Friday 21 February 2014

Perpustakaan Dalam Sejarah

Oleh: Kenang Kelana 


Layaknya manusia, ternyata buku juga punya sejarah yang panjang tentang rumahnya, tentang bagaimana dan dimana mereka dikumpulkan menjadi satu kesatuan bibliotika.

Drs. Muljani A. Nurhadi, M.Ed.
Andi Offset, Yogyakarta, 1983.
Sama tuanya dengan perkembangan zaman manusia, perpustakaan ternyata juga mengikuti dengan dinamikanya sendiri. Seklipun perpustakaan bukan barang hidup, namun maju mundurnya perpustakaan juga mengikuti perkembangan peradaban manusia. Buku Drs. Muljani A. Nurhadi berjudul; "Sejarah Perpustakaan dan Perkembangannya di Indonesia" memberikan banyak informasi tentang perkembangan perpustakaan di dunia dan khususnya di Indonesia. Drs. Muljani adalah lulusan mahasiswa FIP-IKIP Yogyakarta yang mendalami Ilmu Kepustakaan sejak akhir tahun 1960an.

Baginya istilah perpustakaan dimulai sama tuanya dengan periode manusia sebelum dan sudah mengenal tulisan (aksara). Pengertian perpustakaan dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi. Bahkan dalam buku ini Muljani menyebutkan kalau bukan hanya tempat untuk mengumpulkan buku dan pemeliharaan, akan tetapi perpustakaan juga dimaknai sebagai tempat sumber informasi. Jadi akan berhak kemudian kita mengklaim bahwa artifak-artifak yang jauh sebelum manusia mengenal tulisan sudah biasa disebut sebagai bahan pustaka dan perpustakaan. Bisa dibayangkan jika kita memaknai Goa sebagai apa yang disebut dengan perpustakaan.

Para ahli telah menemukan bahwa kebudayaan perpustakaan telah dirintis pada masa kejayaan Arab. Orang-orang Arab yang telah maju peradabannya sekitar tahun 3.750 SM telah memahat dan berhasil ditemukan ukiran dan lambang-lambang yang informatif ke dinding-dinding bangunan, monumen-monumen serta tempat-tempat peringatan untuk menunjukkan ke agungan para raja mereka, ukiran itu tertuang dalam bentuk gambar dengan skrip Hieroglyphic.

Selanjutnya manusia memasuki babak baru ketika papyrus atau daun sejenis lontar ditemukan sebagai media tulis menulis. Hanya sari tanaman ini yang dapat digunakan untuk produksi material hingga akhirnya dapat  menyerupai kertas, digunakan oleh bangsa Mesir kuno serta kebudayaan Mediterania jauh sebelum kertas ditemukan di China. Papyrus merupakan pengolahan bagian dari tanaman secara langsung, sedangkan kertas dibuat dari serat yang sudah diolah dan diberi perlakuan khusus. Semakin maju praadaban manusia sejak tahun—kurang lebih—100 SM bangsa China tercatat sebagai penyumbang kertas bagi Dunia. Alkisah orang bernama Tsai Lun berhasil membuat kertas dari bahan bambu yang mudah didapat seantero China pada tahun 101 SM, hingga akhirnya penemuan ini bisa bisa menyebar ke seluruh penjuru seperti Jepang dan terutama bangsa-bangsa Arab pada masa kejayaan Abassiah. Maka tidak lah mengherankan jika sejarah mencatat nama-nama seperti Bhagdad, Konstantinopel dll sebagai emporium yang terbangun dari ilmu pengetahuan.

Sedang di dalam Indonesia sendiri perkembangan Perpustakaan juga bisa dibilang sangat tua. Jauh sebelum bangsa Eropa datang dan memperkenalkan mekanisme modern pembukuan (kertas), melalui bangsa India kita telah di ajarkan tulis menulis (sekalipun beberapa dengan simbol) pada bebatuan, lontar d.s.t. Memasuki era-kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah negara serta bangsa ternyata semakin menunjukan tingginya peradaban dengan kualitas serta kuantitas jumlah buku-buku yang terbit dan beredar untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Prasarana perbukuan semakin terarah ketika Indonesia memasuki periode Demokrasi Terpimpin, produk literasi yang dibangun dan dikembangkan dianggap semakin mengarah kepada kepribadian bangsa Indonesia dengan berkaca kepada perkembangan masyarakatnya. Kebudayaan ikut dalam prospek pembangunan. Akan tetapi melalui proses politik yang mencekam, Indonesia memasuki tahun-tahun yang mengharukan dalam dunia literasi. Sekalipun jalannya produksi perbukuan bersifat tetap. Namun disana-sini kita mengalami kebocoran yang sangat kronis, mengingat ketika yang kita pahami perpustakaan adalah informasi, maka pada masa ini beberapa informasi masih dikelola oleh sekelompok orang dan bahkan dihilangkan kepada publik.

Buku yang terbit pada tahun 1983 ini membantu banyak pihak untuk lebih memahami apa-apa yang menjadi seluk beluk dari dunia perbukuan—informasi—perpustakaan. Buku ini hadir ditengah-tengah pembaca dimana situasi perbukuan dan keobjektifan menjadi barang yang langka untuk di bicarakan.




Sinema wajah Suram Manusia Indonesia

Oleh: Bara Prastama



Anda pasti pernah ke rumah makan, restoran, atau sekalipun warung tenda. Anda juga pasti pernah melihat orang atau malah mengalami sendiri kebingungan seperti ini “mau makan apa ya?” , bahkan hingga memakan waktu lama untuk memilih menu makanan. Pada peristiwa tersebut paling tidak ada dua poin, yakni pertama, rendahnya logic manusia Indonesia untuk sesuatu hal yang sangat simple. Mau makan saja bingung, bagaimana memikirkan negara yang makin suram. Kedua, dapat kita lihat Wajah Suram Manusia Indonesia yang minim perencanaan matang, dan dekat dengan tindakan gegabah tanpa pikir panjang. Prilaku tanpa pikir panjang yang menggambarkan suramnya wajah orang Indonesia adalah korupsi. Belakangan menjadi pemberitaan utama di media manapun tentang kasus-kasus korupsi yang melibatkan pemimpin daerah hingga pemimpin lembaga pengadilan hukum tertinggi di negeri yang masih suram ini.
Kisah Muram Di Restoran Cepat Saji
Bamby Cahyadi
Gramedia, 2012
152 halaman
Lebih teramat miris tindak-tanduk korupsi ternyata tidak hanya terjadi pada masyarakat berkerah putih. Masyarakat kelas buruh pun lihai melakukan tindakan korupsi. Meski hanya cerita fiksi yang digambarkan dalam kumpulan cerita pendek dan dibukukan dengan judul utama ‘Kisah Muram di Restoran Cepat Saji’ namun hal ini dinarasikan senyata mungkin oleh Bamby (penulis). Dimana seorang karyawan kasir terbaik sebuah restoran cepat saji yang memiliki keahlian memainkan mesin kasirnya untuk melakukan tindak korupsi. Merasa mendapat tekanan psikologis untuk selalu bekerja dengan baik dan ramah kepada pelanggan saat ia pusing menghadapi pacarnya yang semakin menuntut minta dinikahi menjadi pembenaran Adimas (nama dalam tokoh utama) untuk melakukan tindak korupsi. Kisah ini menjadi sinema wajah suram manusia Indonesia yang tidak berpikir jauh kedepan dan selalu membenarkan posisi yang terjepit seakan tidak ada jalan keluar lagi, sehingga jalan pintas selalu dipilih.

Sinema-sinema lain yang digambarkan dalam kumpulan cerita pendek ini banyak menggugat persoalan ketimpangan sosial yang sebenarnya terjadi disekitar kita. Untuk memupuk atau mengasah kekritisan dan kepekaan sosial kita sebagai makhluk sosial buku ini bisa menjadi rekomendasi yang baik untuk di baca. Dinarasikan dengan imajinasi dan bahasa simbol mengajak pembaca untuk membaca kritis situasi sosial di negeri yang sedang muram karena wajah yang suram. Mungkin pernyataan Pramoedya Ananta Toer sosok sastrawan termasyhur relevan sebagai refleksi kisah diatas “Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu sendiri, jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri. Dan itu dibuktikan dengan kerja.”

Para Peternak (1)


Iken aka Kenang Kelana

Bara Prastama

Shofrul Hadi

Arie

Orian

Sugeng aka Nana

Jay aka Wahyudin