Friday 30 October 2015

Kecupan Manis Sebuah Penantian

Oleh Hafid Ayatillah 

I’m back for you, my future


Raut muka itu terasa sangat berbeda, seakan mengisratkan sebuah kehilangan, tiap tatapan yang ia berikan menggambarkan luka yang teramat dalam, tangisan itu pun terdengar sangat jelas walau pun dalam relung hati. Entah mengapa, senyum itu puntera sasangat menyayat walaupun terlihat sangat menggairahkan. Malam itu terasa sangat kelabu namunsangatindah,karenacahaya sang dewi malam hadir ditengah-tengahnya. Seorang wanita terlihat murung, ia berjalan tanpa henti menuju suatu tempat dimana ia biasa ditemani dengan sunyi dan sejuknya malam.

            Delia, begitulah ia kerap disapa oleh teman – temannya, wanita yang tangguh, ceria dancerdas, namun dibalik semua itu ia adalah wanita penyendiri. Terduduk tenang, ia mulai merenung tentang semua yang ia alami, detik demi detik ia resapi hening nya suasana, pejaman itu bukan tak ada artinya, 

Apakah kehidupan ini hanya tak berpihak ke padaku?” begitu batinnya.

Perlahan tetesan air mata keluar dari kedua matanya yang sayu itu dan melewati pipi yang kian memerah akibat tangisannya, ia seakan kehilangan harapan, harapan tuk bahagia dengan apa yang sudah ia rencanakan dengan kekasihnya yang kini mungkin tak dapat ia perlakukan seperti dulu lagi. Semua harapannya kini sudah tinggal angan – angan dan mulai tersapu, terbawa oleh desiran anngin yang berhembus tenang. 

Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah buku, buku catatan lebih tepatnya. Ia buka buku catatan yang bertuliskan “Dream” tersebut, lembar demi lembar ia buka, ia nikmati dan mulai meresapi, bercumbu dengan harapan yang mulai kini menjadi kenangan. Awal dari setiap halaman buku itu menggambarkan bagaimana benih – benih kebahagiaan muncul, yang kelak akan menjadi harapannya, halaman halaman selanjutnya terdapat berbagai dokumentasi dengan seorang pria kesayangannya, terlihat mereka sangat dekat dan tentunya bahagia. 

Tiap ia membuka lembar berikutnya, air mata yang keluar membasahi pipinya semakin deras dan seakan memecahkan keheningan malam. Disela tangisannya kadang terdapat senyum dan tawa kecil, tepat di tengah halaman dari buku itu terdapat secarcik kertas yang bertuliskan “Tunggulah aku, aku akan kembali padamu”.

            Selepas SMA Delia berpisah dengan pria pujaan hatinya itu, mereka dipisahkan oleh tuntutan pendidikan yang diamanahkan oleh orang tua mereka. Sebelum keberangkatan kekasihnya itu Delia sempat bertemu dan saling berjanji dalam secarcik kertas kalau semua ini bukanlah akhir, mereka akan dipisahkan oleh benua yang berbeda untuk waktu yang cukup lama karena kekasihnya akan menuntut ilmu di perguruan tinggi terkenal negara AS. Tahun awal adalah tahun terberat yang dialui Delia selepas kekasihnya pergi, dengan padatnya jadwal kuliah dan juga tugas yang tak kunjung usai, ia tetap teguh menjalani pendidikannya. 

Dalam kesibukannya Delia tetap sempat menghubungi kekasihnya itu dan hubungan komunikasi yang terjalin antara mereka sama sekali tidak mengalami masalah yang berarti. Tahun kedua dan ketiga hubungan mereka masih utuh karena saling memegang teguh dengan janji yang mereka buat. Tahun terakhir adalah tahun yang dinanti nanti oleh Delia, ia sangat senang karena tinggal menghitung bulan mereka akan bertemu dan tentunya akan saling melepas rindu, tetapi semua rencana itu akan jadi sebuah wacana saja karena sebuah moment yang menghancurkan hatinya berkeping – keping.

            Hari itu Delia seperti biasa melakukan rutinitasnya sebagai seorang mahasiswi, dan hari itu terasa sangat cepat bagi Delia. Sesampainya ia dirumah, ia mengecek e-mail nya dan mendapatkan satu pesan yang menjadi pertanyaan baginya. Pria pujaannya itu menuliskan pesan “i m sorry, i must to say good bye”, hati Delia bertanya tanya dan seketika yang ada dalam fikirannya hanyalah pesan yang pria itu kirimkan kepadanya. 

Air mata tiba tiba jatuh tak tertahankan, kini kegundahan menyelimuti hatinya dan fikirannya. Hari hari selanjutnya tak ada satupun pesan atau kabar dari pria pujaan hatinya itu, tekanan batinpun ia rasakan sampai rutinitas yang ia lalui kini menjadi tak karuan. Delia melakukan berbagai cara untuk mengetahui keadaan pasangannya itu, ia mencoba menghubungi ponselnya tetapi ternyata sudah tidak bisa dihubungi lagi, ia coba untuk menelusuri media sosial dan ternyata hasilnya nihil. Usaha usaha untuk menemukan dan hanya mencoba agar bisa mendapatkan paling tidak satu kabar dari pria tersebut sudah ia lakukan, sampai pada puncaknya ia hanya bisa pasrah dan hanya sekedar menunggu.

Suatu pagi Delia terbangun dari tidurnya yang terbilang sangatlah tidak berkualitas, ia hanya tidur dua jam setiap harinya sejak pesan itu ia terima. Ia langsung bersisap siap untuk menjalani harinya seperti biasa, yaitu menjadi mahasiswi. Siang itu matahari sangat terik memancarkan sinarnya, ia terduduk di bawah sebuah pohon sambil meminum jus yang telah ia beli sesudah perkuliahan tadi. Delia menolehkan kepalanya kepada suatu surat kabar yang tergeletak di sampingnya, memungut lalu membacanya. 

Seketika matanya terbelalak melihat sebuah berita yang membuat tubuhnya lemas dan memaksa air matanya jatuh dengan derasnya, disitu tertulis bahwa lab penelitian perguruan tinggi di AS terbakar dan menyebabkan puluhan korban jiwa. Ia teringat bahwa perguruan tinggi tersebut adalah tempat dimana pria yang sangat ia cintai menempuh pendidikan, Iapun menangis karena beranggapan bahwa pasangannya juga menjadi korban dalam peristiwa itu. Berita peristiwa itu menjadi titik puncak dimana ia berfikir kalau ia harus merelakan kepergian seseorang yang benar benar ia harapkan menjadi masa depannya.

            Setelah hal itu ia sering pergi ketempat dimana ia berjanji bersama, dan menunggu saat dimana mereka bisa bersama lagi. Ditempat itu ia selalu berdoa yang terbaik untuk pria kesayangannya dimanapun dan bagaimanapun keadaannya, ditempat itu pula ia kadang mencurahkan isi perasaan yang sedang ia rasakan dan berharap orang yang ia tuju bisa mendengarkannya.

            “Malam ini adalah tepat genap empat tahun aku berpisah, rasanya sangat berat untuk menyadari hal ini”, batinnya. Delia bersiap siap, tentu menuju satu tempat yang sangat berkesan baginya dan hubungannya dengan pria itu, ya tentu saja tempat dimana mereka saling berjanji. Tempat itu tidak terlalu jauh dari rumah Delia, suatu taman yang membuat pengunjungnya merasa tenang walaupun berada di tengah perkotaan yang sangat ramai. Tiap langkah kaki yang ia pijaki terasa sangat berat, mengingat ia masih belum bisa merelakan sepenuhnya bahwa sang pujaan telah tiada. tinggal beberapa ratus meter lagi ia sampai ke taman itu, entah mengapa semakin dekat dengan taman itu raut mukanya semakin murung tetapi ia tetap mencoba tersenyum sampai akhirnya ia telah sampai di taman itu dan duduk di bangku yang disinari oleh ranumnya cahaya lampu taman.


            Delia mengingat kembali janji yang telah ia ucapkan bersama di tempat ini, ia melihat ke sekitar tak ada satu orangpun yang berkunjung di taman ini. Rasa sesak di dalam hati tiba tiba timbul begitu saja, seiring hembusan angin ia memejamkan matanya meresapi keheningan suasana dan mencoba menenangkan perasaannya. Ia berkata ;

Hans, ini tahun ke empat semenjak kita berpisah disini. Aku harap kamu bisa mendengarkan apa yang kukatakan ini dimana dan bagaimanapun keadaan kamu saat ini, Aku akan tetap menunggu dan mengingat apa yang sudah kita janjikan, disini .. ditempat ini”.

Ketika ia selesai mengucapkan kata – kata itu, suatu suara memanggil namanya “Delia ...”, ia menoleh dan dengan segala kesadarannya ia menyadari kalau yang ada di depannya itu adalah pria yang selama ini ia tunggu, pria yang selama ini membuatnya resah, ia pun berdiri dan memeluknya erat. 

Aku tak akan mengingkari apa yang telah aku katakan kepadamu Delia”, bisik Hans kepada Delia.

Tak sepatah katapun yang Delia katakan, hanya tangis haru yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Tangis itu seakan mengeluarkan semua yang ia tahan selama ini dalam relung hatinya yang paling dalam, semua rasa rindu seakan terbalaskan, semua penantianpun seakan terbalaskan. 

Hans menjelaskan mengapa ia menghilang begitu saja dengan meninggalkan berjuta pertanyaan pada sebuah pesan yang ia kirimkan, ia juga menjelaskan apa yang terjadi dengan perguruan tinggi tempat ia memperoleh pendidikan. Dengan satu pelukan penuh makna, Hans membisikkan satu kalimat yang membuat Delia merasa tenang dan membalas pelukan Hans, “I’m back for you, my future”.

Monday 26 October 2015

Kelucuan

Oleh Kenang Kelana

Tertawalah sebelum tawa di larang
Warkop DKI

Antara Tawa dan Bahaya
Kartun dalam Politik Humor
Seno Gumira Ajidarma
KPG, 2013
429 halaman

Kira-kira begitu memahami tawa dalam sketsa kekuasaan. Di atur sesuai apa yang in pada zamannya. Dalam banyak hal tawa menawarkan kepada kita sebuah kegembiraan, sebuah keceriaan yang dalam ilmu pengetahuan medis dan agama tawa adalah obat penyembuh termurah sepanjang zaman.

Di dalam buku ini, kita seolah disodorkan soal perangkat dalam ketertawaan, maksudnya adalah bagaimana tawa membutuhkan instrument layaknya sebuah pertunjukan. Ada subjek mentawakan dan ada objek yang ditertawakan.

Manusia punya peran dalam berkehidupan. Semua melengkapai dalam konteks keterbutuhan [sekelipun prihal keinginan tidak semua insan pernah merasakan] begitu juga dalam candaan yang menghasilkan tawa. Mesti ada orang atau peran untuk menjadi pihak yang ditertawakan. Dalam pergaulan hal ini bisa dan lumrah, terjadi seolah tanpa ada yang tersinggung atau marah sebab tawa kita adalah tawa semua orang.

Pada bab awal buku Antara Tawa Dan Becana kita akan disuguhkan dengan sekian banyak teori pendukung yang mampu menjelaskan pengertian tawa. Ini tanda bahwa tawa adalah hal yang serius banget!!!. Mulai dari Freud hingg kepada Bergson. Dalam prodaknya banyak orang menggunakan instrument karikatur untuk membuat tawa kita menjadi milik (dibaca) semua orang.  Ada Doyok, Oom Pasikom dll.
Seno Gumira Adjiedarma

Selanjunya pertanyaan yang akan menjadi menarik adalah apakah semua tawa adalah bahagia?!. Bagi saya persoalan tawa bukan hanya menjadi sekedar lucu (lucuan) untuk meraih kebahagiaan. Mira, begitu panggilan akrab sang penulis buku (Seno Gumira Adjiedarma) dengan prangkat semiotikanya melihat prodak tawa dalam bentuk kartikatur yang menjadi alat legitimasi untuk menunjukaan obsesi dan bahkan sesuatu yang sedang terjadi di sekeliling kita.

Beni & Mice misalnya—dua orang yang  telah menjadi satu kemudian bubar lagi belakangan ini—di dalam buku-buku karikaturnya yang sempat booming beberapa tahun terakhir ini menjadi pengingat kita akan situasi di Jakarta, dengan gambaranya tentang banjir, tentang tumbuh suburnya kelas menengah yang rapuh diperkotaan dan dalam nada yang satir ia menyebutnya dengan kelompok alay. Kesemuanya digambarkan dengan lucu dan jenaka serta ramah. Sekali lagi media tawa dalam bentuk karikatur menjadi alat representasi dalam kehiduapan sehari hari.

Cover Surat Kabar Perancis
Namun setali tiga uang dari itu, kita juga akan medapatkan kenyataan bahwa tawa yang kita bicarakan juga dapat menimbulkan bahaya, hingga menyebabkan kematian segala. dihukum alamnya, tawa adalah pelepasan ke-tak-sadar-an atas kondisi/politik identitas yang sedang berlangsung. Kita ambil contoh misal kartun Nabi Muhammad yang digambarkan oleh salah seorang kartunis Denmak yang harus mengalami bahaya bahkan ancaman kematian dari seseorang yang mengaku pembela Nabi Muhammad.

Pada zamannya, Warkop DKI membangun lelucon bagaimana aparat keamanan [mulai dari satpam sampai polisi lalu lintas] digambarkan sebagai sesuatu yang bodoh dan cenderung robotik. Padahal semua yang berbau instansi kenegaraan apa lagi kemiliteran terasa sangat tabu untuk dibicarakan, apalagi di “becandaiin”.

Salah satu cerita Warkop DKI memperlihatkan adegan dimana Dono, Kasino dan Indro ikut dalam rombongan latihan Satpam dan dipimpin oleh Boneng yang dalam cerita itu mempunyai seorang kembaran. Dan tanpa mereka sadari bahwa atasan mereka adalah seorang yang kembar dan kembaran dari komandan aslinya menderita penyakit ganguan jiwa. Betapa lucu kemudian para pemain film itu dipimpin oleh seorang yang sakit Jiwa.

Grup lawak Warkop DKI menjadi fakta nyata prihal tawa tidak bisa dibatasi atapun dilarang. Dengan konsekuensi logis bahwa yang kita tertawakan bermuatan Politis/Ideologis. Tawa mempunyai perannya sendiri, untuk apa yang kemudian diistilahkan oleh Gramsci sebagai Counter Hegemoni. Dominasi atas kenyataan yang menjadi objek tawaan adalah bukti keterkaitan antara tawa dan politik yang jelas menghasilkan bahaya dan ancaman.

Tawa dalah prodak zaman, setiap masa menghasilkan kondisi ketertawaannya masing-masing sesuai dengan kenyataan pada hari ini dan seterusnya.


Cempaka Putih. 07 04 2013 

Kuba, Fidel Castro dan Cita Cita Kesejahteraan

Oleh Kenang Kelana


Sebagai Awalan
Bendera Republik Kuba
Kuba bukan barang baru untuk dibicarakan. Namun cerita tentangnya bisa saja panjang dan mungkin saja bisa menjadi pelajaran bagi orang orang yang melihatnya dengan semangat anti penindasan. Kuba dari zaman kezaman mengalami fase yang sama seperti bangsa bangsa dunia ketiga lainya, tanah yang dicintai oleh rakyatnya juga air yang dimiliki dan udara yang menjadi syarat kehidupan bangsanya sempat dirampas oleh sekian banyak bangsa bangsa yang merasa unggul dalam peradaban.

Di bawah Sepanyol lalu kemudian Amerika diteruskan oleh bangsanya sendiri yang menjadi boneka kekuasaan barat dan akhirnya putus ditangan pimpinan revolusioner Kuba yakni F. Castro yang di hina oleh bangsa bangsa barat karena tidak menuruti kemauaan barat. bahkan sampai tulisan ini jadi dibuat, kucilan itu masih bertahan.
Sebagai bangsa dan sebagai Negara Kuba juga menjadi sesosok yang unik. Bisa kita baca secara historisitas sejarahnya, bagaimana kuba pada saat mengalami embargo ekonomi politik oleh Amerika.

Betapa kelimpungannya kuba dan betapa hancur perekonomian nasional kuba, perlu dicatat bahwa kebijakan apa yang justru diambil oleh kuba untuk menyelamtkan perekonomiannya yang sedang di embargo oleh kekuatan Amerika??.

Cerutu Khas Kuba
Kuba menyelesaikannya dengan menyelamatkan produksi tembakaunya yang terkenal samapai menjadi cerutu sesuatu yang khas dari Kuba. Sesuatu yang bisa saja dilihat oleh kita orang Indonesia sebagai sesuatu yang melanggar moral, sesuatu yang bisa di lihat dari kaca mata kesehatan ia merusak dan mematikan (katanya).


Negara ini pada masa masa pertarungan kekuatan besar dunia sempat menjadi kekuatan tangan dari salah satu kekuatan besar lainya, yakni; Uni Soviet. Bagai mana dunia mengalami situasi yang amat sangat mencekam karena produksi dan keberedaraan senjata pemusnah massal ada di mana mana dan siap diluncurkan atau ditembakkan kapan saja.

Kuba menjadi pangkalan perang Uni Soviet yang jaraknya tidak amat jauh dari Wosington-AS. USSR juga sempat melancarkan empat buah kapal bertekhnologi tinggi pada masanya yang pada awalnya tidak terdiktesi oleh angkatan laut AS. Ini bukti bahwa peperangan yang terjadi dan niat dari kedua kubu untuk saling menghancurkan sangat tinggi, dunia ada dalam situasi krisis – Crisis Misil.

Dalam selanjutnya kita juga akan mengetaui bagai mana Kuba dengan pemerintahan Sosialis ala Kuba-nya berhasil keluar bukan sebagai pemenang namun lebih tepatnya sebagai Negara yang mampu berdiri tanpa campur tangan kekuatan ekonomi pasar liberal. Kuba dengan kelompoknya mampu membangun New Historical Block bagi kehidupan ekonomi juga politiknya.

Hal ini juga yang sempat dibangun oleh Sukarno dengan gerakan non-blok nya dan Ganefo. Sesuatu yang menunjukan usaha dan pernyataan kepada dunia dan manusia bahwa tanpa Asing-pun suatu bangsa yang telah dan baru saja merdeka pun mampu bangkit dan mengatakan tidak pada sesuatu yang jelas jelas mencelakaan. nah.. sekarang mari kita mulai.

Situasi Dunia
Perang dingin telah berakhir. Simbol ideologi telah menemukan pemenangnya – kapitalisme merajalela. Hal ini didorong  juga oleh media yang berhasil mem-booming-kan thesis Fukuyama keseluruh dunia, namun hal itu tidak lama. Krisis yang beberapa kali terjadi di negara-negara pasar bebas bukan semata-mata krisis biasa tetapi krisis itu juga menghantam tatanan ekonomi global secara keseluruhan. Krisis yang terjadi merupakan mekanisme internal kapitalisme sendiri, ada kontradiksi di dalamnya, yang kapan waktu dapat meledak.

Di satu sisi kita menemukan negara negara yang sedang tumbuh tidak dibawah kaki AS(Capital). China – Venezuela – Iran - Nikaraguay sampai Kuba adalah bukti negara yang masih mampu bertahan bahkan berkembang ke arah yang lebih maju meskipun mereka mengacungkan moncong senjata kepada Amerika dan Eropa.

Dan media tidak mampu mengangkatnya menjadi sesuatu yang booming, sama seperti apa yang mereka lakukan pada thesis Fukuyama didekade awal tahun 90-an. dan ini terlihat bagaimana kemudian modal sampai mampu mengendalikan media sebagai alat pencitraan yang sesungguhnya ia (media) adalah sesuatu yang  independen dan tidak berpihak.

Kuba - Menebar benih Sosialisme
Pasca runtuhnya rezim boneka AS-Batista di Kuba, dunia semakin tercengang. Musuh AS bertambah, Amerika Latin ber Gerola menuntut untuk rakyatnya mampu dan tidak mau diganggu (intervensi) dari kekuatan AS yang pada dasarnya hanya menjadikan mereka budak murah tak berharga.

Fidel Castro
Pemimpin Rakyat Kuba
Fidel Castro dan pemerintahan revolusionirnya mampu bertahan dari serangan dan provokasi AS. Pembelokadeaan ekonomi politik yang di lakukan AS tidak mampu meruntuhkan keteguhan rakyatnya untuk tetap memilih merdeka 100% bahkan karena hal itu muncul keprihatinan yang menghasilkan solidaritas negara negara yang menentang AS terutama Uni-Soviet.

Ada banayak hal yang dilakukana kuba dalam membangun benih sosialismenya. Yang ini kemudian biasa dikatakana sebagai politik menutup diri atau tirai bambu. Setiap negara sosialisme dapat dibaca bahawa kemudian sebagai awalan pasti mereka melakukan itu, semisal contoh China dalam masa Mao juga Korea Utara yang sampai saat ini masih menjadi negara yang tertutup dari hal luar(tirai bambu).

Nasionalisasi aset aset negara dan pabrik pabrik milik AS yang berada di kuba, Pemerintahan terus melakukan kebijakannya menasionalisasikan semua perusahaan Amerika Serikat seperti perusahaan gula, 2 perusahaan elektrik Co, dan Cuban telephone Co, tiga buah bank. Penasionalisasian yang dilakukan oleh Castro dan rakyatnya tersebut tanpa adanya ganti rugi terhadap pihak Amerika Serikat. Amerika Serikat diperkirakan mengalami kerugian sekitar US $ 1,5 bilion.

Di wilayah agraria kuba melakukan reforma-agraria yang menjadi landasan awal untuk negara yang bercorak agraris agar dapat maju dengan agrarianya.pada tahun tahun Revolusi 1959 kuba telah melakukan nya dengan mengubah peternakan-peternakan, perkebunan-perkebunan milik AS menjadi pertanian Negara. Dan pada tahun 1962 pembaharuan tahap kedua pun dilakukan dengan mengambil alih 63% tanah terlantar menjadi milik negara dan di distribusikan kepada rakyatnya.

Akhir 2010 kemarin kita mendapat berita dari salah satu anggota dewan kita Rieke Diah Pietaloka yang baru saja menggunjungi negri Havana tersebut dan dalam salah satu media dia mengatakan bahawa “saya iri terhadap kuba.. sewaktu saya masuk rumah sakit saya tidak menenmukan adanya mekanisme pembayaran.. arinya GERATIS.. begitu juga di sekolah sekolah mereka.. saya iri dengan kuba..

Inilah yang dilakukan castro sejak awal selain kemudian ia terfokus dengan pabrik gula yang memang menjadi produksi tetap dari dulu dan agraria nya, ia tidak lupa bahwa salah satu cara untuk memotong mata rantai terkecil dari kapitalisme adalah dengan merebut alat produksi pengetauaan yang menjadi turunnya adalah pendidikan(sekolah-sekolah).

Dimasa masa krisis kuba, castro menginstruksikan rakyatnya untuk membangun pemukiman di daerah pedesaan dan menyerukan kepada rakyat kota untuk menyumbangkan tenaga mereka untuk bekerja dalam jangka waktu dari 2 minggu sampai 2 tahun. Dan di dekade akhir dari perang dingin pasca soviet runtuh kuba malah melakukan penolakan atas Revolusi Hijau yang menjadi gagasan dunia pada tahun pertengahan tahun 70-an.

Cita - Cita Kesejahteraan
Kuba menjadi salah satu contoh dimana kebenaran tunggal AS dan eropa atas klaimnya tentang the end of history-nya telah gagal. Pengkerdilan negara negara sosialis oleh AS menjadi ancaman balik ketika eropa di landa krisis capital yang menjadi turunan dari konflik internalnya sendiri. Negara negara yang selama ini di kampanyekan sebagai negara terbelakang dan ketinggalan zaman kini berusaha secara alamiah mencapai posisi yag sebenar-benarnya ia di tempatkan oleh masyarakat dunia. Krisis capital tidak mengganggu secara lebih kepada mereka yang sedang membangun block-social atau new histotical block punya skema sendiri dalam logika ekonomi yang lebih sehat.

Karena akan ada pertanyaan bahwa kenapa Kuba sebagai negara yang mempunyai pondasi awal sama dengan China tidak mampu sama seperti nya?? Kita juga harus mampu menilai secara objektif. Bahwa apa yang ada dan bisa dilakukan oleh kuba jauh berbeda dengan China. Secara geografis saja kita bisa melihat, juga soal Kuba yang amat dekat dengan AS sang Imperial, sadar atau tidak sadar bahwa logika Doktrin Truman dan Marsal Plan masih berlaku yang pada saat perang dingin ini dikeluarkan bahwa ada keharusan untuk pembendungan paham marxist menyebar ke mana mana.

Namun untuk ukuran negra yang cukup gersang dan kecil ini kuba masih dikatagorikan sebagai negara yang berhasil dalam mengelola alam dan sumber manusianya menjadi sesuatau yang disebut kesejahteraan. meskipun belum mencapai kesempurnaan.

@kenangkelana
03-11-2012






Dualisme Jepang Terhadap Indonesia

Oleh: Kenang Kelana

PERISTIWA 1965; 
Persepsi dan Sikap Jepang
Aiko Kurasawa
2015, Penerbit Kompas
xxi+202
Aiko Kurasawa dalam buku ini memberikan kita paparan mengenai persepsi dan sikap Jepang terhadap Indonesia sebelum dan sesudah pristiwa politik 1965, sama seperti yang tertulis di dalam judul buku ini. Buku ini beragkat dari sumber wawancara terhadap orang-orang yang hidup (dan bersinggungan) pada zaman itu.

Perlu menjadi catatan bahwa di tahun 1978, ratusan orang yang dianggap komunis dan terlibat dalam pristiwa 1965 baru dibebaskan dari Pulau Buru. Secara kebetulan penelitian Aiko yang terfokus pada perubahan sosial masyarakat Jawa pada masa pendudukan Jepang mengantarkannya kepada eks-tapol 65 itu, yang pada saat pendudukan Jepang juga memiliki peran yang sangat siknifikan.

Aiko sendiri datang ke Indonesia pada tahun 1972 dalam rangka melakukan study mengenai perubahan sosial di Jawa dan menghasilkan disertasi yang sudah dibukukan serta di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mobilisasi dan kontrol ; Indonesia masa pendudukan Jepang”. Di akuinya sempat ada kendala pada saat kedatangannya ke Indonesia, saat berada di Bandara Kemayoran beberapa buku bahan studinya di tahan selama satu minggu untuk dilakukan screaning.

Ia juga sempat akan dipanggil oleh pihak BAKIN guna mencari tau aktifitas politiknya, karena pada tahun 1968 ia termasuk orang yang diberangkatkan ke China sebagai anggota “Student Friendship Group”. Akan tetapi akhirnya lolos berkat bantuan Kedubes Jepang yang kenal dengan pihak  TNI.

Selain itu, sumber dalam penelitian ini juga mengunakan dokumen-dokumen Kementerian Luar Negeri Jepang [MOFA], arsip-arsip dari Amerika, beberapa memoar yang ditulis oleh mantan Perdana Menteri Jepang pada tahun tahun itu, tulisan-tulisan Jurnalistik, dokumen Partai Komunis Jepang dan memoar Dewi Sukarno yang juga mendapat perhatian khusus dalam buku ini.

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang sejatinya baru dimulai setelah 6 tahun Indonesia merdeka tepatnya tahun 1951. Sejak ada pembicaraan di internasioanl tentang biaya ganti rugi setelah Perang Dunia II. Indonesia dalam hal ini Sukarno menilai “pembicaraan ini” akan membantu Indonesia di tengah situasi ekonomi yang menyulitkan pada masa itu.

Negoisasi harga yang harus dibayar cukup panjang, karena antara kedua negara sama-sama bersihkeras mempertahankan argumennya terkait alasan pengajuan harga ganti rugi. Djuanda kartawijaya yang pada saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri di utus ke Tokyo untuk memulai negaoisasi harga, dan Indonesia menilai 17,5 miliar dolar AS adalah harga yang pantas untuk biaya ganti rugi dan belum termaksud menghitung korban jiwa yang dihasilkan oleh perang.

Sebaliknya, penolakan keras datang dari parlemen Jepang yang menggap bahwa angka itu terlalu tinggi untuk keadaan Jepang saat itu. Mereka mengunkan pasal perjanjian pampasan perang yang di deklarasikan pada tahun yang sama di San Fransisko bahwa “Jepang juga perlu mempertahankan ekonominya sendiri, sumber daya  jepang saat ini tidak mencukupi untuk membayar  pampasan perang  bagi semua kerusakan dan penderitaan dan pada saat yang sama memenuhi kewajiban yang lain”.

Pada faktanya, baru  di tahun 1957 di Jakarta kedua negara menyepakati angka yang harus dibayar oleh Jepang untuk Indonesia. PM Kishi berkunjung ke Indonesia khusus menemui Soekarno guna membicarakan ini. Melalui perhitungan yang pas kedua negara memiliki angka yang berbeda. Uniknya Sukarno hanya mengajukan angka 177 juta dollar AS sementara dalam hitungan Jepang seharusnya 240 juta dollar AS. Bahkan setelah di ingatkan oleh asissten penerjemah atas kekeliruan Sukarno, PM Kishi hanya menyatakan “ Kita tidak usah mempersoalkan hal-hal sepele”

Babak baru hubungan diplomatik Indonesia Jepang dimulai. Berbarengan dengan deal politik dengan Jepang, Indonesia segera melakukan nasionalisasi aset-aset milik Belanda yang masih beroprasi. Aiko menduga langkah politik Sukarno ini terkait adanya kepastian pembayaran biaya pampasan perang oleh Jepang. Biaya itu digunakan untuk mengoprasikan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang akan di nasionalisasi.

Disisi lain, perjanjian antara Sukarno dan Kishi juga membahas mekanisme pembayaran yang salah satunya adalah dengan memberikan bantuan dalam bentuk “jasa”. Ada beberapa perusahaan dan pekerja teknisi dari Jepang yang masuk ke Indonesia sebagai bentuk bantuan. Tak luput Jepang juga membuka kantor perwakilan jurnalistik.

Dana pampasan perang dalam bentuk jasa orang Jepang pada umumnya berbentuk proyek-proyek infrastruktur, gedung-gedung pabrik dll,. Biasanya mereka dipakai sebagai pembuat proposal dengan format yang biasa di pakai dan diterima oleh pemerintahan Jepang. Orang-orang ini rata-rata memiliki hubungan dengan orang-orang dipemerintahan Indonesia sejak masa pendudukan Jepang.

Aiko mencatat bahwa dalam proses merumuskan proyek-proyek, ide awalnya sering secara tidak resmi disarankan oleh perusahaan-perusahaan swasta Jepang kepada departemen terkait di pemerintahan Indonesia. Biasanya lebih banyak diterima karena mereka mengerti proposal-proposal yang sesuai dengan standar pemerintahan Jepang, dan biasanya orang-orang ini adalah agen dari perusahaan swasta jepang yang kemudian mendapat tender dari pihak pemerintah Jepang. Banyak pengusaha-pengusaha Jepang bersaing untuk mendapatkan proyek ini dan orang-orang Jepang berlomba mendekati petinggi-petinggi pemerintahan Indonesia.

Begitu massifnya kerja-kerja ekonomi dan politik dengan Jepang, Indonesia dengan Sukarnonya tetap tidak melupakan sikapnya terkait poros baru dunia. Di tengah gempuran politik Kapitalisme dan Komunisme Indonesia masih berpegang teguh kepada politik non-blok. Pada tahun 1955 Jepang datang pada perhelatan Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan oleh Sukarno dengan semangat Anti Kolonialisme dan Imperialisme.

Jepang masih menunjukan dirinya sebagai negara bangsa Asia yang mendukung nasionalisme guna memerangi bangsa-bangsa imperial. Bahkan di beberapa kesempatan Jepang seolah tidak peduli kalau-kalau sikapnya yang mendukung Sukarno akan berdampak kepada negara-negara barat. Tanpa memedulikan kepeningan bangsa barat yang secara tidak langsung di titipkan kepda Jepang terkait pembendungan komunisme di Asia Tenggara khususnya Indonesia, Jepang tetap pada pendiriannya yang juga punya maksud kepentingan ekonomi politiknya.

Bagi negara-negara Barat terutama Amerika, Jepang dipakai sebagai kepanjangan tangan mereka di Indonesia atau menurut Sasaki tokok Partai Komunis Jepang ; Jepang adalah brokernya Amerika. Karena praktis sampai pada saat itu hanya Jepang yang bisa masuk sedekat itu dengan Indonesia khusunya Sukarno. Sekalipun tidak menutup mata, kita perlu menjelaskan bahwa Amerika melalui agen-agen PSI dan Angkatan Darat cukup intens  menjalin komunikasi.

Jepang dan Pristiwa G30S
Menjelang october 1965, secara politik Indonesia mengambil sikap yang menggemparkan dunia. Januari 1965 Sukarno menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB yang dikarenakan terpilihnya Malasiya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Baik Jepang maupun bangsa Baratpun bingung menghadapi ini.

Benar saja Sukarno mulai secara terbuka membangun koneksi dengan Tiongkok yang baru saja berhasil untuk pertama kalinya membuat percobaan sejata Nuklir pada tahun 1964. Sadar akan situasi seperti ini, Amerika melalui PBB meminta Jepang untuk lebih aktif mempengaruhi arah kebijakan politik Sukarno. PM Sato yang secara karakteristik sangat tidak suka dengan Sukarno terlihat enggan menanggapi permintaan AS yang secara umum meminta Jepang menjembatani konflik Indonesia dengan Malasyia. Bahkan PM Sato selalu menghindari kontak langsung dengan Sukarno.

Di internal Jepang sendiri, beberapa politisi serta pejabat negara mulai tidak menaruh simpati dengan Sukarno atas sikap politiknya yang terlalu progresif. Hanya beberapa yang masih menaruh simpati kedapa Sukarno, salah satunya adalah Kawashima Shojiro, deputi ketua Partai Liberal Demokrasi dan menjabat Menteri Negara urursan Olimpiade Jepang.

Kawashima diutus ke dalam pertemuan peringatan ke 10 KAA Bandung sekaligus membawa agenda penyelesaian konflik antara Indonesia dengan Malasyia dan meminta Sukarno pada bulan Mei untuk berkunjung ke Tokyo bertemu dengan PM Malaisya Rahman untuk penyelesaiian konflik. Sebagai gantinya, Jepang berjanji akan datang dan mendukung pertemuan KAA ke II di Aljazair.

Di saat yang sama PM Tiongkok Zhou En-Lai juga datang mengunjungi Indonesia dalam peringatan 10 tahun KAA dan meminta Sukarno untuk teteap pada garis politik Ganjang Malaisya. Ironisnya Sukarno mengabaikan permintaan Jepang dan memilih mendengarkan masukan dari Zhou En-Lai. Yang menarik dan sangat mengejutkan adalah saat kedua negara itu (Jepang-Tiongkok), Sukarno mempertemukan keduanya yang secara politik keduanya belum membuka hubungan diplomatik pada saat itu.

Dibulan September intensitas politik di Indonesia meninggi, santer kabar tentang isu Dewan Jendral yang akan menggulingkan pemerintahan Sukarno. Pada pagi dini hari tanggal 1 Oktober telah terjadi penculikan disertai pembunuhan terhadap beberapa Jendral Tinggi Angkatan Darat. Sebanyak 7 ditambah satu putri A.H Nasution dilaporkan terbunuh.

Ada banyak versi yang melingkupi aktor dibalik gerakan ini. Akan tetapi di pemerintahan selanjutnya setelah Sukarno kehilangan otoritas, melalui Supersemar di bawah Angkatan Darat, Suharto mengumumkan dalang dibalik pembunuhan beberapa Jendral Tinggi Angkatan Darat ini adalah PKI dan menyatakannya sebagai Partai terlarang.

Namun, ada yang jauh lebih mengerikan dari sekedar pembunuhan 7 Jendral Angkatan darat ini. Yakni, beberapa minggu setelah dikeluarkannya Supersemar, Suharto menyatakan PKI sebagai partai bertanggung jawab penuh atas terbunuhnya Jendral Angkatan Darat ini. Tak disangsikan lagi beberapa bulan kemudian terjadi pembantaian yang mengrikan di sepanjang pulau Jawa. Baik dari ujung barat hingga ke ujung timur pulau ini.

Lalu bagaimana dengan Jepang? apa yang mereka tau tentang Gerakan 1 Oktober ini? Dan bagaimana sikap mereka terhadap pembantaain yang terjadi di sepanjang tahun itu?

Kedutaan Jepang di Indonesia merasa kaget setelah beberapa jam terjadi pembunuhan. Pasalnya Dubes Jepang di Indonesia Saito Shizuo sedang berada di Jawa Tengah menghadiri peresmian pabrik pemintal benang yang di bangun oleh perusahaan swasta Jepang dan akan bertolak kembali menuju Bandung. Kabar tentang pembunuhan itupun sampai di telinga Saito. Segera mereka semua memutuskan kembali lagi menuju Jakarta pada tanggal 2 Oktober.

Sesampainya di Jakarta, segera Saito berkomunikasi dengan Dewi dan terus menerus bertukar informasi dengan pihak kedutaan negara-negara barat. PM Jepang Sato mengirimkan pesan kepada Sukarno yang berisi ungkapan rasa penyesalan atas usaha pembunuhan terhadap dirinya dan bersyukur mendengar kabar dirinya masih selamat. Pesan ini disampaikan oleh Dubes Saito pada tanggal 12 Oktober dan berkesempatan membicarakan perihal insiden itu.

Yang menarik adalah pengakuan Sukarno pada saat berbincang dengan Saito pada kesempatan itu. Ia (Sukarno) menolak tuduhan atas rumor bahwa ada intervensi dari pihak Tiongkok dalam hal ini dan malah memandang curiga kepada pihak Amerika Serikat karena beberapa hari sebelum peristiwa terjadi seluruh staf Kedubes AS telah direncanakan untuk dievakuasi.

Sampai disana Saito mendapat kesan bahwa Sukarno masih bisa di jadikan pegangan sebagai tokoh yang dapat menstabilkan keadaan di Indonesia. Mengingat bahwa sampai sejauh ini belum ada orang yang bisa secara posisioning berdiri sama tegak dengan posisi Sukarno. Jepang pun di nilai oleh AS dengan ungkapan orang yang masih terhipnotis oleh sihir Sukarno sebagai orang yang paling “penting” dan sangat berhati-hati untuk tidak memusuhinya.

Bagi Amerika— yang sedari awal sangat tidak suka terhadap gaya kepemimpinan Sukarno—tinggal menunggu waktu yang pas hingga Angkatan Darat mampu menjadi otoritas politik yang kuat dan bisa mengendalikan arah kebijakan politik Indonesia yang memberikan kesempatan bagi Amerika untuk masuk ke dalamnya.

Sikap Jepang yang masih percaya terhadap kepemimpinan Sukarno pun tak berlangsung lama dari sejak Dubes Saito bertemu. Segera Jepang mencari informasi terkait gerakan-gerakan yang berada di seberang Sukarno. Hatta dinilai memiliki representasi atas kelompok-kelompok yang anti terhadap kepemimpinan Sukarno ditambah dengan informasi seorang Mahasiswa Indonesia di Jepang yang pada saat itu bekerja sebagai wartawan, Alifin Bey.

Saat itulah Jepang mulai mengambil sikap membelakangi Sukarno. Sesuatu yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Ambiguitas ini di latarbelakangi oleh modus ekonomi yang membuat Jepang harus mencari aman atas posisioning negaranya terkait keberlangsungan ekonominya atas di Indonesia setelah Sukarno dan di mata dunia.

Semangat itu tersirat sejak jauh-jauh hari seperti yang di ungkap oleh Menteri Luar Negeri -nya sendiri saat pidato di depan para pengusaha Jepang tahun 1955; pembayaran hutang pampasan perang ini jangan dilihat sebagai sebuah tanggung jawab dan kewajiban. Ini adalah kesempatan kita untuk mengambil keuntungan ekonomi atas pembangunan di Asia tenggara.

Pembantaian Massal
Dalam buku ini, Aiko menyatakan dengan nada heran bahwa masyarakat Jepang tidak banyak yang mengetahui tentang pembantaian massal yang terjadi di Indonesia setelah peristiwa pembunuhan ketujuh Jendral AD. Dibuktikan pada saat pemutaran film The Art of Killing besutan karya sutradara Joshua Oppenhaimer digelar di Jepang pada tahun 2014 lalu. Ada banyak warga Jepang yang menanyakan sendiri kepada Aiko dengan nada keheranan terkait peristiwa mengerikan itu.

Tak banyak memang yang bisa diberitakan kepada publik Jepang saat-saat pembunuhan Jendral itu terjadi. Berita yang muncul pertama di publik Jepang adalah justru dari laporan seorang kameramen berkebangsaan Jepang yang sedang memproduksi Film di Indonesia, tepat pada tanggal 2 Oktober ia pulang ke Jepang dan informasinya di tulis pada hari berikutnya tanggal 3 Oktober.

Selanjutnya surat kabar di Jepang mendapat data terkait situasi di Indonesia melalui kantor cabangnya di Malaisya dan Singapur, mengingat mencekamnya situasi pada saat itu sehingga berdampak kepada fasilitas komunikasi yang sempat terputus/tidak berfungsi.

Kenyataan-kenyataan itu membuat keterlambatan informasi yang masuk kepada publik Jepang. Aiko bahkan mencatat beberapa momen pengiriman berita yang secara “kebetulan” bisa di bawa ke Jepang. Seperti menitipkan kepada mahasiswi Jepang yang sedang study di Indonesia dan akan kembali ke Jepang pada masa itu. Kemudian mengandalkan beberapa memoar pengalaman perjalanan staf-staf Kedubes Jepang di Indonesia.

Informasi yang dapat dikumpulkan media Jepang terkait peristiwa ini baru secara massif di cacat oleh para wartawan Jepang setelah minggu ke dua terlebih sebenarnya di akhir-akhir tahun 1965 saat suhu politik Indonesia. Enggel liputan para redaktur surat kabar di Jepang mengarah kepada pertarungan politik antara Sukarno, PKI dan Angkatan Darat. Sekalipun ada kenyataan bahwa narasi tentang pembantaian yang di alamai oleh manusia Indonesia se-Jawa Bali tercatat meskipun tidak banyak.

Tak banyak reaksi dari masyarakat jepang sendiri terkait pembunuhan massal itu. Yang dalam kaca mata Aiko, masyarakat tak banyak bersikap terkait pembunuhan itu cerminan dari sikap pemerintahan Jepang sendiri terkait ini.

Yang dalam anggapan John Rossa, beberapa penulis (baik produk penelitian-jurnalistik) abai memastikan “nyatanya” pembantaian orang yang terjadi di Indonesia. Jumlahnya tidak main-main, sekalipun belum ada data yang pasti karena setiap instansi memiliki versinya masing-masing.

Dengan pasti sikap Jepang berubah setelah peristiwa ini. Bukannya mengambil langkah yang tepat dan cepat untuk mencegah terjadinya pembunuhan massal,  Kabinet Sato Jepang malah mengirim bantuan ekonomi kepada kelompok reaksioner yang melawan Sukarno dengan dalil penyelamatan rakyat Indonesia dari krisis ekonomi.

Ratna Sari Dewi, istri yang sangat dicintai oleh Sukarno menuturkan bahwa ada bantuan yang diberikan secara massif kepada pemimpin kelompok mahasiswa anti Sukarno sebesar enam juta yen. Dana ini diberikan secara tidak resmi (rahasia) kepada Sofjan Wanadi.

Dan setelah tahun-tahun yang gelap ini, sekian banyak dari kita dapat melihat dengan jelas ekspansi ekonomi Jepang dapat berjalan dengan mulus hingga ke level yang paling kecil. Bagi kita yang hidup di generasi 90an, mungkin sudah tak asing lagi dengan berbagai macam komik serta film manga yang beredar seperti “Doraemon”, “Dragon Ball” dst,. Semua ini berkaitan dengan kejatuhan Sukarno dimana Jepang juga punya andil besar terhadap itu. Tabik

 



@kenangkelana


20 Oktober 2015