Wednesday 12 November 2014

Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida

Oleh: Iman Zaenatul Haeri S,pd*


Prolog:

Sedikit menyedihkan bahwa resensi ini merupakan resensi kedua dari buku yang sama, setelah yang pertama gagal dalam naskah yang tidak pernah rampung, tidak lupa bahwa kini keberadaannya-pun bisa dikatakan hilang. Penulis tersenyum mengetahui bahwa ia harus memulai dari awal kembali. Guna memproklamirkan produksi literasi “kandang buku” yang telah melewati masa zombie pada era “kesadaran zombie” atau lebih mudah memahaminya dalam kalimat “ia yang sadar bahwa ia adalah zombie”. Tapi itu adalah hal lain, karena lebih menarik adalah bagaimana pemain inti kandang buku memprivatisasi informasi buku yang akan diresensi—sedikit satir mungkin masih diperbolehkan, persis perkhelatan konser besar dari orang yang sedang ditunggu; kita memang layak mendapatkan panggung yang besar. Terima kasih!
Filsafat Dalam Masa Teror
Goivanna Borradori
Alfons Taryadi
Kompas, 2005
           
Dapat dimulai dari sekarang?
Ya, dua nama ini memang unik. Habermas dan Derrida. Mereka berdua adalah filsuf Eropa. Habermas dikenal sebagai seorang pemikir analitis, warisan filsafat modern berada dipundaknya. Ia seorang Jerman yang kokoh, menjadi eksponen noe-marxist tanpa lupa untuk kembali pada Imannuel Kant. Ia merupakan generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, bersama Adorno dan Marcuse membangun Teori Kritis. Secara kasat, ia menjadi satu-satunya suara yang paling berani menjawab berbagai kritikan kaum Post-Modern atas proyek modern yang gagal. Diantaranya adalah Demokrasi dan pesan-pesan universal yang terkandung dalam skema Pencerahan. Habermas paling optimis terhadap pencerahan, bahwa produk pencerahan masih terlus berlanjut berserta era modern yang belum berakhir meski suara-suara dekonstruktif terus digaungkan orang-orang yang dianggap post-modern; yang umunya sinis terhadap grand-Narasi yang diciptakan dunia modern. Habermas memang memiliki optimisme bahwa Pencerahan belumlah berakhir, dan sekian masalah yang ditimbulkan Pencerahan seperti kolonialisme dan kapitalisme dapat diselesaikan dengan komunikasi. Komunikasi menjadi ruang bagi Habermas, membenamkan cita-citanya mengenai sebuah dunia dimana terjadi “dialog tanpa distorsi”. 

Kemudian lain dengan Habermas, Jaques Derrida berada pada barisan depan, untuk menuntut banyak hal dari sekian kegagalan proyek modern. Bila Habermas pemikir yang analitis, yang memulai analisisnya dari kaidah-kaidah keilmuan sosial, maka Derrida memulai argumennya dari bahasa. Memang kebanyakan tokoh-tokoh Postmodern berangkat dari analisis bahasa, termasuk Derrida. Ia seorang pemikir yang dikenal dengan istilah Dekosntruksi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Memandang bahwa membahas Dekonstruksi menghabiskan energi tidak seimbang dengan resensi ini dan ditambah Derrida lebih tertarik pada penolakan setiap upaya definisi atas istilah dekonstruksi miliknya; kita memahami ini sebagai upaya totalitas Derrida untuk menolak apapun warisan modern termasuk membedah istilah tersebut dalam kerangka filsafat ilmu (Epistemologi, aksiologi, ontologi maupun etimologi).

Akhirnya kita setuju untuk tidak membahas yang satu ini yaitu Habermas dan Derrida, meski yang pertama seringkali meminta penangguhan dalam kalimat yang amat panjang untuk menjelaskan mengapa menyebut ia filsuf tidak semudah mengatakannya demikian. Disisi lain, yang kedua lebih menunjukan daya tolak yang luar biasa pada siapapun yang menyebutnya “filsuf”, bernada penghinaan baginya, dalam cara-cara yang sudah umum dilakukan “filsuf postmo”. Sebaiknya kita tinggalkan sebutan yang terakhir ini, karena Derrida menolak pula disebut filsuf Postmodernism.

Buku ini memang telah menunjukan arahnya sejak awal tentang bagaimana cara filsafat memandang “terror”. Secara sederhana kita dapat melihat turunan yang cukup curam bagaimana perjalanan dari filsafat yang harus menukik dan mengerucut pada tema terkecil dalam wacana “terror”. Pertanyaannya, mengapa terror menjadi menarik dibahas oleh Habermas maupun Derrida? Jawaban singkat dari sang penulis mungkin cukup melegakan, “mereka merupakan suara paling akbar yang masih hidup”, cukup buruk untuk dikatakan memuaskan. Tapi itu bukan penjelasan keseluruhan.

Borradori, sang penulis buku ini memang secara langsung ingin mengetahui bagaimana pendapat seorang filsuf mengenai kejadian 11/9, yang disebut sebagai dimulainya “masa terror”. Buku ini memang dibuat tidak lama setelah peristiwa 11/9 terjadi. Saat gedung WTC (World Trade Center) luluh lantah, gedung kebanggan, simbol ekonomi kapitalisme paman Sam. Kemajuan peradaban, kemenangan kapitalisme, menangnya rasio, kalahnya Negara-Negara komunis—harus diralat hanya karena terror sekelompok kecil yang memiliki dampak luar biasa. Disiniah Borradi melihat, kedua filsuf tersebut harus berpendapat!  
Sebagai pengantar, sebuah narasi kecil mesti dituang disini. Peristiwa 11 september 2001 merupakan bentuk terror—secara resmi—diakui sebagai pihak yang bertanggung jawab, pemimpin organisasi Taliban; Osama Bin Laden. Amerika sebagai Negara dengan anggaran militer terbesar didunia, dijantung perekonomiannya, dipermalukan secara luar biasa. Rasa aman penduduk Negara tersebut terancam sampai pada titik terdalam. Dan secara kebetulan kedua filsuf tersebut memang berada di New York. Buku ini disusun dalam bentuk wawancara antara kedua filsuf tersebut, berikut beberapa kesan yang dikisahkan Borradori.

“Dialog dengan Habermas padat, sangat tersusun, rapih dan elegan dalam sifat tradisionalnya. Caranya menggunakan bahasa yang cenderung berdisiplin tinggi memberi kesempatan pada gagasannya untuk maju dari konsep ke konsep, dengan derap langkah mantap dan cerah, yang membuat filsafat klasik Jerman begitu berbeda secara khas dari yang lain. Kontras dengan itu, dialog dengan Derrida mengajak pembaca menempuh jalan yang lebih panjang dan berliku-liku yang secara tak terduga terbuka kearah vista luas dan jurang sempit yang beberapa di antaranya begitu dalam sehingga dasarnya tidak kelihatan.“
                           
Keterangan diatas menunjukan arah dialog yang terjadi dan dirasakan penulis; Borradori. Tetapi hal ini menjadi probematik; membahas kedua pemikiran pemikir tersebut tanpa menjelaskan jalur filsafat yang dipakai kedua orang tersebut hingga sampai wacana Teror. Sebuah pengantar dari halaman 3 sampai 34 telah menjawab kebutuhan tersebut, sedikitnya akan dipaparkan disini. Habermas dan Derrida secara jelas menguraikan resiko-resiko yang diakibatkan oleh pendekatan pragmatis yang dengan sengaja emoh menghadapi kompleksitas konseptual yang menggarisbawahi konsep terorisme. Borradori sudah menetapkan bahwa peristiwa 9/11 merupakan peristiwa sejarah. Hal ini yang mendorongnya untuk membahas terlebih dahulu hubungan filsafat dengan Sejarah. Dalam subjudulnya Borradori menyatakan; punyakah Filsafat sesuatu untuk dikatakan Sejarah?

Ia memulai uraiannya dari Aristoteles yang memulai lebarnya jarak antara Filsafat dan Sejarah. Arsitoteles merasa sejarah selalu gelap terhadap analisis filsafat. Tetapi sepeninggal Aristoteles, ketidakacuhan filsafat terhadap sejarah mendominasi tradisi Barat sampai pertengahan abad ke delapanbelas. Sampai akhirnya Kant-pun masih mengagumi semangat pencerahan yang memberi independensi diri dihadapan otoritas, termasuk otoritas masa lalu (baca: Sejarah). Hanya satu generasi dari kant, Hegel mempersempit jarak antara filsafat dan sejarah dengan pernyataan bahwa akal itu sendiri terikat kepada sejarah. Respon Hegel ini diteruskan oleh Marx dan Freud. Independensi diri ternyata menyediakan pilihan-pilihan konsep fiktif, karena tidak dapat menjawab mengapa pilihan-pilihan dibatasi oleh akses ekonomi, budaya, pendidikan, psikologis, religius, teknologis—bebas pilihan sepertinya tidak pernah ada. Oleh sebab itu, filsafat memiliki tanggung jawab dan menyumbangkan diskusi publik atas makna pada beberapa peristiwa sejarah—dalam hal ini 9/11.

Dalam tataran yang paling praktis, partisipasi kedua filsuf ini memang harus dibahas, sesuai dengan kategorisasi yang dibuat Borradori. Ia menyebutkan ada Dua Model partisipasi Publik: Aktivisme Politis dan Kritik Sosial. Aktivisme politis merupakan konsekwensi yang diambil oleh Bertrand Russell.1 Mode partisipasi politik yang kedua, diambil oleh Hannah Arendt. Sebagaimana dengan Arendt, dan tidak seperti Russell, mereka (Habermas dan Derrida) tidak memandang pada komitmen politis sebagai suatu imbuhan pada komitmen mereka pada filsafat, suatu opsi yang dapat diambil, ditunda, atau bahkan ditolak sama sekali. Keduanya telah menjumpai dan merangkul filsafat dalam konteks trauma-trauma sejarah Eropa di Abad kedua puluh; kolonialisme, totalitariansime dan pembantaian.

Ideologi eksplisit para teroris yang menyerang Twin Tower dan Pentagon pada 9/11 ialah penolakan jenis modernitas dan sekularisasi—yang didalam filsafat diasosiasikan dengan konsep pencerahan. Kemunculan penolakan terhadap modernitas—dalam hal ini filsafat menyebutnya pencerahan, memang terbentur pada satu wilayah yang disebut Toleransi. Derrida, memaknai bahwa toleransi telah di apropriasi oleh wacana biologi untuk menunjukan garis halus antara integrasi dan penolakan. Sebagaimana benar dengan transplantasi organ dan manajemen rasa sakit, ambang toleransi memandai toleransi sebagai batas ekstrim perjuangan organisme untuk mempertahankan diri dalam keseimbangan sebelum ambruk berantakan. Sebaliknya, tidak sesinis Derrida, Habermas mendukung toleransi baik front etika maupun pada front hokum. Keberatan Habermas atas Dekonstruksi Derrida termanifes dalam konsep Demokrasi partisipatoris yang fungsional.2

Memang, resensi ini tidak bermaksud untuk menguraikan secara lengkap bagaimana teror dan teroris, serta tema besar yang diangkat oleh kedua filsuf tersebut. Habermas menggarisbawahi bagaimana Fundamentalis merupakan akibat dari lemahnya komunikasi antara globalisasi dan kekuatan-kekuatan tradisional. Kemudian baru, Habermas merekonstruksi Terorisme. Sedangkan Derrida, seperti telah disebutkan diatas, mendekonstruksi Terorisme sebagai tahap Otoimunitas dari dampak yang dihasilkan Pencerahan.
Akhir kata, selamat membaca!


*Mantan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah UNJ




1 Hal ini menjadi pilihan tersendiri, pertama Bertran Russell merupakan filsuf yang mana ia aktivis politik juga. Ia tergabung dan menerjunkan diri pada gerakan-gerakan politik yang dipercayai dan difahaminya sebagai konsekwensi--harusnya filsuf mengambil peran dalam tatanan politik dunia. Ia pernah menjadi anggota kampanye Perlucutan Senjata Nuklir yang vokal, bertanggung jawab atas didirikannya Atlantic Peace Foundation, Bertrand Russell Peace Foundation, suara paling pantang atas Perang Vietnam. Kedua, Russell merupakan generasi yang melihat bagaimana pertumbuhan terror, terrorisme, fundamentalisme, otoriterianisme dan berbagai wacana yang lahir pada abad 20 sampai 21, dimana tema-tema tersebut terkait dengan tema yang dibahas dalam buku ini menyoal terror dalam lingkup sejarah.

2 Konsep ini maksudnya adalah bahwa toleransi bisa terjadi dengan semangat-semangat demokrasi. Dengan catatan bahwa komunikasi terjalin secara respirokal.

Tuesday 11 November 2014

Sebuah Riwayat Perjuangan

Oleh: Aswin Setiawan*

“Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya, hanya ide yang berakar kebumi yang mungkin tumbuh dengan baiknya” 
Soe Hok Gie

Di Bawah Lentera Merah
Soe Hok Gie
Bentang, 2005
xii + 110 halaman
Dibawah lentera merah, begitulah Soe Hok Gie menulis sebuah skripsi sebagai syarat untuk menempuh ujian sarjana muda di jurusan Sejarah, fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Berangkat dari ketertarikannya terhadap tokoh-tokoh Marxis yang menurut Gie memiliki watak yang unik. Disini Gie coba melihat perkembangan awal komunisme di Indonesia yang dalam hal ini Gie memulai dengan Sarekat Islam (SI) Semarang.

Permulaan abad ke-20 merupakan periode paling menarik dalam sejarah pergerakan Indonesia, karena diperiode itulah terjadi perubahan sosial yang besar karena faktor; pesatnya perkembngan pendidikan ala Barat, pertumbuhan penduduk yang cepat, dan munculnya kota-kota industri besar seperti Semarang, Surabaya, Batavia (Jakarta), dll. Masuknya pengaruh modern menyebabkan terjadinya benturan dengan nilai-nilai tradisional mereka, malah ada yang mulai melepaskannya walaupun pegangan yang baru belum ada. Sebagian dari mereka mencarinya dalam pemikiran-pemikiran Islam, sedangkan yang lainnya mencari dengan menggali kembali kebudayaan lama untuk disesuaikan dengan dunia mereka yang modern (akulturasi), kemudian yang lainya lagi mencari didalam pemikiran-pemikiran barat.

Dengan jubah modern, pada awal abad ke-20 banyak aliran yang bertentangan, kadang-kadang berbagai organisasi saling menjatuhkan. Jika kita membuka sedikit saja jubah modern itu kita akan melihat sesungguhnya makna daripada gerakan itu, mereka tidak lain merupakan kelanjutan bentuk dari kelompok-kelompok yang sudah ada dalam masyarakat tradisional. Gerakan sosialistik Sarekat Islam Semarang mereka samakan dengan gerakan saminis yang menghebat pada tahun 1917. Organisasi Sarekat Islam semarang merupakan gerakan yang tidak mungkin melepaskan dirinya dari zaman lampaunya. Ide tokoh-tokohnya mau tidak mau merupakan kelanjutan dengan gagasan yang hidup pada pra abad ke-20.

Dibawah lentera merah merupakan sebuah usaha untuk melihat salah satu bentuk pergerakan rakyat Indonesia pada awal abad ke-20. Sarekat Islam semarang merupakan organisasi yang paling agresif pada tahun 1917 dimana tendensi-tendensi solsialistik mulai jelas dan pada tahun 1920 mentransformasikan diri menjadi partai komunis Indonesia. Ketika Semaun mengambil alih pimpinan Sarekat Islam Semarang dari Moehammad Joesoef mulailah adanya perubahan orientasi gerakan SI Semarang.

Dibawah Semaoen, SI Semarang memiliki banyak pendukung dari kalangan Buruh dan rakyat kecil (petani). Di fase inilah kemudian lahir gerakan kaum marxis pertama di Indonesia. Proses perevolusioneran SI Semarang tidak saja dipengaruhi pergantian di tubuh SI Semarang tetapi juga disebabkan oleh keadaan masyarakat yang disebabkan oleh keadaan ekonomi dan intelektualnya. Mulai dari masalah agraria, reaksi terhadap pembentukan Volksraad dan indie weerbaar, wabah penyakit.

Gesekan-gesekan yang terjadi antara SI Semarang dengan CSI, yaitu antara kelompok Semaoen dengan kelompok Abdul Muis semakin mewarnai dinamika pergerakan Indonesia. Cokroaminoto yang tidak ingin terjadi perpecahan didalam Sarekat Islam mencoba mendamaikan dengan cara menarik persamaan antara Islam dan Sosialisme. Tetapi usaha ini sia-sia ketika CSI dikuasai oleh Abdul Muis, dengan menerapkan disiplin partai Muis melarang keorganisasian ganda dalam tubuh SI. Para anggota SI Semarang kebanyakan juga merupakan anggota ISDV, Muis tidak mau SI dijadikan kepanjangan tangan ISDV. ISDV merupakan organisasi yang dikendalikan oleh Sneevliet seorang tokoh sosialis Belanda yang dibuang ke Hindia Belanda akibat aktivitas politiknya. Ketika tiba di Surabaya lalu tak lama kemudian dipindahkan ke Semarang, dikota inilah Sneevliet menemukan Semaoen dan membuatnya menjadi soerang marxis.

Setelah semaoen menarik semua anggota SI Semarang dan merubahnya menjadi SI Merah sebagai tandingan SI Putih. semakin jelas warna marxis dalam tubuh organisasi ini. Kemudian ISDV pada bulan mei 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia dimana SI Merah ikut didalamnya. Aksi pemogokan oleh buruh yang diorganisir PKI dan mobilisasi massa menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda dengan melakukan pengawasan ketat melalui PID terhadap PKI. Petualangan PKI berakhir ketika organisasi ini melakukan perlawan pada 1926/1927 yang menyebabkan banyak pemimpinnya dibunuh dan dibuang ke Boven Digoel dan membuat gerakan komunis di Indonesia hancur sebelum bangkit kembali pada masa setelah Indonesia merdeka.

*Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNJ