Wednesday 28 January 2015

Pesta Literasi Akhir Tahun

BEDAH BUKU "PANDUAN KOTA-KOTA PUSAKA DI INDONESIA"
dalam Rangkaian Acara Pesta Literasi Akhir Tahun#PLAT2014
9 Desember 2014 di RSG FIS-UNJ



Buku ini merupakan Guide Book yang memiliki berbagai sudut pandang menarik melihat sembilan kota pusaka di Indonesia. ditulis oleh Emile Leushuis seorang warga negara berkebangsaan Belanda yang berlatar belakang Ilmu Geografi namun ketertarikannya terhadap Pariwisata membawa ia ke Indonesia dan menulis buku tersebut.







Suasana Acara Bedah Buku Berlangsung
9 Desember 2014 di RSG FIS-UNJ

Penulis Emile Leushuis sedang memaparkan penjelasan (kiri)
9 Desember 2014 di RSG FIS-UNJ

dari kiri ke kanan;
Emile Leushuis (Penulis Buku), Bara Prastama (Moderator), Moh.Shobbirien (Dosen D3 Pariwisata)
9 Desember 2014 di RSG FIS-UNJ

Andre salah Audiens bertanya kepada para pembicara

Tyo Prakoso salah Audiens bertanya kepada para pembicara

Penulis: Emile Leushuis

Para pembicara memberikan jawaban kepada Audiens yang bertanya

Friday 23 January 2015

Jual Buku Selalu Diskon 10-15 %

PENERBIT OMBAK



PENERBIT YOI (Yayasan Obor Indonesia)






Jelajah Literasi


bersama "KOMUNITAS KANDANG BUKU"

Rancangan Perjalanan:
Sabtu, Janurari 2015

07.00-08.00 : Meeting Point di Komunitas Kandang Buku Jl. Rawamangun Muka Selatan atau @UNJ, jakarta timur  
sekalian absen dan regist ulang
08.00 -12.30 : Perjalanan menuju to Cianjur via tol Jagorawi
12.30-13.30 : Istirahat, Sholat,Makan Siang, dan Ngopi @Cianjur
13.30-14.30 : melanjutkan perjalanan ke Gn. Padang
14.30-17.30 : Exploration and Hunting in Gunung Padang Heritage (Photo, Wawancara Masyarakat, Menulis Cerita 
dsbg)
17.30-18.00 : Bersiap perjalanan kembali ke Jakarta
18.00-19.30 : Perjalanan pulang Jakarta
19:30-20:00 : Mampir Ngopi dan Makan Malam di Mang Idi Cibodas
20.00-21.30 : lanjut pulang ke Jakarta
21:30- : Tiba di Meeting point Rawamangun Tercinta, see u en bye-bye

PRICE IDR 150,000/Orang
*DP IDR 50,000
=========================
Price Include:
1. Transportasi Private bus (FULL AC,TV,DVD,AUDIO,Charge Hp only)
2. Tips Supir, Tol, dan parkir
3. Konsumsi 2x
4. Retribusi tiket Gn.Padang
5. Dokumentasi with DSLR
6 Tour Guide yang Kece
7. Dapet pengalaman, peng'amanan' dan kehangatan hehe
9. Lokal Guide

Exclude:
1. Biaya Lain diluar Fasilitas
2. Obat-Obatan Pribadi
3. Tips Lokal Guide (sukarela aja)
=================================================
Barang Pribadi yang disarankan untuk dibawa :
- Payung/Raincoat
- Obat2an pribadi
- Snack2/Roti
- Sandal/sepatu yg nyaman buat traveling aja
- Jaket dingin...minimal sarung
- Baju ganti takut klo ujan basah kuyub atau tiba-tiba mau nginep di Gn. Padang
- Pelengkapan mandi sama shalat *buat yg muslim*
- Kaca Mata Hitam biar keren pas Foto
- Camera
- Handphone *merk dan jenis apapun*
- Powerbank dan Tongsis *teknologi terpopuler abad ini
=========================
Contact Person
1. Hafid
ID Line: linkenspr

2. Bara
BBM 7de7ec9a
Whatsapp 08984111680
=========================
PERSYARATAN DAN KETENTUAN
Ketentuan Peserta:
1. Minimal keberangkatan 7 Pax, Maksimal 30 pax (dibawah 7 peserta tujuan akan pindah ke warung padang)
2. Usia peserta minimal 12 tahun, dibawah 12 tahun harap didamping wali/ortu, takutnya ini anak ga ada yg ngakuin  
*hiks
3. Ketika trip dalam kondisi yang sehat dan prima karena nanti akan berpengaruh sama hasil fotonya
4. tidak mempunyai riwayat penyakit yang membahayakan bagi diri sendiri atau orang lain...semisal sakit 'kanibal' *kan 
serem jalan-jalan cemilannya daging manusia
5. Pembatalan dikarenakan kuota tidak terpenuhi akan ada pengembalian uang DP 100%...klo bisa ya ikhlasin aja
6. Pembatalan dari pihak peserta di hari H, maka uang DP hangus dan peserta lain nomboikin sisanya *hiks
7. Pembayaran DP sebesar IDR 50,000, setelah namanya di update di daftar list peserta melalui akun fb/twitter 
@kandangbuku
8. Setelah melakukan transfer HARAP segera konfirmasi ke contact person, bukti transfer di simpan, difoto dan dikirim 
via Email/BB/WA.
9. Panitia berhak membatalkan trip dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, dan uang DP peserta akan 
dikembalikan 100%...atau mau dipindah makan di warung padang bareng-bareng?
10. Semua peserta yang sudah booking dan ikut JELAJAH LITERASI bersama Komunitas Kandang Buku dianggap 
mengerti dan menyetujui semua ketentuan di atas, dan tidak melakukan tuntutan yang lebai, kalau ga ngerti...nanti 
dikasih pengertian lebih deh...
=========================
Peserta yang akan mendaftar bisa mentransfer DP ke rekening :
BNI a/n Bara Prastama 0133099009
BCA a/n Bara Prastama 4768046920
atau langsung main aja ke sekertariat komunitas ^^

(sebelum transfer atau sesudah transfer mohon konfirmasi ke nomor di atas)

Wednesday 21 January 2015

Luruh Membaca Pram

Sebuah Kisah Tentang Pengalaman Membaca

Oleh: Abdul Hakim[1]

     Tulisan ini adalah cerita tentang pengalaman saya dalam membaca. Bila ada sebuah kategori saya mungkin termasuk dalam kategori yang sedikit membaca, tetapi memiliki keinginan yang kuat untuk terus membaca. Pengalaman yang ingin saya ceritakan di sini adalah ketika saya membaca karya-karya salah satu penulis besar yang dimiliki oleh Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (Bung Pram). Saya yakin banyak khalayak yang sudah jauh lebih mengenal Pram dan lebih fasih berbicara bahkan menuliskan tentang Pram dan karyanya. Lagi-lagi di sini saya tekankan ini hanya cerita tentang pengalaman saya tentang membaca.

**

Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu penulis terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Lahir di Blora, Pram tumbuh, berkembang dan mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Pram juga menjadi penulis Indonesia yang karyanya begitu banyak diapresiasi dalam beberapa penghargaan, di antaranya adalah Freedom to Write Award dari PEN Amerika Center, Ramon Magsaysay Award, Filipina, Wertheim Award, UNESCO Madanjeet Singh Prize, Fukuoka Cultural Grand Prize, dan masih banyak yang lainnya. Namanya masuk dalam nominasi pemenang Nobel Sastra, karya-karyanya juga telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa.
       Pram juga luruh dalam pergumulan politik, tentu sebagai reaksi dari tulisannya yang dianggap provokatif. Karyanya yang proaktif dalam pergumulan politik membuat dirinya seringkali menghadapi kerasnya kekuasaan, dan merasakan penjara juga pengasingan. Pengalaman terparah Pram tentu ketika ia diasingkan di Pulau Buru, pasca peristiwa 1965, namun kepiawaian dan kreativitasnya dalam menulis tidaklah lenyap karena penjara atau pengasingan, ia tetap berkarya dan terus berkarya.
   Tajamnya pena sang sastrawan dunia dalam melahirkan karya-karyanya yang relalis sosial, cukup membuat penguasa  gerah. Kekejaman penguasa, lantas membuat Pram menghadapi penderitaan. Kala seluruh bangsa ini menderita karena sebuah otoriter penguasa, Pram pun ikut menderita, karena selain diasingkan, karyanya banyak diberangus, terlebih lagi selama pengasingannya Pram tidak difasilitasi untuk menulis. Hal ini menyebabkan generasi bangsa Indonesia hari ini kehilangan ingatan kolektif tentang Pram dan sekian banyak buah karya salah satu putera terbaik bangsa Indonesia, karena sikap represif penguasa.
    Beruntung masih cukup banyak karya Pram yang terselamatkan, sempat tercetak, dan dicetak ulang sehingga masih kita nikmati. Dari karya-karya tersebut dapat kita rasakan semangat yang membara yang serta-merta dapat menular ke dalam diri kita. Karya-karya Pram bukan saja indah alur cerita dan penulisannya tetapi juga sarat akan nilai yang mendidik bangsa ini, menyadarkan kita akan persoalan yang dialami masyarakat. Nilai-nilai realisme sosial yang terkandung masih sangat relevan dengan kondisi kekinian.
Dalam Roman Gadis Pantai[2] misalnya, Pram dengan balutan narasi indah nan menggugah mampu memberikan suatu kritik menukik tajam langsung ke jantung feodalisme, yang amat disayangkan masih hidup di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ia dengan fasih dan tentu memberikan kritik tajam dengan melukiskan kondisi yang dialami masyarakat Jawa yang feodal. Ia menggambarkan bagaimana dilema pemikiran seorang gadis pantai memasuki dan mengenal realisme sosial yang feodalistik, terkungkung dan tidak merdeka. Hari-hari dipenuhi dengan ketakutan, ketakutan akan orang-orang yang punya kuasa. Gadis Pantai yang lugu melihat realitas kehidupan tersebut, di mana “orang kebanyakan” harus menerima nasibnya sebagai sahaya, sebagai orang yang mengabdi dan menuruti kemauan penguasa, orang kebanyakan yang bahkan tidak punya hak atas tubuh mereka.
       Dalam pergumulan pemikiran Gadis Pantai dalam melihat realitas tersebut, terasa muatan pemikiran dan kritik Pram terhadap feodalisme. Mempertanyakan mengapa ada orang yang menjadi sahaya bagi orang yang lainnya? mengapa orang rendahan selalu bernasib bertimpakan kemalangan? Satu kalimat kritik akan feodalisme yang masih terasa dalam masyarakat kekinian terbungkus dalam percakapan antara Gadis Pantai dan Perempuan tua yang menjadi sahayanya.
Mas Nganten masih ingat cerita sahaya tentang kakek sahaya yang ikut berontak bersama Pangeran Diponegoro? Ya, Mas Nganten masih ingat, bukan? Seorang penewu pernah mengurniainya wejangan: Kau tidak mengabdi kepadaku Man, tidak Man! Kalau kau Cuma mengabdi kepadaku, kalau aku tewas dan kau tinggal hidup, kau mengabdi kepada siapa lagi? Kau cari bendoro baru, kalau dia juga tewas? Tidak, man, tidak. Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja, para pangeran, dan para Bupati. Satu turunan tidak bakal selesai, man. Kalau para raja, pangeran dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan dengan Belanda. Entah Berapa turunan lagi. Tapi, kerja itu mesti dimulai.[3]
   Kutipan paragraf tersebut sangatlah terasa kegelisahan akan kondisi bangsa pada masa tersebut. Pada masa kolonial di mana masyarakat Indonesia hidup dalam nuansa feodalistis. Feodalisme yang sangat menghambat kemajuan bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan bangsa Barat. Hingga kini, pada masyarakat kita feodalisme belumlah luntur. Kita masih merasakan nuansa feodalisme dengan balutan yang berbeda (neofeodalisme). Jikalau dahulu kita melihat feodalisme yang memberikan jurang pemisah antara kalangan priyayi dan orang kebanyakan, kini kita melihat nuansa feodalisme di dalam masyarakat yang terpisah antara yang punya kekuasaan (kekayaan dan jabatan) dengan kaum papa dan pegawai rendahan.
Pentingnya membaca karya-karya Pram adalah sebagai bahan refleksi diri tentang nilai kehidupan. Sekaligus untuk membuka cakrawala pemikiran kita akan situasi masyarakat yang membelenggu kaki, tangan, dan mulut kita untuk mencapai kemajuan, serta pikiran yang utama memberikan semangat untuk membebaskan diri kita dari belenggu tersebut.
     Membaca karya-karya Pram memang bukan hanya perkara melihat keindahan alur cerita yang dibuatnya, membaca karya Pram berarti kita mewarisi semangat yang ia tuangkan dalam karyanya. Semangat dalam mendidik bangsa yang luruh dalam nuansa feodalistis, semangat dalam menghancurkan segala bentuk feodalisme yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.
   Beruntung kita generasi milenium masih bisa menikmati era kebebasan saat ini, tidak seperti Zaman Kolonial ataupun ORBA di mana kita tidak dibebaskan untuk membaca segala hal yang dianggap provokatif dan dapat mengganggu stabilitas. Dan menjadi lebih disayangkan lagi adalah ketika kita menjadi generasi yang masuk dalam kebebasan membaca dan berpendapat kita malah malas untuk membaca atau menulis. Sayang sekali kondisi masyarakat Indonesia masih sangatlah minimminat baca dan tulis. Sayang sekali ketika kita tidak memiliki hasrat dan dahaga akan pengetahuan. Padahal dengan membaca, menurut saya pribadi, bukan hanya pengetahuan yaang kita dapat, tetapi juga sebuah semangat, sebuah semangat yang menggebu-gebu untuk terus membaca, karena bagi saya dengan membaca kita menjadi tahu, tahu akan ketidaktahuan kita.
     Itulah secuil pengalaman yang saya dapatkan ketika saya membaca, dan saya merasa sangat beruntung masih diberikan kesadaran akan kurangnya saya membaca, kesadaran akan pentingnya membaca, kesadaran akan asyiknya membaca, dan kesadaran akan nikmatnya letupan semangat kala membaca. Melalui pengalaman ini, saya ingin menceritakan apa yang saya rasakan dan berharap Anda sekalian juga merasakan apa yang saya rasakan ketika membaca.
Mari membaca, kawan!



[1] Alumni Sejarah Universitas Negeri Jakarta
[2] Gadis Pantai adalah Roman yang tidak selesai, sebenarnya Gadis Pantai merupakan trilogi. Namun, dikarenakan kekejaman tangan kekuasaan, dua lanjutan roman ini harus hangus terbakar oleh keburukan dan kepicikan penguasa Orde Baru.
[3] Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai, (Jakarta : Lentera Dipantara, 2007), hal. 120-121

Berbudaya Menuju Panggung Politik

Kusumo Digdoyo -- Njoto;
‘Berbudaya Menuju Panggung Politik’
Oleh : Azis Muhammad Benazir
Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak… Sekali lagi kawan, politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Karena itu dalam hal apa pun dan kapan saja pun, politik harus menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima.” –Njoto, 1927-1966(dinyatakan hilang) –


Masyarakat awam tidak lah familiar dengan nama Kusumo Digdoyo[1] dalam sejarah perpolitikan Indonesia ataupun hal yang berkaitan dengan PKI. Keterkaitannya dengan PKI lebih dikenal secara luas sebagai Wakil Ketua II CC PKI dengan  nama  Njoto. Namanya lekat sekali dengan Harian Rakjat dimana dirinya menjadi salah seorang pemimpin redaksi sekaligus ‘pengisi rutin’ kolom Catatan Seorang Publisis. Njoto juga menjadi salah seorang Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).[2] Sulung dari tiga bersaudara ini terlahir dari pasangan Raden Sosro Hartono dan Malsamah pada 17 Januari 1927 di Jember. Ayahnya, Raden Sosro merupakan keturunan bangsawan dari Solo yang kemudian mengembangkan usaha batik, jamu, dan segala kebutuhan pakain Jawa lainya di daerah Bondowoso, Jawa Timur. Njoto lahir dalam masa yang ‘radikal’ dalam periode ‘pergerakan’ rakyat-terutama buruh-dalam membela hak-haknya.[3] Dalam masa itu Raden Sosro seringkali menerima kunjungan-kunjungan dari kawannya yang eks-Digul di toko batik miliknya, selain itu Raden Sosro juga sering mengadakan rapat di tempat tersebut.[4]

JALAN MENUJU PANGGUNG POLITIK
Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti-wanti anak-anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran. Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut serta karena Raden Sosro ingin anak-anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih tinggi kurikulumnya. Pertimbangan itu karena sekolah rakyat pada masa itu hanya mengajarkan calistung untuk orang pribumi kebanyakan belum lagi lokasinya yang jauh di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember. Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) merupakan sekolah setingkat menengah pertama, di Jember. Nyoto bisa masuk sekolah itu tanpa tes namun, cukup disayangkan ketika tentara pendudukan Jepang datang sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal.[5]
Njoto muda sudah akrab dengan pemikir-pemikir yang menjadi kiblat pejuang revolusi, seperti Marx, Stalin, Lenin melalui karya-karya mereka. Ketika itu Njoto masih duduk di bangku Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama di Solo, Jawa Tengah, tanpa ada seorang pun yang mengarahkannya membaca buku-buku tersebut.[6] Masa muda yang ia habiskan dengan buku-buku pemikir revolusioner dan ia tunagkan dalam tulisan, serta dekatnya rekam jejak dari kerabat ayahnya membawanya perlahan masuk kedalam pentas politik nasional. Menginjak usia 16 tahun menurut Joesoef  Isak, Njoto menjadi perwakilan PKI Banyuwangi untuk Komite Nasional Indonesia Pusat, tanpa kejelasan kapan  ia mulai masuk partai dan siapa yang mempengaruhinya. Pemuda-pemuda yang lebih progressive di Partai Komunis Indonesia ketika itu  berhasil menggusur pemimpin sepuh, seperti Tan Ling Djie, Alimin, Wikana, dan Ngadiman Hardjosubroto, serta mengambil alih kepemimpinan partai. Aidit menjabat Ketua, Lukman menduduki posisi Wakil Ketua I, Njoto sebagai Wakil Ketua II, dan Sudisman mengisi kursi Sekretaris Jenderal. Sebagai Wakil Ketua II, Njoto bertanggung jawab atas Departemen Agitasi dan Propaganda. Lewat surat kabar ‘Harian Rakjat yang embrionya berasal dari majalah  teori Bintang Merah, Njoto menghidupkan kembali PKI dan ‘menghajar’ lawan-lawan politiknya. Sebaliknya, lewat kolom ‘Catatan Seorang Publisis’ di Harian Rakjat, Iramani nama pena Njoto tampil lebih lembut dan ‘sastrawi’.

PERJUANGAN REVOLUSI BUDAYA
Selain sebagai politisi Njoto juga berperan aktif sebagai pegiat seni.[7] Pada 17 Agutus 1950 Njoto bersama 15 seniman yang menyebut dirinya sebagai pekerja kebudayaan-termasuk Aidit,  mendirikan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di Jakarta sebagai suatu bentuk jawaban  terhadap Revolusi Agutus 1945 yang menurut Ir. Soekarno belumlah selesai. Naskah proklamasi berdirinya organisasi ini yang selanjutnya disebut Mukadimah[8] dibuka dengan pernyataan keras Revolusi Agustus 1945. Proklamasi, revolusi yang diyakini LEKRA sebagai revolusi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan dari penjajahan, secara politis ekonomi dan kultural. Setelah lima tahun dianggap telah gagal, dihambat oleh ‘perjuangan diplomasi’ yang dinilai meniadakan perjuangan dan pengorbanan rakyat selama Revolusi Agutus 1945.[9] Dalam laporannya pada kongres pertamanya di Solo, Sekretaris Umum LEKRA Joebaar Ajoeb menyatakan:

“Demikianlah, LEKRA didirikan 5 tahun sesudah Revolusi Agustsus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi, di saat garis revolusi sedang menurun. LEKRA didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga pekerja-pekerja kebudayaan. LEKRA didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi.”[10]
Dalam hal ini Njoto sebagai bagian dari LEKRA ikut menyuarakan betapa pentingnya kebudayaan bagi ‘Indonesia baru’, kegagalan Revolusi Agustus 1945 yang dibicarakan dalam Mukadimah, akan membawa kembali penjajahan  dalam bentuk barunya, berwujud kebudayaan yang bersifat feodal dan imprealis (budaya Barat). Kebudayaan yang selama ini melahirkan jiwa pengecut dan penakut, serta merasa tidak mampu melakukan apapun dalam rakyat Indonesia. Segenap pendiri LEKRA melihat setelah lima tahun proklamasi kemerdekaan, secara mental dan budaya rakyat belumlah merdeka. Revolusi harus diselesaikan dengan jalan meruntuhkan kebudayaan feodal dan menggantinya dengan kebudayaan yang demokratis dan bersifat kerakyatan dan hasil-hasil kebudayaan berasal dari rakyat dan bersama rakyat. Kebudayaan asing yang masuk haruslah di kritisi untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia. Mereka yang tergabung dalam LEKRA melakukan ‘perlawanan’ terhadap budaya asing-Barat. Seperti apa yang dilakukan Njoto di penghujung Desember 1954, Njoto naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi, Bojonegoro, Jawa Timur. Wakil Comitte Central PKI itu berbicara mengenai sikap PKI atas demoralisasi masyarakat, khususnya bagi anak-anak pelajar yang disebabkan oleh pengaruh budaya Barat.
“PKI menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi,” kata Njoto[11], “Tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jang ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita.”
            Pemikiran-pemikiran Njoto dan pekerja kebudayaan rakyat yang tergabung dalam LEKRA mendapat pertentangan dari banyak pihak yang menganggap LEKRA terlalu mencerminkan komunis dan PKI, LEKRA dianggap sebagai organ PKI dan kegiatannya dirasuki oleh kepentingan -kepentingan politik.[12] Njoto membantah dan menolak pemikiran yang menganggap bahwa kebudayaan harus bersih dari politik, bahwa seniman tidak boleh berpolitik karena akan menurunkan mutu artistik karya-karyanya. Baginya politik dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, dan belum  dibuktikan bahwa seniman yang berpolitik akan merosot mutu kesenimannya. Harian Rakjat-yang menjadi ‘microphone’ Njoto, edisi 4 Maret 1964 memuat ultimatum Njoto:
“Barang siapa masih berkata djuga bahwa seni itu “non-politik”, sesungguhnja dia itu reaksioner. Bukan saja jurnalistik, tetapi sport pun tidak bisa disangkal lagi bertautan erat sekali dengan politik. Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan seni”
Politik adalah Panglima, menurut Njoto dan dimunculkan sebagai azas dan dibicarakan secara khusus dam Konfernas LEKRA Agustus 1960. Politik yang dimakud  adalah politik yang maju, kerakyatan dan revolusioner, untuk membedakan dengan politik yang kolot, anti kerakyatan dan  reaksioner.[13] Njoto pulalah yang menyuarakan prinsip kerja ‘turun ke bawah’ yang semula diperuntukkan bagi pekerja-pekerja kebudayaan. Konsepsi mengenai ‘Kebudayaan Rakyat’ yang tertuang dalam Mukadimah LEKRA  merupakan buah pemikiran mereka yang menyebut diri pekerja-pekerja kebudayaan, termasuk Njoto didalamnya-yang paling berpengaruh. Njoto, melalui LEKRA, memberikan suatu rumusan mengenai pentingnya kebudayaan; dalam artiannya yang luas sebagai pondasi ‘bangunan’ kebangsaan Indonesia. Njoto mencoba kembali menyadarkan rakyat bahwa dalam sendi-sendi kehidupan, kebudayaan merupakan suatu komponen yang paling penting harus dipertahanakan. Nasionalisme dalam pandangan seniman yang pernah menjadi Menteri Negara masa Kabinet Dwikora I ini diproyeksikan melalui budaya, sebagai tindakan lanjutan Revolusi Agustus 1945.
  

[1] Kusumo Digdoyo adalah nama asli dari Njoto. Njoto merupakan anak pertama dari Raden Sosro yang dilahirkan di Jember 17 Januari 1927. Lihat Julius Poor, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualangan, Jakarta: PT Kompas Media Indonesia, 2010, hlm. 443.
[2] Inisiator dari LEKRA antara lain: D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto. Adapun anggota awal LEKRA diantaranya: M.S. Ashar, A.S. Dharta, Njoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb. Lihat, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, LEKRA Tidak Membakar Buku, Yogyakarta: Merakesumba, 2008, hlm. 21.
[3] Pada masa–masa ini pada tahun 1926-1927 di Hindia Belanda sedang mengalami gejolak perjuanganpemberontakan, yang dilakukan oleh banyak organisasi kerakyatan–yang mewadahi kaum buruh & tani. Salah satunya adalah PKI yang akhirnya ‘dihabisi’ oleh pemerintahan Hindia Belanda dan orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan ini diadili langsung tanpa di bawa ke meja hijau tepatnya mereka di buang ke Boven Digoel. Lihat, Harry A Poeze,  Tan Malaka Gerakan kiri dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm2.
[4] Raden Sosro merupakan aktivis komunis dan seorang pejuang kemerdekaan. Lihat, Julius Poor, Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan dan Petualangan. Jakarta: Kompas2010, op.cit. Ketertarikan awal Njoto terhadap Marxisme dapat diteluuri dari masa ini, sbelum akhirnya Njoto meneruskan sekolahnya ke Solo. Lihat juga, Njoto; Peniup Saxofon di Tengah Prahara, hlm. 10.
[5] Njoto; Peniup Saksofon di Tengah Prahara, Edisi Khusus Tempo. 2009, hlm. 4-5.
[6] Ibid, hlm. 10
[7] Tulisan ini tidak bermaksud mengesampingkan mengenai peran penting Njoto di HR, tapi lebih jauh kepada pemikiran-pemikiran Njoto mengenai kebudayaan yang selain tertuang dalam suara-suaranya di HR juga  terangkum dalam kegiatannya di LEKRA.
[8] Joebaar Ajoeb, 1959 ‘Perkembanan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan LEKRA Di Dalamnya’ dalam Dokumen Kongres Nasional I LEKRA, Bagian Penerbitan LEKRA, 1959, hlm. 15.
[9] Alexander Supranoto, Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, Skripsi STF Driyarkara, Jakarta, 2000, hlm. 53.
[10] Joebaar Ajoeb, 1959 ‘Perkembanan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan LEKRA Di Dalamnya’ dalam Dokumen Kongres Nasional I LEKRA, Bagian Penerbitan LEKRA, 1959, hlm. 15.
[11] Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan LEKRA Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965) 
[12] Perdebatan mengenai kebudayaan di Indonesia sudah berlangsung cukup lama sejak munculnya gerakan Djawa Dipa 1917, Taman Siswa 1922, Pudjangga Baru 1933, dalam perdebatannya di tahap itu,  kebudayaan dimaknai secara luas tidak hanya menyoal satra dan seni saja, tapi menyangkut pula politik, pendidikan dll. Hal ini terkait bayangan para pemikir, tidak hanya dalam bidang kebudayaan, mengenai kehidupan yang demokratis dalam Indonesia yang merdeka. Ketika memasuki tahap 1960-an kebudayaan dimengerti dalam artian yang sempit; seni dan sastra. Untuk kemudian menjadi medan persaingan politik dalam artian yang juga sempit; perebutan kekuasaan.
[13] Joebaar Ajoeb, 1960 ‘Manifesto Politik dan Kebudayaan: Laporan Umum’, dalam Pleno Agustus Pimpinan Pusat LEKRA 1960, Laporan Kebudayaan Rakyat II, Jakarta, Bagian Penerbitan LEKRA, hlm. 22-24.

Daftar Pustaka
Julius Poor, 2010, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualangan, Jakarta: PT Kompas Media Indonesia
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008,  LEKRA Tidak Membakar Buku, Yogyakarta: Merakesumba.
Harry A Poeze,  2008, Tan Malaka Gerakan kiri dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Leclerc Jacques, 1979, Kondisi kehidupan Partai Kaum Revolusioner Indonesia Dalam
Mrencari Identitas (1928-1948). Prisma.LP3ES. Jakarta
___________________, 2009, Njoto; Peniup Saxofon di Tengah Prahara, Edisi Khusus Tempo: Orang Kiri Indonesia.
Supranoto, Alexander, 2000, Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, Jakarta, Skripsi STF Driyarkara.
___________________, 1959, ‘Perkembanan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan LEKRA Di Dalamnya’ dalam Dokumen Kongres Nasional I LEKRA, Jakarta, Bagian Penerbitan LEKRA.
__________________, 1960, ‘Manifesto Politik dan Kebudayaan: Laporan Umum’, dalam, Laporan Kebudayaan Rakyat II, Jakarta, Bagian Penerbitan LEKRA.