Friday 21 February 2014

Sinema wajah Suram Manusia Indonesia

Oleh: Bara Prastama



Anda pasti pernah ke rumah makan, restoran, atau sekalipun warung tenda. Anda juga pasti pernah melihat orang atau malah mengalami sendiri kebingungan seperti ini “mau makan apa ya?” , bahkan hingga memakan waktu lama untuk memilih menu makanan. Pada peristiwa tersebut paling tidak ada dua poin, yakni pertama, rendahnya logic manusia Indonesia untuk sesuatu hal yang sangat simple. Mau makan saja bingung, bagaimana memikirkan negara yang makin suram. Kedua, dapat kita lihat Wajah Suram Manusia Indonesia yang minim perencanaan matang, dan dekat dengan tindakan gegabah tanpa pikir panjang. Prilaku tanpa pikir panjang yang menggambarkan suramnya wajah orang Indonesia adalah korupsi. Belakangan menjadi pemberitaan utama di media manapun tentang kasus-kasus korupsi yang melibatkan pemimpin daerah hingga pemimpin lembaga pengadilan hukum tertinggi di negeri yang masih suram ini.
Kisah Muram Di Restoran Cepat Saji
Bamby Cahyadi
Gramedia, 2012
152 halaman
Lebih teramat miris tindak-tanduk korupsi ternyata tidak hanya terjadi pada masyarakat berkerah putih. Masyarakat kelas buruh pun lihai melakukan tindakan korupsi. Meski hanya cerita fiksi yang digambarkan dalam kumpulan cerita pendek dan dibukukan dengan judul utama ‘Kisah Muram di Restoran Cepat Saji’ namun hal ini dinarasikan senyata mungkin oleh Bamby (penulis). Dimana seorang karyawan kasir terbaik sebuah restoran cepat saji yang memiliki keahlian memainkan mesin kasirnya untuk melakukan tindak korupsi. Merasa mendapat tekanan psikologis untuk selalu bekerja dengan baik dan ramah kepada pelanggan saat ia pusing menghadapi pacarnya yang semakin menuntut minta dinikahi menjadi pembenaran Adimas (nama dalam tokoh utama) untuk melakukan tindak korupsi. Kisah ini menjadi sinema wajah suram manusia Indonesia yang tidak berpikir jauh kedepan dan selalu membenarkan posisi yang terjepit seakan tidak ada jalan keluar lagi, sehingga jalan pintas selalu dipilih.

Sinema-sinema lain yang digambarkan dalam kumpulan cerita pendek ini banyak menggugat persoalan ketimpangan sosial yang sebenarnya terjadi disekitar kita. Untuk memupuk atau mengasah kekritisan dan kepekaan sosial kita sebagai makhluk sosial buku ini bisa menjadi rekomendasi yang baik untuk di baca. Dinarasikan dengan imajinasi dan bahasa simbol mengajak pembaca untuk membaca kritis situasi sosial di negeri yang sedang muram karena wajah yang suram. Mungkin pernyataan Pramoedya Ananta Toer sosok sastrawan termasyhur relevan sebagai refleksi kisah diatas “Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu sendiri, jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri. Dan itu dibuktikan dengan kerja.”

No comments: