Friday 5 February 2016

Jacotot dan Pedagogi Utopia

Judul : The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Inttelectual Emancipation
Penulis : Jacques Ranciere
Alih Bahasa : Kristin Ross
Penerbit : Stanford University Press, Stanford, California
Tahun Terbit : 1991
Halaman : XXIII+148 halaman

Siapapun mampu mengajari apa-apa yang tidak diketahuinya (jika yang diajar telah teremansipasi)
Pada 1818, Joseph Jacotot, Professor University of Louvain, Belgia diminta mahasiswanya untuk mengajar Bahasa Prancis. Ketika itu disiplin ilmu belum terlalu ketat, demikian Jacotot. Ia menguasai beberapa disiplin ilmu seperti Matematika, Hukum, dan ideologi, namun tak sama sekali ia mengerti Bahasa Prancis. Tak mau menyerah, ia menyanggupi permintaan mahasiswanya sekaligus memulai petualangan intelektualnya.


Menggunakan edisi dwibahasa (Prancis-Belgia) Telemaque, novel didaktik karangan Fenelon, dibantu seorang alih bahasa, kelas Bahasa Prancis Jacotot dimulai dengan satu relasi setara: Jacotot dan mahasiswanya tak mengetahui apa-apa soal bahasa Prancis. Telemaque merupakan kisah petualangan anak Ulysses, Telemachus bersama gurunya, Mentor yang kelak di akhir novel diketahui sebagai Minerva, dewa kebijaksanaan.

Alih-alih memberikan penjelasan tata bahasa, rambu-rambu gramatikal, konjugasi, dan cara melafalkan bahasa Prancis, mahasiswa Jacotot hanya membaca Telemaque. Mereka mengorespondensikan kata dalam bahasa Prancis yang mirip dalam bahasa Belgia, dan mandiri merumuskan komposisi gramatikalnya untuk kemudian dikonfirmasi artinya kepada alih bahasa.

Setelah pembacaan mencapai setengah buku, satu persatu mahasiswa diminta membaca kembali Telamaque dari awal. Alih bahasa bertugas mengoreksi-tanpa memberitahu apa yang benar-semua tata bahasa yang terucap dan terpahami. Jika masih ada yang salah, mahasiswa harus mengulang dan mengulang kembali Telemaque dari awal. Jika tak ada yang salah, mahasiswa Jacotot diperbolehkan membaca setangah buku sisanya. Di akhir pembelajaran, Jacotot yang mulanya pesimis malah terkejut dengan kemampuan mahasiswanya memehami bahasa Prancis sebagaimana orang Prancis (native speaker) memahaminya.

He Expected horrendous barbarisms, or maybe a complete inability to perform. How could these young people, deprived of explanation, understand and resolve the difficulties of a language entirely new to them? No matter! He had to find out where the route opened by chnce had taken them, what had been the results of that desperate empiricism. And how surprisedhe was to discover that the students, left to themselves, managed this difficult step as well as many French could have done! Was wanting all that necessery for doing. Were all men virtually capable of understanding what others had done and understood (hal. 2).

Lebih dari satu abad kemudian eksperimentasi Jacotot jadi titik awal Jacques Ranciere menulis The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Intellectual Emancipation (1987). Seperti yang Jacotot lakukan, Ranciere meyakini bahwa pendidikan, khususnya urusan belajar mengajar harus diawali dengan kesetaraan, bukan malah menjadikannya sebagai tujuan.

Ketaksetaraan, menurut Jacotot adalah keniscayaan dalam dunia akademik, pendidikan pada dasarnya dibangun atas relasi asimetris: antara yang mengetahui dan tidak mengetahui. Hal terpenting yang dilakukan pendidik adalah mentransmisikan pengetahuannya kepada peserta didik hingga pemahaman peserta didik berada pada level yang sama dengan pendidik (hal.3). Hal ini pula yang dalam tataran lebih kompleks membangun struktur akademik yang ada hingga saat ini.

Penjelasan (Explication) adalah hal yang dilihat Ranciere dari eksperimentasi Jacotot sebagai sesuatu yang membuat relasi asimetris tadi langgeng dan diterima begitu saja dalam sistem pendidikan. Jika mahasiswa kelas Bahasa Prancis Jacotot mengerti Bahasa Prancis pada akhir pelajaran, tanpa sedikitpun penjelasan dari Jacotot, lantas apa guna pendidik selama ini memberi penjelasan? Jika tanpanya peserta didik mampu mandiri mengerti.

Saya memahami penjelasan yang disebut Ranciere tak sekadar menjelaskan bagaimana rangkain seri dan pararel dalam kelistrikan, bagaimana tak pernah ada lebar dan tinggi dalam sebuah garis, bagaimana perjuangan Diponegoro tak mewakili semangat nasionalisme, dan seterusnya. Ia terakit dengan otoritas hirarki intelejensi, ia terakumulasi melalui verifikasi pengetahuan, ia menghasilkan superioritas dan inferioritas.

Dan oleh karenanya, menurut Ranciere yang benar bukanlah peserta didik yang membutuhkan pendidik, melainkan sebaliknya, pendidik yang membutuhkan peserta didik. Sebab dalam medan pendidikan, tanpa peserta didik seluruh atribusi yang menempel di tubuh pendidik tak berguna sama sekali. Tanpa peserta didik, intelektualitas pendidik tak pernah termanifestasikan. Pendidik menjadi superior melalui otoritas, dan peserta didik pasti memulai dengan inferioritas.

Ranciere menyebut kondisi ini sebagai mitos pedagogi yang membagi dunia menjadi dua bagian, lebih tepatnya membagi intelejensi menjadi dua: si superior dan si inferior (hal. 7). Pendidik, si superior melalui otoritasnya terhadap pengetahuan memberikan penjelasan kepada peserta didik yang pasti inferior.

Sialnya penjelasan-penjelasan yang dilakukan mengupayakan sebuah pembodohan (stultification). Ia membatasi gerak pikir peserta didik, sebab mematikan apa yang disebut Ranciere sebagai bahasa ibu (mother tongue). Alih-alih berpetualang seperti Telemachus yang diberitahu Mentor ada satu dunia nan luas untuk dijelajah, peserta didik harus belajar.

Peserta didik mendengar pendidik, kemudian mengulanginya terus menerus, mereka membaca namun tak mengerti. di sini pendidik muncul memberi penjelasan sekaligus berperan sebagai pemberi makna (explicator) guna menjelas satu ihwal untuk pertama kalinya. Dan oleh karenanya, selama ada subordinasi selama itu pula pembodohan terjadi (hal.13).

Sebuah Antiklimaks: Mulanya Kehendak

Dalam wawancara oleh Peter Hallward untuk Jurnal Angelaki (2003), Ranciere mengakui ada dua hal penting yang membuatnya tertarik dengan ihwal otoritas, keahlian, pendidikan. Pertama adalah saat ia belajar di Ecole Normale Superieure (ENS). Dalam domain universitas di Prancis, ENS berada di luar kerangka universitas umum. ENS merupakan pendidikan tinggi yang bertugas menghasilkan Professor.

I am, in the first instance, a tudent. I am one of those people who is a perpetual student and whose profesional fate, as a consequence, is to teach others. “Teaching” obviously implies a certain position of mastery, “researcher” implies in some way a position of knowledge, “teacher-researcher” implies the idea of the teacher adapting a position of institutional mastery to one mastery based on knowledge (Hallward & Ranciere, 2003:194).

Kedua adalah, hubungannya dengan Althusser, khususnya saat Ranciere bersama beberapa mahasiswa dalam Union des Etudiants Communistes memulai proyek pionir membaca Capital Marx-yang dianggap sangat naif oleh Ranciere-hingga keretakan hubungannya dengan Althusser. Tak hanya membaca Capital, proyek ini juga diikuti serangkaian seminar, untuk publikasi sekaligus sebagai bekal radikalisasi Gerakan Mei 1968 di Paris.

Proyek ini membawa dilema bagi Ranciere, satu sisi ia mengalami petualangan intelektual dalam menelusur Marxisme sebab ia tak pernah baca Capital sebelumnya. Di lain sisi, dalam seminar perannya sebagai pionir memberikannya otoritas sebagai yang lebih mengetahui Marxisme dibanding audiens (Hallward & Ranciere, 2003:195). Hemat Ranciere ada petualangan intelektual dan dogmatisme teori yang berkelindan.

Dilema memuncak saat Rancierre tak setuju radikalisasi Gerakan Mei 1968 Paris masuk ke dalam tubuh Universitas. Althusser menginginkan Jurusan Filsafat di Universitas Paris VIII (St. Denis) dijadikan semacam Akademi Marxis, guna mengajari aktivis May 1968 Paris urusan Marxis. Setelahnya Rancierre resmi memutus relasinya dengan Althusser dan mengecam pembentukan Akademi Marxis tersebut sebagaimana ia mengecam pendidikan yang paling tidak berjalan selama ini dibangun atas ketaksetaraan.

Menggunakan kelas Bahasa Prancis Jacotot, Ranciere ingin menyatakan bahwa all men are equally intelligence. Karena intelenjensia-Saya mengartikan intelejensia sebagai sebuah apapun yang mampu dilakukan pikiran termasuk proses dan akumulasinya-hanya bisa dilihat dari efeknya, namun ia tak bisa diukur maupun disolasi mandiri.Sebab pada dasarnya tak pernah ada ukuran untuk intelejensia (hal.46), dan oleh karenanya tak pernah ada intelejensia.

Cenderung nihilis memang, bahkan romantik. Mengapa? Begini Ranciere mencontohkan: seorang filsuf sedang memerhatikan tingkah polah dua manusia. Saat-saat pertama hidupnya, mereka memperlihatkan atensi serupa pada satu hal, menginginkan hal yang sama pada tujuan yang lain. Semakin dewasa, atensi pada satu hal tak lagi serupa, demikian tujuan untuk hal yang lain tak lagi sama (hal. 50).

Apa sebab? Bocah memiliki kebutuhan yang sama untuk dipenuhi agar eksistensinya terjaga. Dan insting membuat mereka setara memuaskan kebutuhannya. Setelah dewasa, dunia menuntut dua manusia tadi memiliki eksistensi yang berbeda (hal. 51). Mereka kemudian mengembangkan kemampuan hidupnya-termauk intelejensia-agar kompatibel dengan tuntutan eksistensinya. Akibatnya, atensi dan tujuan awal tadi tak lagi serupa, dan oleh karenanya hasilnya pun tak pernah sama.

Jadi jika di kemudian hari, dua manusia tersebut bertaruh siapa paling banyak berkencan dengan mahasiswi dalam satu bulan dan hasilnya sangat timpang-yang pertama mampu berkencan lebih dari lima kali, sedang yang terakhir di akhir bulan masih memetakan perempuan mana yang dia ajak berkencan- bukan karena yang terakhir tak punya kemampuan menggaet perempuan, namun karena ia selama kuliah lebih asyik masyuk demonstrasi alih-alih tebar pesona seperti yang pertama.
Kemudian, apa yang mampu mengonstitusikan eksistensi seorang? Rancierre menjawabnya sebagai kehendak (will). Manusia, kata Rancierre, adalah kehendak yang dilayani oleh intelejensia, ia adalah kekuatan rasional hasil perseteruan harapan dan kenyataan (hal. 54).

Sebermula adalah kehendak, lalu perjalanan dari pikiran ke pikiran, yang berkehendak adalah yang mengemansipasi. Ketika yang terakhir tak mampu menggaet satu perempuan pun, tak lantas ia tak memiliki kapabilitas urusan perempuan melainkan ia tak berkehendak. Kedua pemuda tadi pada dasarnya punya kemampuan yang setara dalam menggaet perempuan.

Dari kenyataan bahwa tiap manusia punya intelejensi setara dan mulanya kehendak serta kisah kelas bahasa Prancis Jacotot, Ranciere merumuskan bahwa ada satu universalitas dalam soal pendidikan (universal teaching), khususnya urusan tranmisi pengetahuan, tentang belajar dan mengajar.
One must learn something and relate everything else to it, seorang harus mempelajari sesuatu karena ada pada dasaranya ia memiliki intelejensi namun kehendak yang akan menentukan apa dan sejauh mana hasil pelajaran itu. Dengan dasar intelejensi setara dan kehendak mumpuni, mahasiswa Jacotot akhirnya mampu menguasai bahasa Prancis.

Karena seorang harus mempelajari sesuatu sebab ia berkehendak maka tak ada orang lain yang beerwenang mengatur apa-apa yang ingin ia pelajari. Ia akan mampu mempelajari hal baru dengan mengaitkannya dengan apa-apa yang telah ia pelajari. Apapun itu.

Oleh sebab itu pula, Jacotot menolak semua bentuk lembaga sosial yang bertugas mengemansipasi manusia, termasuk sekolah. Sebab lembaga sosial tersebut dibangun oleh posisi-posisi oleh aktor sosial yang mengandaikan ketaksetaraan. Lagipula lembaga sosial turut pula bertugas memproduksi aktor-aktor tadi (hal. 103).

Apapun namanya, dan bagaimanapun caranya ketika individu sepakat membentuk kelompok hanya ada satu prinsip landasan: distribusi peran didasarkan atas ketaksetaraan intelejensi (hal.131). Meski demikian di tengah medan ketaksetaraan, individu menurut Ranciere masih mampu mewujudkan kestaraan dan disini peran emansipasi terhadap individu ambil bagian (hal. 133).

Melalui apa? “kehendak,” jawab Ranciere.

Selama ia tak memiliki kehendak atau sedikit berkehendak, ia tak akan pernah termansipasi. Dan oleh karenanya seorang bodoh bukan karena ia tak pintar atau memiliki intelejensi rendah dibanding yang pintar melainkan karena ia tak berkehendak. Katakanlah malas.

@anggarseptiadi

No comments: