Monday 1 December 2014

Literasi Indonesia Harta Karun Intelektual Bangsa

Press realese

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer

  Kutipan dari Pramoedya diatas kiranya menjadi suatu peringatan yang representatif. Bahwasanya kita harus menjaga budaya menulis sebagai suatu bentuk kekayaan literasi Indonesia. Terlebih Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya dan sejarahnya.
   Budaya tersebut merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang menghasilkan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Kebudayaan sebagai semua, seperangkat sistem gagasan, tindakan, hasil atau benda-benda manusia yang diperoleh dengan cara belajar dalam rangka hidup bermasyarakat dan dimiliki oleh manusia, dirasa perlu untuk diabadikan dalam suatu bentuk literasi untuk membantu melangsungkan kebutuhan intelektual dalam bermasyarakat hari ini.
   Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan media informasi justru kian mengikis kebudayaan-kebudayaan tersebut pada generasi muda. Tak sedikit pula masyarakat yang khawatir akan dampak dari masuknya budaya barat dapat mengubah gaya hidup manusia Indonesia kearah negatif, antara lain kekerasan, penetrasi budaya asing, konsumerisme. Dimana akan melemahkan ketahanan nasional dalam aspek kebudayaan dan pendidikan. Sehingga timbul hilangnya citra bangsa yang intelektual akan budaya bangsanya sendiri.
    Globalisasi ini telah mengalienasikan generasi bangsa dari budayanya sendiri, termasuk pada kehilangan identitas sebagai suatu bangsa Indonesia yang besar. Kurangnya pemahaman generasi muda betapa pentingnya literasi, menggerakan beberapa komunitas penggiat literasi yang berada di Jakarta untuk mengajak dalam suatu kegiatan bertajuk ‘Pesta Literasi Akhir Tahun.’ Kegiatan ini sebagai bentuk penyadaran sejarah, budaya, serta kolektifitas sebagai sebuah bangsa yang terkandung dalam kekayaan literasi bangsa.
       Pesta literasi akhir tahun 2014 diadakan selama dua hari 9-10 Desember 2014 di Universitas Negeri Jakarta. Para penyelenggara yang menaruh lebih terhadap literasi antara lain adalah Perpustakaan Komunitas Kandang Buku, Gerakan Aksara, Stomata, ingin mengkampanyekan “Sadar Literasi” khusunya pada generasi muda untuk lebih aktif membaca dan menulis. Hal ini sekiranya sangat erat dengan visi pemerintah yang saat ini ingin mencetak generasi emas Indonesia dengan menumbuh kembangkan karakter nasionalisme pada generasi bangsa melalui pendidikan, sejarah, budaya, dan pariwisata Indonesia.
    Sebuah gagasan literasi Indonesia sebagai harta karun intelektual bangsa yang belum diperhatikan secara lebih oleh pemerintah sebetulnya dapat menjadi sarana perbaikan karakter generasi bangsa. Generasi yang sadar akan sumber-sumber bacaan (literasi). Untuk terciptanya suatu capaian tersebut tentu membutuhkan sinergi antara institusi dalam hal ini pemerintah dengan komunitas yang menaruh perhatian lebih.

Salam #AsahMakaTajam
(Panitia #PLAT2014)

Wednesday 12 November 2014

Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida

Oleh: Iman Zaenatul Haeri S,pd*


Prolog:

Sedikit menyedihkan bahwa resensi ini merupakan resensi kedua dari buku yang sama, setelah yang pertama gagal dalam naskah yang tidak pernah rampung, tidak lupa bahwa kini keberadaannya-pun bisa dikatakan hilang. Penulis tersenyum mengetahui bahwa ia harus memulai dari awal kembali. Guna memproklamirkan produksi literasi “kandang buku” yang telah melewati masa zombie pada era “kesadaran zombie” atau lebih mudah memahaminya dalam kalimat “ia yang sadar bahwa ia adalah zombie”. Tapi itu adalah hal lain, karena lebih menarik adalah bagaimana pemain inti kandang buku memprivatisasi informasi buku yang akan diresensi—sedikit satir mungkin masih diperbolehkan, persis perkhelatan konser besar dari orang yang sedang ditunggu; kita memang layak mendapatkan panggung yang besar. Terima kasih!
Filsafat Dalam Masa Teror
Goivanna Borradori
Alfons Taryadi
Kompas, 2005
           
Dapat dimulai dari sekarang?
Ya, dua nama ini memang unik. Habermas dan Derrida. Mereka berdua adalah filsuf Eropa. Habermas dikenal sebagai seorang pemikir analitis, warisan filsafat modern berada dipundaknya. Ia seorang Jerman yang kokoh, menjadi eksponen noe-marxist tanpa lupa untuk kembali pada Imannuel Kant. Ia merupakan generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, bersama Adorno dan Marcuse membangun Teori Kritis. Secara kasat, ia menjadi satu-satunya suara yang paling berani menjawab berbagai kritikan kaum Post-Modern atas proyek modern yang gagal. Diantaranya adalah Demokrasi dan pesan-pesan universal yang terkandung dalam skema Pencerahan. Habermas paling optimis terhadap pencerahan, bahwa produk pencerahan masih terlus berlanjut berserta era modern yang belum berakhir meski suara-suara dekonstruktif terus digaungkan orang-orang yang dianggap post-modern; yang umunya sinis terhadap grand-Narasi yang diciptakan dunia modern. Habermas memang memiliki optimisme bahwa Pencerahan belumlah berakhir, dan sekian masalah yang ditimbulkan Pencerahan seperti kolonialisme dan kapitalisme dapat diselesaikan dengan komunikasi. Komunikasi menjadi ruang bagi Habermas, membenamkan cita-citanya mengenai sebuah dunia dimana terjadi “dialog tanpa distorsi”. 

Kemudian lain dengan Habermas, Jaques Derrida berada pada barisan depan, untuk menuntut banyak hal dari sekian kegagalan proyek modern. Bila Habermas pemikir yang analitis, yang memulai analisisnya dari kaidah-kaidah keilmuan sosial, maka Derrida memulai argumennya dari bahasa. Memang kebanyakan tokoh-tokoh Postmodern berangkat dari analisis bahasa, termasuk Derrida. Ia seorang pemikir yang dikenal dengan istilah Dekosntruksi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Memandang bahwa membahas Dekonstruksi menghabiskan energi tidak seimbang dengan resensi ini dan ditambah Derrida lebih tertarik pada penolakan setiap upaya definisi atas istilah dekonstruksi miliknya; kita memahami ini sebagai upaya totalitas Derrida untuk menolak apapun warisan modern termasuk membedah istilah tersebut dalam kerangka filsafat ilmu (Epistemologi, aksiologi, ontologi maupun etimologi).

Akhirnya kita setuju untuk tidak membahas yang satu ini yaitu Habermas dan Derrida, meski yang pertama seringkali meminta penangguhan dalam kalimat yang amat panjang untuk menjelaskan mengapa menyebut ia filsuf tidak semudah mengatakannya demikian. Disisi lain, yang kedua lebih menunjukan daya tolak yang luar biasa pada siapapun yang menyebutnya “filsuf”, bernada penghinaan baginya, dalam cara-cara yang sudah umum dilakukan “filsuf postmo”. Sebaiknya kita tinggalkan sebutan yang terakhir ini, karena Derrida menolak pula disebut filsuf Postmodernism.

Buku ini memang telah menunjukan arahnya sejak awal tentang bagaimana cara filsafat memandang “terror”. Secara sederhana kita dapat melihat turunan yang cukup curam bagaimana perjalanan dari filsafat yang harus menukik dan mengerucut pada tema terkecil dalam wacana “terror”. Pertanyaannya, mengapa terror menjadi menarik dibahas oleh Habermas maupun Derrida? Jawaban singkat dari sang penulis mungkin cukup melegakan, “mereka merupakan suara paling akbar yang masih hidup”, cukup buruk untuk dikatakan memuaskan. Tapi itu bukan penjelasan keseluruhan.

Borradori, sang penulis buku ini memang secara langsung ingin mengetahui bagaimana pendapat seorang filsuf mengenai kejadian 11/9, yang disebut sebagai dimulainya “masa terror”. Buku ini memang dibuat tidak lama setelah peristiwa 11/9 terjadi. Saat gedung WTC (World Trade Center) luluh lantah, gedung kebanggan, simbol ekonomi kapitalisme paman Sam. Kemajuan peradaban, kemenangan kapitalisme, menangnya rasio, kalahnya Negara-Negara komunis—harus diralat hanya karena terror sekelompok kecil yang memiliki dampak luar biasa. Disiniah Borradi melihat, kedua filsuf tersebut harus berpendapat!  
Sebagai pengantar, sebuah narasi kecil mesti dituang disini. Peristiwa 11 september 2001 merupakan bentuk terror—secara resmi—diakui sebagai pihak yang bertanggung jawab, pemimpin organisasi Taliban; Osama Bin Laden. Amerika sebagai Negara dengan anggaran militer terbesar didunia, dijantung perekonomiannya, dipermalukan secara luar biasa. Rasa aman penduduk Negara tersebut terancam sampai pada titik terdalam. Dan secara kebetulan kedua filsuf tersebut memang berada di New York. Buku ini disusun dalam bentuk wawancara antara kedua filsuf tersebut, berikut beberapa kesan yang dikisahkan Borradori.

“Dialog dengan Habermas padat, sangat tersusun, rapih dan elegan dalam sifat tradisionalnya. Caranya menggunakan bahasa yang cenderung berdisiplin tinggi memberi kesempatan pada gagasannya untuk maju dari konsep ke konsep, dengan derap langkah mantap dan cerah, yang membuat filsafat klasik Jerman begitu berbeda secara khas dari yang lain. Kontras dengan itu, dialog dengan Derrida mengajak pembaca menempuh jalan yang lebih panjang dan berliku-liku yang secara tak terduga terbuka kearah vista luas dan jurang sempit yang beberapa di antaranya begitu dalam sehingga dasarnya tidak kelihatan.“
                           
Keterangan diatas menunjukan arah dialog yang terjadi dan dirasakan penulis; Borradori. Tetapi hal ini menjadi probematik; membahas kedua pemikiran pemikir tersebut tanpa menjelaskan jalur filsafat yang dipakai kedua orang tersebut hingga sampai wacana Teror. Sebuah pengantar dari halaman 3 sampai 34 telah menjawab kebutuhan tersebut, sedikitnya akan dipaparkan disini. Habermas dan Derrida secara jelas menguraikan resiko-resiko yang diakibatkan oleh pendekatan pragmatis yang dengan sengaja emoh menghadapi kompleksitas konseptual yang menggarisbawahi konsep terorisme. Borradori sudah menetapkan bahwa peristiwa 9/11 merupakan peristiwa sejarah. Hal ini yang mendorongnya untuk membahas terlebih dahulu hubungan filsafat dengan Sejarah. Dalam subjudulnya Borradori menyatakan; punyakah Filsafat sesuatu untuk dikatakan Sejarah?

Ia memulai uraiannya dari Aristoteles yang memulai lebarnya jarak antara Filsafat dan Sejarah. Arsitoteles merasa sejarah selalu gelap terhadap analisis filsafat. Tetapi sepeninggal Aristoteles, ketidakacuhan filsafat terhadap sejarah mendominasi tradisi Barat sampai pertengahan abad ke delapanbelas. Sampai akhirnya Kant-pun masih mengagumi semangat pencerahan yang memberi independensi diri dihadapan otoritas, termasuk otoritas masa lalu (baca: Sejarah). Hanya satu generasi dari kant, Hegel mempersempit jarak antara filsafat dan sejarah dengan pernyataan bahwa akal itu sendiri terikat kepada sejarah. Respon Hegel ini diteruskan oleh Marx dan Freud. Independensi diri ternyata menyediakan pilihan-pilihan konsep fiktif, karena tidak dapat menjawab mengapa pilihan-pilihan dibatasi oleh akses ekonomi, budaya, pendidikan, psikologis, religius, teknologis—bebas pilihan sepertinya tidak pernah ada. Oleh sebab itu, filsafat memiliki tanggung jawab dan menyumbangkan diskusi publik atas makna pada beberapa peristiwa sejarah—dalam hal ini 9/11.

Dalam tataran yang paling praktis, partisipasi kedua filsuf ini memang harus dibahas, sesuai dengan kategorisasi yang dibuat Borradori. Ia menyebutkan ada Dua Model partisipasi Publik: Aktivisme Politis dan Kritik Sosial. Aktivisme politis merupakan konsekwensi yang diambil oleh Bertrand Russell.1 Mode partisipasi politik yang kedua, diambil oleh Hannah Arendt. Sebagaimana dengan Arendt, dan tidak seperti Russell, mereka (Habermas dan Derrida) tidak memandang pada komitmen politis sebagai suatu imbuhan pada komitmen mereka pada filsafat, suatu opsi yang dapat diambil, ditunda, atau bahkan ditolak sama sekali. Keduanya telah menjumpai dan merangkul filsafat dalam konteks trauma-trauma sejarah Eropa di Abad kedua puluh; kolonialisme, totalitariansime dan pembantaian.

Ideologi eksplisit para teroris yang menyerang Twin Tower dan Pentagon pada 9/11 ialah penolakan jenis modernitas dan sekularisasi—yang didalam filsafat diasosiasikan dengan konsep pencerahan. Kemunculan penolakan terhadap modernitas—dalam hal ini filsafat menyebutnya pencerahan, memang terbentur pada satu wilayah yang disebut Toleransi. Derrida, memaknai bahwa toleransi telah di apropriasi oleh wacana biologi untuk menunjukan garis halus antara integrasi dan penolakan. Sebagaimana benar dengan transplantasi organ dan manajemen rasa sakit, ambang toleransi memandai toleransi sebagai batas ekstrim perjuangan organisme untuk mempertahankan diri dalam keseimbangan sebelum ambruk berantakan. Sebaliknya, tidak sesinis Derrida, Habermas mendukung toleransi baik front etika maupun pada front hokum. Keberatan Habermas atas Dekonstruksi Derrida termanifes dalam konsep Demokrasi partisipatoris yang fungsional.2

Memang, resensi ini tidak bermaksud untuk menguraikan secara lengkap bagaimana teror dan teroris, serta tema besar yang diangkat oleh kedua filsuf tersebut. Habermas menggarisbawahi bagaimana Fundamentalis merupakan akibat dari lemahnya komunikasi antara globalisasi dan kekuatan-kekuatan tradisional. Kemudian baru, Habermas merekonstruksi Terorisme. Sedangkan Derrida, seperti telah disebutkan diatas, mendekonstruksi Terorisme sebagai tahap Otoimunitas dari dampak yang dihasilkan Pencerahan.
Akhir kata, selamat membaca!


*Mantan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah UNJ




1 Hal ini menjadi pilihan tersendiri, pertama Bertran Russell merupakan filsuf yang mana ia aktivis politik juga. Ia tergabung dan menerjunkan diri pada gerakan-gerakan politik yang dipercayai dan difahaminya sebagai konsekwensi--harusnya filsuf mengambil peran dalam tatanan politik dunia. Ia pernah menjadi anggota kampanye Perlucutan Senjata Nuklir yang vokal, bertanggung jawab atas didirikannya Atlantic Peace Foundation, Bertrand Russell Peace Foundation, suara paling pantang atas Perang Vietnam. Kedua, Russell merupakan generasi yang melihat bagaimana pertumbuhan terror, terrorisme, fundamentalisme, otoriterianisme dan berbagai wacana yang lahir pada abad 20 sampai 21, dimana tema-tema tersebut terkait dengan tema yang dibahas dalam buku ini menyoal terror dalam lingkup sejarah.

2 Konsep ini maksudnya adalah bahwa toleransi bisa terjadi dengan semangat-semangat demokrasi. Dengan catatan bahwa komunikasi terjalin secara respirokal.

Tuesday 11 November 2014

Sebuah Riwayat Perjuangan

Oleh: Aswin Setiawan*

“Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya, hanya ide yang berakar kebumi yang mungkin tumbuh dengan baiknya” 
Soe Hok Gie

Di Bawah Lentera Merah
Soe Hok Gie
Bentang, 2005
xii + 110 halaman
Dibawah lentera merah, begitulah Soe Hok Gie menulis sebuah skripsi sebagai syarat untuk menempuh ujian sarjana muda di jurusan Sejarah, fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Berangkat dari ketertarikannya terhadap tokoh-tokoh Marxis yang menurut Gie memiliki watak yang unik. Disini Gie coba melihat perkembangan awal komunisme di Indonesia yang dalam hal ini Gie memulai dengan Sarekat Islam (SI) Semarang.

Permulaan abad ke-20 merupakan periode paling menarik dalam sejarah pergerakan Indonesia, karena diperiode itulah terjadi perubahan sosial yang besar karena faktor; pesatnya perkembngan pendidikan ala Barat, pertumbuhan penduduk yang cepat, dan munculnya kota-kota industri besar seperti Semarang, Surabaya, Batavia (Jakarta), dll. Masuknya pengaruh modern menyebabkan terjadinya benturan dengan nilai-nilai tradisional mereka, malah ada yang mulai melepaskannya walaupun pegangan yang baru belum ada. Sebagian dari mereka mencarinya dalam pemikiran-pemikiran Islam, sedangkan yang lainnya mencari dengan menggali kembali kebudayaan lama untuk disesuaikan dengan dunia mereka yang modern (akulturasi), kemudian yang lainya lagi mencari didalam pemikiran-pemikiran barat.

Dengan jubah modern, pada awal abad ke-20 banyak aliran yang bertentangan, kadang-kadang berbagai organisasi saling menjatuhkan. Jika kita membuka sedikit saja jubah modern itu kita akan melihat sesungguhnya makna daripada gerakan itu, mereka tidak lain merupakan kelanjutan bentuk dari kelompok-kelompok yang sudah ada dalam masyarakat tradisional. Gerakan sosialistik Sarekat Islam Semarang mereka samakan dengan gerakan saminis yang menghebat pada tahun 1917. Organisasi Sarekat Islam semarang merupakan gerakan yang tidak mungkin melepaskan dirinya dari zaman lampaunya. Ide tokoh-tokohnya mau tidak mau merupakan kelanjutan dengan gagasan yang hidup pada pra abad ke-20.

Dibawah lentera merah merupakan sebuah usaha untuk melihat salah satu bentuk pergerakan rakyat Indonesia pada awal abad ke-20. Sarekat Islam semarang merupakan organisasi yang paling agresif pada tahun 1917 dimana tendensi-tendensi solsialistik mulai jelas dan pada tahun 1920 mentransformasikan diri menjadi partai komunis Indonesia. Ketika Semaun mengambil alih pimpinan Sarekat Islam Semarang dari Moehammad Joesoef mulailah adanya perubahan orientasi gerakan SI Semarang.

Dibawah Semaoen, SI Semarang memiliki banyak pendukung dari kalangan Buruh dan rakyat kecil (petani). Di fase inilah kemudian lahir gerakan kaum marxis pertama di Indonesia. Proses perevolusioneran SI Semarang tidak saja dipengaruhi pergantian di tubuh SI Semarang tetapi juga disebabkan oleh keadaan masyarakat yang disebabkan oleh keadaan ekonomi dan intelektualnya. Mulai dari masalah agraria, reaksi terhadap pembentukan Volksraad dan indie weerbaar, wabah penyakit.

Gesekan-gesekan yang terjadi antara SI Semarang dengan CSI, yaitu antara kelompok Semaoen dengan kelompok Abdul Muis semakin mewarnai dinamika pergerakan Indonesia. Cokroaminoto yang tidak ingin terjadi perpecahan didalam Sarekat Islam mencoba mendamaikan dengan cara menarik persamaan antara Islam dan Sosialisme. Tetapi usaha ini sia-sia ketika CSI dikuasai oleh Abdul Muis, dengan menerapkan disiplin partai Muis melarang keorganisasian ganda dalam tubuh SI. Para anggota SI Semarang kebanyakan juga merupakan anggota ISDV, Muis tidak mau SI dijadikan kepanjangan tangan ISDV. ISDV merupakan organisasi yang dikendalikan oleh Sneevliet seorang tokoh sosialis Belanda yang dibuang ke Hindia Belanda akibat aktivitas politiknya. Ketika tiba di Surabaya lalu tak lama kemudian dipindahkan ke Semarang, dikota inilah Sneevliet menemukan Semaoen dan membuatnya menjadi soerang marxis.

Setelah semaoen menarik semua anggota SI Semarang dan merubahnya menjadi SI Merah sebagai tandingan SI Putih. semakin jelas warna marxis dalam tubuh organisasi ini. Kemudian ISDV pada bulan mei 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia dimana SI Merah ikut didalamnya. Aksi pemogokan oleh buruh yang diorganisir PKI dan mobilisasi massa menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda dengan melakukan pengawasan ketat melalui PID terhadap PKI. Petualangan PKI berakhir ketika organisasi ini melakukan perlawan pada 1926/1927 yang menyebabkan banyak pemimpinnya dibunuh dan dibuang ke Boven Digoel dan membuat gerakan komunis di Indonesia hancur sebelum bangkit kembali pada masa setelah Indonesia merdeka.

*Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNJ

Thursday 23 October 2014

Sektor Industri Pendidikan Area Suburnya Neolib dan Minggatnya Esensi

Oleh: Yudha Riadiansyah*

“bagi kaum tertindas dan yang ikut menderita serta berjuang di pihak mereka.” 
Paulo Freire


Dunia pendidikan kita (Indonesia) memang semerawut, bagai benang kusut. Kusut yang sulit di urai, karena sudah tidak dapat dicari lagi mana ujung pangkalnya. Mentri Pendidikan siapapun, dari zaman ke zaman nampaknya bingung harus mengurai permasalahan benang kusut pendidikan ini dari mana. Tantangan zaman memaksa kita harus menjawab semuanya, globalisasi bak sebuah jawaban akan tantangan yang dihadapi setiap negara dan berbuah neoliberalisme yang telah menjangkiti Indonesia. Tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan dengan strata tertingi, yaitu Universitas.

Pernahkah kita melihat bahwa suatu hal itu memang benar adanya, bagai angan menggembar- gemborkan kebebasan untuk menjadi manusia yang tidak terjajah dan kesetaraan dengan manusia yang beradab. Dengan ilmu dan pengetahuan harapan akan kebebasan dan kesetaraan bisa diwujudkan. Sama seperti dunia pendidikan saat ini yang kehilangan jati dirinya, yang tidak pernah menunjukkan tujuan sesunguhnya. Dengan tujuan ingin membentuk kesadaran dan kemerdekaan, tetapi yang diwujudkan hanya sebuah kebebasan dalam kekangan. Kebebasan berfikir yang ditawarkan dunia pendidikan secara rasional hanyalah gambaran semu dimana sistem yang berjalan hanyalah menawarakan pendidikan praktis.

Jika berkenan kita bernostalgia kebalakang di awal tahun 2000 an masih ingat dengan kebijakan privatisasi Pendidikan Tinggi (PT) beberapa tahun lalu yang berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan disusul dengan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Tak lupa untuk ranah publik yang lebih luas, Badan Layanan Umum (BLU) pun lahir dengan butir-butir pasal yang mengandung bahaya laten, kemudian ditambah anehnya lagi dengan di sahkannya RUU PT dengan kebijakannya melahirkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ini terlihat sebagai produk ‘arogansi kekuasaan’, keempatnya memberikan otonomi bagi Perguruan Tinggi untuk mengelola segala kepentingannya sendiri. Sayangnya, hal ini ditafsirkan lebih kepada otonomi untuk menghasilkan uang (keuangan). Kemandirian yang dicita-citakan pemerintah ini malah membelot menjadi ajang aktualisasi PT dalam mengelola dan mengatur siklus modal pendapatannya. Hingga tak heran jika ada mini market di dalam area kampus, atau tak sedikit pula universitas yang memiliki auditorium atau aula yang disewakan.

Alhasil PT harus mengelola keuangannya secara mandiri karena adanya pengurangan anggaran pendidikan dari pemerintah. Sehingga dampak langsungnya terhadap mahasiswa sangat terasa, yaitu diwajibkan membayar uang kuliah lebih mahal karena kampus tidak lagi mendapatkan biaya operasional dari pemerintah. Hanya masyarakat berduit saja yang berkesempatan besar memperoleh pendidikan, sedangkan masyarakat yang kurang mampu tidak bisa kuliah. Padahal masyarakat Indonesia notabene masih banyak yang berada di golongan menengah ke bawah. Akibatnya, masyarakat yang tidak mampu ini secara ekonomi akan memilih perguruan tinggi yang biaya kuliahnya relatif terjangkau.

Para pengamat pakar pendidikan yang kontra akan sistem pendidikan di atas memandang pandangan ini sebagai tindakan privatisasi, kapitalisasi dan komerialisasi perguruan tinggi. Ternyata para pengamat sekaligus praktisi telah menggunakan alat analisis atau paradigma yang salah dalam memandang masalah pendidikan. Sekiranya konsep-konsep privatisasi, kapitalisasi, komersialisasi, dan westernisasi yang banyak digunakan pengamat dalam menilai permasalahan pendidikan hari ini adalah konsep-konsep untuk menggambarkan fenomena kegiatan pembentukan dan penguasaan modal dalam ekonomi pasar. Kemudian yang lebih ironisnya lagi lemahnya kemampuan dalam bidang menejerial keuangan lembaga pendidikan, sehingga menimbulkan inefisien cukup besar, mentalitas korup serta hegemoni partai politik atau para penguasa dengan segala tujuannya.[1]

Kemudian tidak hanya itu, gelar pun bisa dijadikan sebagai komoditi (barang dagangan). Perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan program-program unggulan. Mulai dari akreditas yang menggiurkan sampai kerja sama dengan berbagai perusahaan, baik skala Nasional hingga Internasional. Tidak cukup dengan itu, perguruan tinggi juga berlomba mengemas dan menonjolkan program unggulan dengan sertifikasi Internasional. Sertifikasi Internasional dapat berupa pengakuan dari organisasi besar Internasional. Semisal, sertifikasi ISO 9001 ataupun pengakuan American Associaton of College and Schools of Business (AACSB).

Dr. Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Menejemen Perguruan Tinggi menyatakan bahwasannya ada sembilan variabel yang menjadi daya pikat atau daya saing sebuah kursi kemahasiswaan di perguruan tinggi.[2] Di antaranya adalah kursi yang murah dan mudah. Menurutnya, pasar intelektual relatif sama dengan pasar komoditi lainnya. Kursi popular dan nama beken harus dibayar dengan harga tinggi, tetapi sebaliknya sebagian besar kursi ditawarkan dengan harga murah dan cara yang mudah.

Ketidakmerataan akan pendidikan Indonesia saat ini mempertegas kenyataan bahwa tujuan dan tugas pendidikan nasional belumlah tercapai. Mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan hanya sekedar tujuan pendidikan melainkan sebagai cita-cita dan tujuan bangsa ini serta merupakan aset sebuah bangsa untuk kedepannya. Dan Pendidikan tinggi yang bermutu semestinya tidak memerlukan biaya yang mahal dan membebankan rakyat miskin yang ingin mengecam pendidikan lebih tinggi.

Perguruan Tinggi perlu di songkong oleh semua pihak, karena merupakan salah satu pusat budaya yang penting, di samping fungsinya mempersiapkan pemimpin negara di masa depan dari setiap bangsa. Seharusnya di kelola dengan prinsip-prinsip demokrasi, HAM, akuntabilitas, transparansi dan memberdayakan semua pihak di lingkungan PT serta mengacu terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk mempersiapkan manusia-manusia berkualitas itu. Kita masih punya waktu mengejar ketertinggalan, karena kita bukan hanya memiliki kemampuan, tetapi potensi-potensi manusia yang memang mempunyai kapasitas untuk maju. Penataan kembali prinsip-prinsip dasar pendidikan sudah waktunya dipikirkan kembali. Terlalu lama sudah perhatian kita tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis sehingga melupakan sesuatu yang fundamental dan berkaitan dengan masa depan bangsa ini.

*Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah angkatan 2011



[1] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan. LkiS 2005. Halaman 3
[2] Ndraha, Talizidudhu. 1988.Manajemen Pendidikan. Jakarta:Bina Aksara

Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan

Oleh: Yudha Riadiansyah*

Bagi kaum tertindas dan yang ikut menderita serta berjuang di pihak mereka.
Paulo Freire
            
Pendidikan 
Sebagai Praktek 
Pembebasan
Paulo Freire
Gramedia,1984
157 halaman
Buku ini merupakan bagian dari serangkaian upaya yang intensif dan terkoordinir untuk memahami dan menerapkan ideologi dan metode-metode Freire. Setiap studi penelitian ini selalu memperkuat upaya-upaya kelompok pendidik yang sedang berkembang untuk mengatasi sebuah penindasan terutama terfokus dalam aspek-aspek sosial.

Buku Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan ini lahir dari usaha-usaha kreatif Freire dalam pemberantasan buta huruf orang-orang dewasa di seluruh Brazilia sebelum kudeta 1 April 1964 dimana situasi politik, ekonomi sangat kacau pada saat itu, apalagi bicara hak-hak sebagai manusia. Kemudian Freire sangat menyesali dan menyatakan bahwa keadaan buta huruf tersebut pada dasarnya bersumber dari hasil perbuatan kultural kaum yang menindas mereka.

Pada waktu itu ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan, ini suatu pengalaman yang membentuk pola pikir serta keprihatinannya terhadap kaum miskin. Ketika perampasan hak dan harga diri masyarakat Brasilia khususnya di pedasaan, dari sini lah landasan freire melihat masyarakat dipedesaan yang tingkat kesadaran kritisnya sangat rendah menganggap kaum tertindas ini lah sebagai objek dan untuk kemudian di analisa lebih rinci dengan sebuah alat yaitu pendidikan sebagai praktek-praktek pembebasan.

Dalam buku ini Freire memandang filsafat sebagai landasan untuk berfikir secara sistemik memaknai kehidupan yang dia alami di negaranya. Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu, dan rakyat pedesaan harus patuh dan tunduk dibawah perintah kaum elite perkotaan. Ini menurut freire disebabkan oleh masifikasi golongan elite.

Maka konsep pendidikan Paulo Freire ini lebih menekankan pada pembentukan kesadaran kritis, mempersoalkan masalah pendidikan sebagai praktek pembebasan terutama dalam masyarakat peralihan. Masyarakat semacam ini pada mulanya merupakan masyarakat tertutup dengan pengalaman demokrasi yang miskin. Kemudian pendidikan menjadi faktor penting dalam usaha penyadaran situasi dan mencari jalan keluar, lalu menyoroti masalah pembangunan pedesaan dari segi penyadaran pendidikan. Dengan begitu pentingnya Ilmu dan pendidikan bagi kelangsungan hidup manusia, sebab dengan ilmu manusia mampu mencapai tujuan akhir dari kehidupan ini, yakni kebahagiaan dunia akherat.

Pesan penting yang ingin diangkat Freire dalam buku ini adalah praktik pendidikan merupakan bukti dari dimungkinkannya suatu dialog, dan bahwa para pendidik dapat belajar bersama-sama dengan mereka yang dididik. Buku pendidikan sebagai praktik pembebasan mencoba untuk memaparkan dua hal penting dalam upaya pembebasan dalam pendidikan, yaitu: bagaimana peran pendidikan sebagai suatu praktik pembebasan, dan menjelaskan tentang eksistensi dan komunikasi.


*Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah UNJ

Monday 21 April 2014

Tumpeng; 3 Tahun Komunitas (10.01.2015)

Harapan dan Do'a
Terpancar dari api kecil yang berasal dari lilin berangka 3 (tiga)
Api kecil adalah sebuah tanda
Persahabatan kecil-kecilan kita
yang berharap besar, membakar gelora
bukan asa
-Bp-

Para Peternak 2

Kiri ke Kanan
Bakti Paringgi, Aswin Setyawan, Yudha Riadiansyah

Saturday 19 April 2014

Kehendak Yang Mesti Diperbaiki


Oleh: Citra Nuraini*


Kehendak untuk memperbaiki mesti ditinjau ulang oleh para wali masyarakat.


The Will to Improve
Tania Murray Li
Hery Santoso dan Pujo Semedi 
(Penerjemah)
Marjin Kiri,2012
536 halaman
Masyarakat sebagai suatu entitas yang beragam, selalu dijadikan objek sasaran berbagai progam pembanguan dari berbagai tokoh yang beragam, dari tingkat lokal hingga internasional. Progam pembangunan ini selalu diproduksi dan tidak akan pernah usai,  sejak zaman kolonial  hingga kini. Tujuan berbagai progam pembangunan itu adalah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Namun, anehnya progam-progam pembangunan ini tidak mampu menuntaskan persoalan. Keberadaan progam-progam ini justru membawa masalah baru bagi masyarakat.

Disinilah buku The Will to Improve tulisan Tania Muray Li menjawab sengkarut persoalan yang lahir dari ‘kehendak untuk memperbaiki’ tersebut.  Kehendak untuk memperbaiki, dikonsepkan dan dilaksanakan oleh para aktor yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’. Para wali masyarakat adalah sebuah kedudukan yang dibangun berdasarkan klaim bahwa merekalah yang paling tahu tentang masyarakat karena mereka memiliki pengetahuan. Para wali masyarakat ini melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat setempat melalui gelanggang kekuasaan yang dinamakan Foucault dengan  ‘rasionalitas khas kepengaturan’, yaitu upaya merumuskan “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia” dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang spesifik” dan diraih melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal. 11). Kepengaturan bertindak secara persuasif. Kekuatan untuk mengarahkan orang bekerja dengan cara mengarahkan minat, membentuk kebiasaan, mendorong internalisasi nilai-nilai, merumuskan cita-cita dan kepercayaan bersama.

Dengan memanfaatkan fakta etnografis dan historis perubahan masyarakat di Poso, Tentena, Taman Nasional Lore Lindu di pegunungan Sulawesi Tengah sebagai fokus penelitian, Tania menjaskan secara kronologis perjalanan kehendak untuk memperbaiki. Disana, selama seabad terakhir berbagai progam beserta intervensi kepengaturan diciptakan.

Progam-progam pengaturan masyarakat, yang dilahirkan pemerintah kolonial hingga rezim neoliberal sering saling tumpang tindih. Hal ini terjadi kaena progam-progam tersebut memiliki persoalan mendasar dan mengidap keterbatasan. Inilah kritik yang ditegaskan Tania. Keterbatasan pertama, sedikitnya perhatian kepada rezim penguasa yang justru ditempatkan sebagai mitra pembangunan, seburuk apapun pemerintahannya. Keterbatasan kedua, nihilnya atensi terhadap relasi kekuasaan yang terselubung antara wali masyarakat dan masyarakat binaan. Masyarakat bukanlah bejana kosong yang dapat diisi apa saja, sedangkan para wali masyarakat pun bukan kaum yang bebas nilai dari kepentingan kelompok. Hubungan tersebut mempertegas batas diantara keduanya yang bersebrangan dan tak terjembatani. Bisa dikatakan, pemberdayaan masih merupakan sebuah hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, pendekatan ini mengesampingkan faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis mereka. Batas inilah dasar yang membuat progam perbaikan dari dulu hingga kini, bisa masuk akal dan berakar kuat, tetapi selalu bermasalah. (halaman 496)

Menariknya dalam buku ini, Tania tidak memberi satu kesimpulan tunggal tentang yang harus kita lakukan. Melalui penjelasannya yang disusun dengan deskripsi yang apik dan kaya data, dia hanya mengajak kita berpikir hingga ke akar permasalahan, berpikir lebih luas, dan berpikir agar usaha perbaikan dapat dikerjakan lebih manusiawi. Oleh karena itu, sudah selayaknya buku ini kita baca.

*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ. Mantan pegiat pers mahasiswa. 

Wednesday 9 April 2014

Lahir Dari Rahim Negara

Oleh: Citra Nuraini*

Kebangkitan Soeharto, kebangkitan kapitalisme Indonesia.


Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia
Richard Robison
Komunitas Bambu, 2012
432 halaman
Rezim Soeharto memang telah runtuh. Namun, perbincangan mengenai rezim ini tidaklah berhenti. Rezim ini selalu dibicarakan terkait pengaruhnya terhadap Indonesia. Salah satu perubahan yang paling menarik untuk diteliti ialah berkembangnya kapitalisme di Indonesia.

Richard Robison dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia menguraikan dengan baik evolusi negara-terkait pertumbuhan kelas kapitalis-zaman prakolonial, kolonial, orde lama, hingga orde baru. Penjelasan yang sistematis ini diperlukan untuk melihat sifat dari kapitalisme Indonesia. Jika kita melihat secara runut sejarah, sifat kapitalisme Indonesia sangat unik. Sejak awal kemunculannya, kelas kapitalis Indonesia sangat berbeda dengan Amerika dan Eropa. Kaum borjuis Indonesia tidak melakukan pertentangan terhadap kaum feodal. Dalam analisis Marx tentang sejarah perkembangan masyarakat, kelas borjuis ini mulai tumbuh di masa feodalisme. Kemudian mereka inilah yang melakukan revolusi, menengelamkan kekuasaan feodalisme yang dianggap menghambat gerak mereka.

Dalam buku ini, dijelaskan kerangka masyarakat nusantara prakolonial, tidak mengarah pada terbentuknya borjuasi pemilik tanah, borjuasi pertanian, dan borjuasi perdagangan. Bahkan hingga Belanda membawa sistem industrialisasi ke Hindia Belanda, sedikit sekali pribumi yang dapat berkembang menjadi kelas borjuis. Bahkan, Robison melihat kultur feodalisme menginternalisasi di setiap lapisan masyarakat. Salah satunya nilai-nilai patronase yang tertanam kuat hingga kini.

Selain itu, ada yang paling menarik dari buku ini. Robison akan membawa kita pada dinamika pembentukan kelas kapital domestik dan kapital milik negara. Pasca kemerdekaan, keduanya merupakan faktor penentu dalam membentuk sejarah kapital  Indonesia kontemporer.

Sejak 1949, ketika pemerintahan dijalankan dengan parlementer, negara berusaha menciptakan landasan pijak bagi akumulasi kapital para kapitalis. Kondisi yang diciptakan berupa pemberian pinjaman modal (pada realitasnya sering mengalami gagal bayar), menciptakan regulasi khusus, proteksi dan subsidi negara. Akhirnya, yang tumbuh dari sistem ini hanyalah kelas kapitalis kecil dan lemah.  Mereka bukanlah golongan yang menyandarkan pada individualitas dan kemandirian, sebagaimana nilai-nilai kapitalisme itu sendiri. Apalagi, kelas kapital swasta domestik tersebut mengandalkan hubungan spesial dengan partai-partai politik saat itu.

Kebijakan tersebut secara umum pun dianggap gagal. Struktur ekonomi tetap sama dengan masa kolonial lahir. Antitesisnya, membentuk kapitalisme negara. Inilah yang diterapkan demokrasi terpimpin, yang ternyata disokong dan digerakan oleh militer. Dengan kendali militer, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi dan dikendalikan militer. Hasil nasionaliasasi ini membentuk BUMN.

Kapitalisme asing baru bermain di Indonesia ketika Soeharto menaiki tampuk kekuasaan. Selain mengundang perusahaan swasta asing, pemerintahan Soeharto juga mengundang lembaga utang asing untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang sempat terpuruk di akhir demokrasi terpimpin. Kebijakan tersebut memicu peristiwa Malari, sebagai titik balik kebangkitan kapitalisme swasta domestik. Negara mengambil peran sebagai katalisator. Bisa dikatakan bahwa mereka lahir dari rahim negara. Setelah, kelas kapitalis ini dapat berlari kencang, mereka bertransformasi menjadi kelas terpenting dalam ekonomi politik Indonesia. Dampaknya, setiap kebijakan pembangunan wajib mempertimbangkan kepentingan mereka. Anehnya, sekalipun kelas kapitalis ini lahir dari rahim negara, negara tidak luput dari cengkramannya. Ibarat kacang lupa kulitnya.
Gilanya lagi, hubungan antara kaum birokrat negara dengan kapital swasta berkembang lebih intim dan rumit yang menjurus pada pembentukan basis sosial atas kekuasaan negara. Penguasa dan pengusaha menyatu melalui persetubuhan modal dan birokrasi Negara. Semuanya berujung pada kelahiran keluarga-keluarga politik birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Inilah perkembangan mendasar kelas kapital di Indonesia  yang berpusat pada elemen korporasi yang lebih besar dari pada kapital kecil yang semakin surut perannya.

Karena itulah, jangan heran jika kaum kapitalis tidak akan mengubah kultur feodalisme. Mereka tidak akan membawa perangkat institusi dan ideologi demokrasi liberal seperti masyarakat barat. Toh, mereka sudah dininabobokan negara. Sangat mungkin mereka mempertahankan apapun bentuk negaranya, yang penting akses  dan pengaruh pada kebijakan negara terjamin.

Edisi asli buku ini memang telah diterbitkan jauh sebelum kejatuhan Soeharto. Namun, bukan berarti buku ini tidak mampu memetakan ekonomi politik hari ini. Jika kita belajar dari sosio historis beberapa masa sebelumnya, bisa dilihat tidak banyak pola yang berubah dari ekonomi politik Indonesia. Polanya tetap mengarah pada patronase, terutama perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Bahkan kini sistem mengharuskan si penguasa adalah pengusaha. Minimal disokong pengusaha. Banyaknya partai-partai politik bukan berarti menandakan domokrasi politik. Demokrasi simbolis macam pemilu langsung ya, tapi tidak untuk demokrasi politik esensial.

Lalu bagaimana dengan kelas kapitalis Indonesia? Sejak reformasi terbuka, kelas kapital yang tadinya didominasi kroni-kroni Soeharto, kini lebih terbuka aksesnya. Bahkan untuk kapital asing. Terlebih dengan adanya perdagangan bebas. Masuknya kapital asing seolah ingin mengubur kapital swasta domestik. Jelas mereka lebih resistan. Jika pemerintah tidak memberikan proteksi sewajarnya, terutama pada kelas kapital kecil, maka jangan berharap progam-progam UMKM akan berhasil maksimal. Pendidikan enterpreneur yang tadinya bertujuan menumbuhkan kelas kapital domestik baru pun hanya sebuah utopia.Perselingkuhan penguasa dan pengusaha memang harus dilawan, tapi bukan meniadakan proteksi kelas kapital domestik.

Oleh karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca, seberapapun terlambatnya edisi Indonesia ini. Terlebih karena buku ini bukan hanya kaya data empiris, tapi juga menyumbang pemikiran teoritis. Jadi, selamat membaca!





*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ