Wednesday 1 February 2012

Kuasa Atas Mode: Praktik Kekuasaan Terhadap Anak Muda

Oleh: Kenang Kelana

Ada razia rambut nanti sehabis istirahat sekolah. Cabut aja yuks, grepes rambut lo nanti loch... 
(Obrolan anak muda SMA di Sekolah dengan temannya)

Dilarang Gondrong
Aria Wiratma Yudhistira 
Marjin Kiri, 2010 
xxii +161 halaman
Masih ingat dengan penangkapan puluhan anak Punk di Aceh beberapa minggu lalu? Ingat dengan Petrus (Penembakan Misterius) di tahun 80an? Dan di awal tahun 70-an dengan fenomena razia rambut gondrong di gang-gang sempit bahkan di institusi-institusi resmi model kantor Pemda dll. Apa sebenarnya yang melatari kelompok kelompok muda ini sangat dipantau aktivitasnya sampai ke urusan yang paling remeh-temeh seperti rambut gondrong, badan bertato, celana sobek dll.

Semenjak jatuhnya Soekarno dan berdirinya bendera “kuning” dan sepatu laras militer ala Soeharto, Indonesia berada dalam panggung politik kekeluargaan. Sebuah keluarga yang diklaim sudah dibangun dengan demokratisasi.              

Konsep kekeluargaan ala Jawa yang digunakan oleh Soeharto dan barisan jendralnya telah membuat kita menjadi lebih erat dan dekat. Sehingga tidak heran ketika kita mengenal istilah “bapak”-“anak”-“keluarga”, tidak lain yang dimaksud dengan “bapak” adalah Soeharto itu sendiri yang pada saat itu adalah orang nomor satu di Indonesia.


Alangkah menyenangkannya konsep yang ditawarkan oleh bapak kita satu ini tentang konsep kekeluargaan sebagai inti sari dari pada kita punya ideologi; Pancasila. Namun di balik kekuatan positif yang ditawarkan itu sesungguhnya kita harus melihat kemudian apa yang dimainkan oleh Soeharto sebagai bapak terhadap keluarganya sendiri terutama sang “anak”.


“Anak” yang dimaksud adalah anak-anak muda. Mereka dengan sepak terjangnya dalam membangun orde yang baru ini tidak kalah hebatnya dengan militer. Kita bisa membaca sejarah bagaimana bulan madu kekuatan sipil dengan militer dalam menghancurkan PKI dan barisan pendukung Soekarno sampai pada akhirnya Soekarno sendiri yang menjadi target selanjutnya untuk disingkirkan dalam panggung politik Indonesia. Kemudian Ben Anderson dalam bukunya memberikan paparan teori dan kenyataan bahwa Pemuda adalah mereka yang merasa siap diri terjun dalam suatu pergerakan.


Jadi kita bisa melihat situasi pemuda pada saat itu—era 1970an—yang sekiranya masih segar dalam ingatan bahwa mereka juga yang melahirkan orde yang baru ini di bawah kekuasaan militer Soeharto sangat peduli terhadap gambaran yang mereka inginkan tentang Indonesia dibawah coretan senjata Soeharto.
Dimulai dari pembantaian berjuta-juta rakyat Indonesia yang tidak bersalah, pembangun Taman Mini Indonesia Indah, korupsi yang belum tuntas dan masalah-masalah kebebasan berekspresi mereka termaksud turun kejalan melakukan aksi protes yang sudah mulai dilarang.

Disamping itu Suharto sebagai bapak juga mulai mereduksi penggunaan istilah Pemuda (politis) dengan istilah “Remaja”. Sesuatu yang mengambarkan bahwa kegiatan politik itu sudah tidak harus di kerjakan lagi oleh kalian–Pemuda, sebab semua sudah baru, semua sudah ada yang mengatur, aman dan semua itu terangkum dalam satu kata yang sangat kental berbau rezim ini dengan sebutan Stabilitas.

Sang Bapak menegur Anak

Dengan menggunakan konsep keluarga-jawanya Suharto beserta aparatus kekuasaan nya—militer—memaksa hampir semua anak muda yang berpenampilan tidak rapih! Untuk merubah semua penampilannya agar “normal” kembali sesuai dengan kebudayaan kita Indonesia. Di dalam buku Aria W.Y; Dilarang Gondrong ini, kemunculan anak-anak muda yang berpenampilan serampangan seperti rambut gondrong, celana cut bray, celana kerucut sobek-sobek tidak bisa dilepaskan dengan situasi dunia internasional.

Maraknya penolakan terhadap perang dan kekacauan dunia yang diakibatkan oleh perang, membuat kelompok muda Amerika - London terutama anak band membangun budaya tanding sebagai bentuk protes mereka terhadap pemerintahannya yang begitu kental dengan irama kekacauan atau perang.

The Beatles dengan John Lennon-nya menjadi mode pada saat itu dengan penampilannya yang bebas, berambut gondrong, merokok dll yang dilakukannya sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan. Perilaku ini mulai dicontoh oleh para pemuda Indonesia yang pada saat itu statusnya sebagai “mahasiswa”. Selain itu kelompok muda lainya juga beramai ramai mengcopy-paste gaya ala John Lennon tanpa pernah tau apa alasan Lennon melakukan itu.


Sampai pada akhirnya tanggal 1 Oktober 1973 di stasiun TVRI Pangkopkamtib Sumitro memberikan pernyataan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi acuh tak acuh. Ini sangat menarik, orang sekaliber Pangkopkamtib yang menjadi penjagal kader kader tangguh PKI hari ini harus berurusan dengan hal seremeh temeh ini—rambut gondrong.


Mereka yang tidak bisa diatur dianggap sebagai PKI atau kriminal. Sebuah frase yang mencoba menggambarkan komunisme sebagai sesuatu yang kejam-jahat-kriminal, bahkan penulis besar sekaliber Taufiq Ismail menyandingkan komunisme dengan NARKOBA!

Tentu pembaca akan menalarkan ini semua sebagai bentuk proteksi diri Negara (Soeharto) atas ancaman gerakan anak anak muda yang menentang kekuasaannya. Karena peredaran mereka rambut gondrong dan celan sobek rata-rata adalah aktifis mahasiswa dan para seniman seniman yang tidak mau dibatasi aktifitasnya termaksu di dalamnya protes.

Maka akan menjadi unik ketika hari ini kita melihat banyak orang beramai ramai menghakimi mereka yang berpenampilan “urakan” (rambut gondrong-celana sobek) sebagai sesuatu yang kriminal, tidak bisa diatur. Karena memang ingatan kita terbentuk sebagai mana Suharto membangun mental kita sampai seperti hari ini.

No comments: