkan perasaannya. Ia berkata ;

Hans, ini tahun ke empat semenjak kita berpisah disini. Aku harap kamu bisa mendengarkan apa yang kukatakan ini dimana dan bagaimanapun keadaan kamu saat ini, Aku akan tetap menunggu dan mengingat apa yang sudah kita janjikan, disini .. ditempat ini”.

Ketika ia selesai mengucapkan kata – kata itu, suatu suara memanggil namanya “Delia ...”, ia menoleh dan dengan segala kesadarannya ia menyadari kalau yang ada di depannya itu adalah pria yang selama ini ia tunggu, pria yang selama ini membuatnya resah, ia pun berdiri dan memeluknya erat. 

Aku tak akan mengingkari apa yang telah aku katakan kepadamu Delia”, bisik Hans kepada Delia.

Tak sepatah katapun yang Delia katakan, hanya tangis haru yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Tangis itu seakan mengeluarkan semua yang ia tahan selama ini dalam relung hatinya yang paling dalam, semua rasa rindu seakan terbalaskan, semua penantianpun seakan terbalaskan. 

Hans menjelaskan mengapa ia menghilang begitu saja dengan meninggalkan berjuta pertanyaan pada sebuah pesan yang ia kirimkan, ia juga menjelaskan apa yang terjadi dengan perguruan tinggi tempat ia memperoleh pendidikan. Dengan satu pelukan penuh makna, Hans membisikkan satu kalimat yang membuat Delia merasa tenang dan membalas pelukan Hans, “I’m back for you, my future”.

No comments: