Monday 26 October 2015

Kelucuan

Oleh Kenang Kelana

Tertawalah sebelum tawa di larang
Warkop DKI

Antara Tawa dan Bahaya
Kartun dalam Politik Humor
Seno Gumira Ajidarma
KPG, 2013
429 halaman

Kira-kira begitu memahami tawa dalam sketsa kekuasaan. Di atur sesuai apa yang in pada zamannya. Dalam banyak hal tawa menawarkan kepada kita sebuah kegembiraan, sebuah keceriaan yang dalam ilmu pengetahuan medis dan agama tawa adalah obat penyembuh termurah sepanjang zaman.

Di dalam buku ini, kita seolah disodorkan soal perangkat dalam ketertawaan, maksudnya adalah bagaimana tawa membutuhkan instrument layaknya sebuah pertunjukan. Ada subjek mentawakan dan ada objek yang ditertawakan.

Manusia punya peran dalam berkehidupan. Semua melengkapai dalam konteks keterbutuhan [sekelipun prihal keinginan tidak semua insan pernah merasakan] begitu juga dalam candaan yang menghasilkan tawa. Mesti ada orang atau peran untuk menjadi pihak yang ditertawakan. Dalam pergaulan hal ini bisa dan lumrah, terjadi seolah tanpa ada yang tersinggung atau marah sebab tawa kita adalah tawa semua orang.

Pada bab awal buku Antara Tawa Dan Becana kita akan disuguhkan dengan sekian banyak teori pendukung yang mampu menjelaskan pengertian tawa. Ini tanda bahwa tawa adalah hal yang serius banget!!!. Mulai dari Freud hingg kepada Bergson. Dalam prodaknya banyak orang menggunakan instrument karikatur untuk membuat tawa kita menjadi milik (dibaca) semua orang.  Ada Doyok, Oom Pasikom dll.
Seno Gumira Adjiedarma

Selanjunya pertanyaan yang akan menjadi menarik adalah apakah semua tawa adalah bahagia?!. Bagi saya persoalan tawa bukan hanya menjadi sekedar lucu (lucuan) untuk meraih kebahagiaan. Mira, begitu panggilan akrab sang penulis buku (Seno Gumira Adjiedarma) dengan prangkat semiotikanya melihat prodak tawa dalam bentuk kartikatur yang menjadi alat legitimasi untuk menunjukaan obsesi dan bahkan sesuatu yang sedang terjadi di sekeliling kita.

Beni & Mice misalnya—dua orang yang  telah menjadi satu kemudian bubar lagi belakangan ini—di dalam buku-buku karikaturnya yang sempat booming beberapa tahun terakhir ini menjadi pengingat kita akan situasi di Jakarta, dengan gambaranya tentang banjir, tentang tumbuh suburnya kelas menengah yang rapuh diperkotaan dan dalam nada yang satir ia menyebutnya dengan kelompok alay. Kesemuanya digambarkan dengan lucu dan jenaka serta ramah. Sekali lagi media tawa dalam bentuk karikatur menjadi alat representasi dalam kehiduapan sehari hari.

Cover Surat Kabar Perancis
Namun setali tiga uang dari itu, kita juga akan medapatkan kenyataan bahwa tawa yang kita bicarakan juga dapat menimbulkan bahaya, hingga menyebabkan kematian segala. dihukum alamnya, tawa adalah pelepasan ke-tak-sadar-an atas kondisi/politik identitas yang sedang berlangsung. Kita ambil contoh misal kartun Nabi Muhammad yang digambarkan oleh salah seorang kartunis Denmak yang harus mengalami bahaya bahkan ancaman kematian dari seseorang yang mengaku pembela Nabi Muhammad.

Pada zamannya, Warkop DKI membangun lelucon bagaimana aparat keamanan [mulai dari satpam sampai polisi lalu lintas] digambarkan sebagai sesuatu yang bodoh dan cenderung robotik. Padahal semua yang berbau instansi kenegaraan apa lagi kemiliteran terasa sangat tabu untuk dibicarakan, apalagi di “becandaiin”.

Salah satu cerita Warkop DKI memperlihatkan adegan dimana Dono, Kasino dan Indro ikut dalam rombongan latihan Satpam dan dipimpin oleh Boneng yang dalam cerita itu mempunyai seorang kembaran. Dan tanpa mereka sadari bahwa atasan mereka adalah seorang yang kembar dan kembaran dari komandan aslinya menderita penyakit ganguan jiwa. Betapa lucu kemudian para pemain film itu dipimpin oleh seorang yang sakit Jiwa.

Grup lawak Warkop DKI menjadi fakta nyata prihal tawa tidak bisa dibatasi atapun dilarang. Dengan konsekuensi logis bahwa yang kita tertawakan bermuatan Politis/Ideologis. Tawa mempunyai perannya sendiri, untuk apa yang kemudian diistilahkan oleh Gramsci sebagai Counter Hegemoni. Dominasi atas kenyataan yang menjadi objek tawaan adalah bukti keterkaitan antara tawa dan politik yang jelas menghasilkan bahaya dan ancaman.

Tawa dalah prodak zaman, setiap masa menghasilkan kondisi ketertawaannya masing-masing sesuai dengan kenyataan pada hari ini dan seterusnya.


Cempaka Putih. 07 04 2013 

No comments: