Friday 16 January 2015

Septevana

Oleh: Aziz Benazir

‘Jika kau tahu sesuatu akan berakhir buruk, sanggupkah kau mengehentikannya ketika masih terasa indah ?’

***
‘Jul, Juli’
Dalam gelap, aku dengar suara seseorang memanggilku. Senyap suara itu kudengar, maklum rasa kantuk yang luar biasa masih mendekapku. Aku baru bisa tidur ketika shubuh menjelang, rutinitas kehidupan yang begitu mengikat luar biasa menyiksaku. Tugas menumpuk, harus bekerja didepan laptop sampai larut, aku berfikir apakah yang seperti ini dinamakan dengan hidup ? Malas kulangkahkan kaki turun ke kamar mandi dari kamar indekost untuk cuci muka.

‘Hei, baru bangun’ suara yang sedari tadi memanggil menyapaku.

‘Eh iya’ jawabku singkat, belum jelas aku melihat wajahnya, kantuk masih menyergapku.

‘Sept, loh kok, kirain siapa ?’ kataku kemudian seraya membasuh wajahku dengan handuk.


‘Aku telponin hp-nya gak aktif, sms gak dibales, yasudah aku kesini.’ Senyum manisnya yang diumbar percuma membuatku tak percaya ini nyata.’Kamu mandi gih, aku naik ke atas ya’ sambungnya sambil masih tersenyum, entah senyumnya untuk siapa dan untuk apa.
‘Hehehe hp-nya mati kali, iya nanti dulu, eh, mau ngapain, masih berantakan, yaudah deh’ kataku bingung, belum selesai kalimatku Sept sudah ngeloyor ke atas, ke kamar indekostku.
Maklum sudah sekitar empat bulan aku tidak melihat wajahnya. Wajah yang sempat mengisi hari-hari ku dan kepergiannya menyisakan rindu yang meendalam. Septevana namanya, pertemuan pertama kami bisa dibilang aneh. Untuk orang seperti kami yang ‘hidup’ dalam dunia yang bisa dibilang ‘gelap’, kami berkenalan justru di masjid dalam serangkaian acara menyambut Ramadhan. Aku dan Sept berkenalan dengan cara yang juga tidak biasa, lewat sebuah novel yang mengiringi kedekatan kami. Sebulan itu kami sering melewati hari bersama, aku menjemputnya sekolah, atau sekedar menikmati jalan dan suasana malam kota Jakarta lewat sudut pandang yang berbeda. Sudut pandangku, aku menularkan pandangan-pandangan lain tentang hidup padanya, yang aku pun baru dapat sudut pandang itu dari sebuah buku filsafat.
Melalui novel yang telah aku bacalah, aku mulai ‘meracuni’ Sept untuk mulai belajar filsafat, sekaligus menemaniku mempelajarinya. Sampai aku merasa justru fikiran-fikirannya lah yang lebih maju dari pada aku dalam membahas soal hidup. Pertanyaan-pertanyaan mengalir dari bibirnya; kenapa kita ketemu, kenapa ketemunya sekarang, sampai kapan kita bisa seperti ini, kapan akan berakhir, apakah kita akan siap jika berakhir. Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengagetkanku, aku tidak pernah berfikir sejauh itu tentang kami. Semakin sering kami bersama kami mulai saling mengenal satu sama lain. Belakangan aku dipertemukan dengan teman dekatnya yang ternyata teman dekatku juga semasa sekolah menengah, kemudian aku juga tahu kalau temanku ternyata sepupunya, dan lain-lain yang rasanya ada yang aneh tentang kami. Ternyata Sept juga merasakan keanehan tersebut bahkan dikaitkan dengan pertanyaan filosofis dari novel yang kuberikan, Dunia Sophie. itulah yang kami bincangkan sehari-harinya.
‘Mungkin gak sih kalu kita pernah ketemu sebelumnya’
Aku tahu maksud kata ‘sebelumnya’ ini bukan dalam artian sebenarnya. Lagi-lagi aku dikagetkan dengan fikiran-fikiran Sept yang selalu mengejutkanku. Entah hanya aku yang merasa atau dia juga merasakan hal yang sama denganku, yang jelas buatku,

aku nyaman ketika senyumnya ada disampingku. Walau mungkin senyum itu bukan buatku. Cinta mengiringi kebersaman kami, dalam diriku tentu, dirinya, aku tak tahu. Lalu aku ingat bahwa kami punya kesepakatan, jangan sampai cinta diantara kami terjatuh. Tapi aku termakan sendiri ucapanku, perasaan ini semakin deras mengalir dalam fikiranku, hatiku ? entahlah, aku tak tahu, mungkin.
‘Jangan biarin perasaan itu mempengaruhi kamu.’
Aku masih ingat kata-katanya yang satu itu, anehnya aku tidak merasa sakit hati mendengarnya mengatakan hal itu, aku justru senang. Aneh. Setelah hari itu kami menjauh, dijerat dan ditarik kembali oleh kesibukan masing-masing. Entah dia atau aku yang memulai, pokoknya kami menjadi jauh. Awalnya aku masih menghubunginya, sesekali menanyakan kabar sekedar basa-basi dan mencairkan juga membalikkan suasana seperti dulu, sayangnya sudah tidak sama lagi seperti dulu. Aku katakan padanya aku sedih dengan keadaan ini.
‘Kan aku pernah ingatkan, jangan biarin perasaan itu mempengaruhi kamu.’ komentarnya.
Hari-hari terus berjalan, begitu pun kami yang tak lagi beriringan, meski sesekali kami bertegur suara. Sampai sekitar sebulan yang lalu dia mengutarakan keinginannya untuk bertemu ketika kami bertukar suara lewat handphone. Sept bercerita tentang cintanya yang jatuh, oleh temanku yang juga temannya, padahal sudah kuingatkan dia. Kemudian kita banyak bicara mengenang sedikit yang pernah terjadi diantara kami. Tentang kegiatannya, kegiatanku dan, obrolan panjang itu diakhiri oleh suara tegas seorang perempuan paruh baya yang mengingatkan pulsaku sudah habis. Lalu kami ditarik kembali oleh beban kehidupan masing-masing. Kemudian saling melupakan, dia, mungkin, tapi tidak denganku. Terakhir aku mendapat pesan singkatnya ‘Jul, dimana’, lalu aku kehilangan kontaknya beberapa minggu lalu. Dan kini dia menyambangi indekost ku pagi-pagi buta, dalam jam ku, karena tidur saja baru ku lakukan shubuh tadi.
‘Kebo banget sih, jam segini baru bangun’ ucapnya sambil memandangiku.
‘Kamu gemukan deh Sept’ kataku tak menggubris komentarnya tentang waktu bangunku yang kelewatan siang.
‘Apa sih orang enggak, ini malah kurusan’ balasnya.
‘Kurus segini, gemuk semana ?’ aku menimpali
‘Eh, mau ngapain deh kamu kesini, aku kira aku tadi masih mimpi , ada yang manggil-manggil gitu, eh ternyata kamu’ kataku selanjutnya.
‘Kenapa emang, gak boleh ?’ ucapnya sambil kembali memandangiku.
Aku yang dipandangi menjadi salah tingkah, apa lagi dib alas bertanya seperti itu. ‘Mm, boleh sih tapi kan, yah kamu kan udah lama gak, mm…’ jawabku bingung.
‘Ke taman yuk, aku pengen kesana deh’ potongnya sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku.
‘Hah, ayuk deh’ kataku seraya mengambil bolpoint dari sebelah kasur yang belum sempat kubenahi. Lalu kutulis dalam catatanku hari itu.
‘Hidup itu memang menyedihkan dan serius. Kita dibiarkan memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain disini, saling menyapa dan berkelana bersama untuk sejenak. Lalu, kita saling kehilangan dan lenyap dengan cara yang sama mendadaknya dan sama tidak masuk akalnya seperti ketika kita datang.’ –Joestin Gaarder, Dunia Sophie.
Siang itu tidak aku fikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya terkait perasaanku padanya yang belum jatuh. Percuma saja aku merencanakan segala sesuatu.
Manusia seperti apapun bentuk fikirannya, sulit, kalau tidak bisa dibilang tidak punya kesempatan, untuk memiliki ‘kehendak bebas’-nya sendiri, karena bagaimanapun Tuhan lah yang mengatur bagaimana manusia hidup, tumbuh dan berkembang serta segala macam hal yang mengiringi proses tersebut. Meskipun dalam kitab suci disebutkan bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib manusia selama manusia itu tidak mau merubahnya, tetap saja Tuhan lah yang punya kuasa untuk merubah segala-gala hal yang ada dalam kehidupan.

***

No comments: