Wednesday 21 January 2015

Berbudaya Menuju Panggung Politik

Kusumo Digdoyo -- Njoto;
‘Berbudaya Menuju Panggung Politik’
Oleh : Azis Muhammad Benazir
Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak… Sekali lagi kawan, politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Karena itu dalam hal apa pun dan kapan saja pun, politik harus menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima.” –Njoto, 1927-1966(dinyatakan hilang) –


Masyarakat awam tidak lah familiar dengan nama Kusumo Digdoyo[1] dalam sejarah perpolitikan Indonesia ataupun hal yang berkaitan dengan PKI. Keterkaitannya dengan PKI lebih dikenal secara luas sebagai Wakil Ketua II CC PKI dengan  nama  Njoto. Namanya lekat sekali dengan Harian Rakjat dimana dirinya menjadi salah seorang pemimpin redaksi sekaligus ‘pengisi rutin’ kolom Catatan Seorang Publisis. Njoto juga menjadi salah seorang Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).[2] Sulung dari tiga bersaudara ini terlahir dari pasangan Raden Sosro Hartono dan Malsamah pada 17 Januari 1927 di Jember. Ayahnya, Raden Sosro merupakan keturunan bangsawan dari Solo yang kemudian mengembangkan usaha batik, jamu, dan segala kebutuhan pakain Jawa lainya di daerah Bondowoso, Jawa Timur. Njoto lahir dalam masa yang ‘radikal’ dalam periode ‘pergerakan’ rakyat-terutama buruh-dalam membela hak-haknya.[3] Dalam masa itu Raden Sosro seringkali menerima kunjungan-kunjungan dari kawannya yang eks-Digul di toko batik miliknya, selain itu Raden Sosro juga sering mengadakan rapat di tempat tersebut.[4]

JALAN MENUJU PANGGUNG POLITIK
Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti-wanti anak-anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran. Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut serta karena Raden Sosro ingin anak-anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih tinggi kurikulumnya. Pertimbangan itu karena sekolah rakyat pada masa itu hanya mengajarkan calistung untuk orang pribumi kebanyakan belum lagi lokasinya yang jauh di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember. Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) merupakan sekolah setingkat menengah pertama, di Jember. Nyoto bisa masuk sekolah itu tanpa tes namun, cukup disayangkan ketika tentara pendudukan Jepang datang sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal.[5]
Njoto muda sudah akrab dengan pemikir-pemikir yang menjadi kiblat pejuang revolusi, seperti Marx, Stalin, Lenin melalui karya-karya mereka. Ketika itu Njoto masih duduk di bangku Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama di Solo, Jawa Tengah, tanpa ada seorang pun yang mengarahkannya membaca buku-buku tersebut.[6] Masa muda yang ia habiskan dengan buku-buku pemikir revolusioner dan ia tunagkan dalam tulisan, serta dekatnya rekam jejak dari kerabat ayahnya membawanya perlahan masuk kedalam pentas politik nasional. Menginjak usia 16 tahun menurut Joesoef  Isak, Njoto menjadi perwakilan PKI Banyuwangi untuk Komite Nasional Indonesia Pusat, tanpa kejelasan kapan  ia mulai masuk partai dan siapa yang mempengaruhinya. Pemuda-pemuda yang lebih progressive di Partai Komunis Indonesia ketika itu  berhasil menggusur pemimpin sepuh, seperti Tan Ling Djie, Alimin, Wikana, dan Ngadiman Hardjosubroto, serta mengambil alih kepemimpinan partai. Aidit menjabat Ketua, Lukman menduduki posisi Wakil Ketua I, Njoto sebagai Wakil Ketua II, dan Sudisman mengisi kursi Sekretaris Jenderal. Sebagai Wakil Ketua II, Njoto bertanggung jawab atas Departemen Agitasi dan Propaganda. Lewat surat kabar ‘Harian Rakjat yang embrionya berasal dari majalah  teori Bintang Merah, Njoto menghidupkan kembali PKI dan ‘menghajar’ lawan-lawan politiknya. Sebaliknya, lewat kolom ‘Catatan Seorang Publisis’ di Harian Rakjat, Iramani nama pena Njoto tampil lebih lembut dan ‘sastrawi’.

PERJUANGAN REVOLUSI BUDAYA
Selain sebagai politisi Njoto juga berperan aktif sebagai pegiat seni.[7] Pada 17 Agutus 1950 Njoto bersama 15 seniman yang menyebut dirinya sebagai pekerja kebudayaan-termasuk Aidit,  mendirikan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di Jakarta sebagai suatu bentuk jawaban  terhadap Revolusi Agutus 1945 yang menurut Ir. Soekarno belumlah selesai. Naskah proklamasi berdirinya organisasi ini yang selanjutnya disebut Mukadimah[8] dibuka dengan pernyataan keras Revolusi Agustus 1945. Proklamasi, revolusi yang diyakini LEKRA sebagai revolusi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan dari penjajahan, secara politis ekonomi dan kultural. Setelah lima tahun dianggap telah gagal, dihambat oleh ‘perjuangan diplomasi’ yang dinilai meniadakan perjuangan dan pengorbanan rakyat selama Revolusi Agutus 1945.[9] Dalam laporannya pada kongres pertamanya di Solo, Sekretaris Umum LEKRA Joebaar Ajoeb menyatakan:

“Demikianlah, LEKRA didirikan 5 tahun sesudah Revolusi Agustsus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi, di saat garis revolusi sedang menurun. LEKRA didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga pekerja-pekerja kebudayaan. LEKRA didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi.”[10]
Dalam hal ini Njoto sebagai bagian dari LEKRA ikut menyuarakan betapa pentingnya kebudayaan bagi ‘Indonesia baru’, kegagalan Revolusi Agustus 1945 yang dibicarakan dalam Mukadimah, akan membawa kembali penjajahan  dalam bentuk barunya, berwujud kebudayaan yang bersifat feodal dan imprealis (budaya Barat). Kebudayaan yang selama ini melahirkan jiwa pengecut dan penakut, serta merasa tidak mampu melakukan apapun dalam rakyat Indonesia. Segenap pendiri LEKRA melihat setelah lima tahun proklamasi kemerdekaan, secara mental dan budaya rakyat belumlah merdeka. Revolusi harus diselesaikan dengan jalan meruntuhkan kebudayaan feodal dan menggantinya dengan kebudayaan yang demokratis dan bersifat kerakyatan dan hasil-hasil kebudayaan berasal dari rakyat dan bersama rakyat. Kebudayaan asing yang masuk haruslah di kritisi untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia. Mereka yang tergabung dalam LEKRA melakukan ‘perlawanan’ terhadap budaya asing-Barat. Seperti apa yang dilakukan Njoto di penghujung Desember 1954, Njoto naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi, Bojonegoro, Jawa Timur. Wakil Comitte Central PKI itu berbicara mengenai sikap PKI atas demoralisasi masyarakat, khususnya bagi anak-anak pelajar yang disebabkan oleh pengaruh budaya Barat.
“PKI menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi,” kata Njoto[11], “Tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jang ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita.”
            Pemikiran-pemikiran Njoto dan pekerja kebudayaan rakyat yang tergabung dalam LEKRA mendapat pertentangan dari banyak pihak yang menganggap LEKRA terlalu mencerminkan komunis dan PKI, LEKRA dianggap sebagai organ PKI dan kegiatannya dirasuki oleh kepentingan -kepentingan politik.[12] Njoto membantah dan menolak pemikiran yang menganggap bahwa kebudayaan harus bersih dari politik, bahwa seniman tidak boleh berpolitik karena akan menurunkan mutu artistik karya-karyanya. Baginya politik dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, dan belum  dibuktikan bahwa seniman yang berpolitik akan merosot mutu kesenimannya. Harian Rakjat-yang menjadi ‘microphone’ Njoto, edisi 4 Maret 1964 memuat ultimatum Njoto:
“Barang siapa masih berkata djuga bahwa seni itu “non-politik”, sesungguhnja dia itu reaksioner. Bukan saja jurnalistik, tetapi sport pun tidak bisa disangkal lagi bertautan erat sekali dengan politik. Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan seni”
Politik adalah Panglima, menurut Njoto dan dimunculkan sebagai azas dan dibicarakan secara khusus dam Konfernas LEKRA Agustus 1960. Politik yang dimakud  adalah politik yang maju, kerakyatan dan revolusioner, untuk membedakan dengan politik yang kolot, anti kerakyatan dan  reaksioner.[13] Njoto pulalah yang menyuarakan prinsip kerja ‘turun ke bawah’ yang semula diperuntukkan bagi pekerja-pekerja kebudayaan. Konsepsi mengenai ‘Kebudayaan Rakyat’ yang tertuang dalam Mukadimah LEKRA  merupakan buah pemikiran mereka yang menyebut diri pekerja-pekerja kebudayaan, termasuk Njoto didalamnya-yang paling berpengaruh. Njoto, melalui LEKRA, memberikan suatu rumusan mengenai pentingnya kebudayaan; dalam artiannya yang luas sebagai pondasi ‘bangunan’ kebangsaan Indonesia. Njoto mencoba kembali menyadarkan rakyat bahwa dalam sendi-sendi kehidupan, kebudayaan merupakan suatu komponen yang paling penting harus dipertahanakan. Nasionalisme dalam pandangan seniman yang pernah menjadi Menteri Negara masa Kabinet Dwikora I ini diproyeksikan melalui budaya, sebagai tindakan lanjutan Revolusi Agustus 1945.
  

[1] Kusumo Digdoyo adalah nama asli dari Njoto. Njoto merupakan anak pertama dari Raden Sosro yang dilahirkan di Jember 17 Januari 1927. Lihat Julius Poor, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualangan, Jakarta: PT Kompas Media Indonesia, 2010, hlm. 443.
[2] Inisiator dari LEKRA antara lain: D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto. Adapun anggota awal LEKRA diantaranya: M.S. Ashar, A.S. Dharta, Njoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb. Lihat, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, LEKRA Tidak Membakar Buku, Yogyakarta: Merakesumba, 2008, hlm. 21.
[3] Pada masa–masa ini pada tahun 1926-1927 di Hindia Belanda sedang mengalami gejolak perjuanganpemberontakan, yang dilakukan oleh banyak organisasi kerakyatan–yang mewadahi kaum buruh & tani. Salah satunya adalah PKI yang akhirnya ‘dihabisi’ oleh pemerintahan Hindia Belanda dan orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan ini diadili langsung tanpa di bawa ke meja hijau tepatnya mereka di buang ke Boven Digoel. Lihat, Harry A Poeze,  Tan Malaka Gerakan kiri dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm2.
[4] Raden Sosro merupakan aktivis komunis dan seorang pejuang kemerdekaan. Lihat, Julius Poor, Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan dan Petualangan. Jakarta: Kompas2010, op.cit. Ketertarikan awal Njoto terhadap Marxisme dapat diteluuri dari masa ini, sbelum akhirnya Njoto meneruskan sekolahnya ke Solo. Lihat juga, Njoto; Peniup Saxofon di Tengah Prahara, hlm. 10.
[5] Njoto; Peniup Saksofon di Tengah Prahara, Edisi Khusus Tempo. 2009, hlm. 4-5.
[6] Ibid, hlm. 10
[7] Tulisan ini tidak bermaksud mengesampingkan mengenai peran penting Njoto di HR, tapi lebih jauh kepada pemikiran-pemikiran Njoto mengenai kebudayaan yang selain tertuang dalam suara-suaranya di HR juga  terangkum dalam kegiatannya di LEKRA.
[8] Joebaar Ajoeb, 1959 ‘Perkembanan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan LEKRA Di Dalamnya’ dalam Dokumen Kongres Nasional I LEKRA, Bagian Penerbitan LEKRA, 1959, hlm. 15.
[9] Alexander Supranoto, Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, Skripsi STF Driyarkara, Jakarta, 2000, hlm. 53.
[10] Joebaar Ajoeb, 1959 ‘Perkembanan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan LEKRA Di Dalamnya’ dalam Dokumen Kongres Nasional I LEKRA, Bagian Penerbitan LEKRA, 1959, hlm. 15.
[11] Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan LEKRA Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965) 
[12] Perdebatan mengenai kebudayaan di Indonesia sudah berlangsung cukup lama sejak munculnya gerakan Djawa Dipa 1917, Taman Siswa 1922, Pudjangga Baru 1933, dalam perdebatannya di tahap itu,  kebudayaan dimaknai secara luas tidak hanya menyoal satra dan seni saja, tapi menyangkut pula politik, pendidikan dll. Hal ini terkait bayangan para pemikir, tidak hanya dalam bidang kebudayaan, mengenai kehidupan yang demokratis dalam Indonesia yang merdeka. Ketika memasuki tahap 1960-an kebudayaan dimengerti dalam artian yang sempit; seni dan sastra. Untuk kemudian menjadi medan persaingan politik dalam artian yang juga sempit; perebutan kekuasaan.
[13] Joebaar Ajoeb, 1960 ‘Manifesto Politik dan Kebudayaan: Laporan Umum’, dalam Pleno Agustus Pimpinan Pusat LEKRA 1960, Laporan Kebudayaan Rakyat II, Jakarta, Bagian Penerbitan LEKRA, hlm. 22-24.

Daftar Pustaka
Julius Poor, 2010, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualangan, Jakarta: PT Kompas Media Indonesia
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008,  LEKRA Tidak Membakar Buku, Yogyakarta: Merakesumba.
Harry A Poeze,  2008, Tan Malaka Gerakan kiri dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Leclerc Jacques, 1979, Kondisi kehidupan Partai Kaum Revolusioner Indonesia Dalam
Mrencari Identitas (1928-1948). Prisma.LP3ES. Jakarta
___________________, 2009, Njoto; Peniup Saxofon di Tengah Prahara, Edisi Khusus Tempo: Orang Kiri Indonesia.
Supranoto, Alexander, 2000, Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, Jakarta, Skripsi STF Driyarkara.
___________________, 1959, ‘Perkembanan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan LEKRA Di Dalamnya’ dalam Dokumen Kongres Nasional I LEKRA, Jakarta, Bagian Penerbitan LEKRA.
__________________, 1960, ‘Manifesto Politik dan Kebudayaan: Laporan Umum’, dalam, Laporan Kebudayaan Rakyat II, Jakarta, Bagian Penerbitan LEKRA.

No comments: