Monday 2 November 2015

Meneropong Imajinasi Antikolonial

Oleh Iman Zanatul Haeri

Membaca karya Anderson, kita tidak dapat mereduksinya menjadi satu tema pusat dan memahami struktur narasinya sebagai narasi tunggal. Terlebih bahwa judul buku ini sudah menyiratkan hal tersebut. Bagi para pembaca awam, tentu akan kesulitan memahami perubahan politik di tiga negara tersebut pada akhir abad ke 19; Spanyol sebagai simbol kekuatan kolonial tertua yang tengah sakit keras, Cuba dan Filiphina sebagai wilayah koloni terakhir Spanyol yang sedang dirundung pergolakan politik yang disebabkan oleh trend politik saat itu: Anarkisme; Nihilisme; gerakan Demokrasi yang terlambat; Marxisme; Komunisme dan Nasionalisme yang selalu berkawin silang satu dengan lainnya.
Di Bawah Tiga Bendera
Anarkisme Global dan
Imajinasi Antikolonial
Benedict Anderson
Marjin Kiri, 2015
378 halaman

Telaah lebih lanjut dari fokus kajian ini ternyata lebih luas dari yang kita kira. Situasi politik Spanyol; Filiphina dan Cuba dipengaruhi oleh situasi Politik di Perancis, Jerman, Jepang, Russia, yang terakhir Amerika Serikat. Semua itu dihubungkan oleh Anarkisme dan sikap anti-kolonial yang melewati batas-batas benua. Bahwa para tokoh Anarkis dan tokoh kemerdekaan daerah kolonial berjejaring dan membangun relasi komunikasi interpersonal di Negara-Negara tersebut. Lebih menarik juga, bahwa beberapa pelaku anarkisme dan penyebaran ide anti-kolonial dibahas secara rinci, memungkinkan kita untuk memahami lebih lanjut pilihan-pilihan politik, persinggahan ke berbagai negara dari beberapa situasi yang sifatnya pribadi dan ditentukan oleh perasaan-perasaan yang manusiawi.
Tema besar Antikolonial diawali dengan kisah perjalanan hidup bapak bangsa Filiphina, Jose Rizal. Memang pembahasan mengenai kehidupan, pemikiran, hubungannya dengan tokoh pribumi Filiphina sendiri[1] dan terutama novelnya yang memiliki pengaruh sangat besar Noli Me Tangere (Jangan Sentuh aku) dan El Filibusterismo (Subversif). Bukan kebetulan bahwa pada pertengahan abad ke-19, produksi novel-novel besar sebagai “Republik Global Kesusastraan” mulai meluas ke seluruh dunia. Dari Moby Dick karya Melville (1819), Max Havelaar karya E. D. Dekker dari Belanda (1860)[2], Karya Leo Tolstoi dari Russia (1828), novel karya Tagore dari Bengali (1861) hingga Natsumi Soseki dari Jepang (1867).[3] Tetapi, diawal penjelasan mengenai kehidupan Rizal, Ben Anderson mencoba melihat rekan sebangsa Rizal yang sesungguhnya memiliki kemampuan yang justeru melebihi Rizal dari segi kualitas. Orang itu adalah Isabelo de los Reyes.
Isabelo merupakan seorang antropolog pertama asal Filiphina yang mengusung Folklore. Baginya Folklore merupakan Ilmu baru. Folklore artinya “Kearifan lokal.” Memang kemunculan bidang kajian ini termasuk baru juga ditanah kelahirannya; Eropa. Menarik bahwa folklore sudah menjadi kajian di Inggris, lalu Perancis kemudian Filiphina! Dan spanyol, seperti biasa ketinggalan secara intelektual.[4]
Pertanyaannya sederhana, mengapa Folklore? Apakah tidak ada kajian lain yang bisa membangkitkan semangat juang nasionalisme? Hal ini terjawab dengan kondisi bahwa tidak ada yang tersisa bagi rakyat Filiphina sebelum Kolonialisasi—tidak ada sejarah yang tersisa.[5] Sudah disebutkan bahwa Islam dan Budhisme hanya memiliki pengaruh yang tipis terhadap rakyat Filiphina, maka wajar bila upaya kristenisasi masuk tanpa hambatan berarti. Dari sudut pandang ini, folklore dapat menggantikan kemegahan masa lalu.
Sikap Antikolonial Rizal satu paket dengan anti-katolik, sebab sampai dititik akhir, Vatikan selalu menunjukan sebagai pendukung politik kolonial Spanyol, ditambah dengan prilaku tidak adil pihak katolik Filiphina dengan penyerobotan tanah keluarga Rizal sebagai respon atas kritik rizal terhadap Katolik dalam novelnya, serta beberapa insiden tidak dibolehkannya Rizal menikah secara katolik.
Tetapi kemalangan penulis satu ini tidak hanya itu, rencana Rizal untuk hidup damai di sebuah wilayah di pulau Kalimantan gagal, nama besarnya malah merugikannya,[6] prilaku santunnya[7] yang tidak mengubah keputusan penangkapan atas dirinya; sampai eksekusi,[8] dan berkali-kali berusaha menunjukan ketidak terlibatannya atas perlawanan terhadap penguasa kolonial melalui surat-suratnya[9] terhadap Fernando Blumentritt yang sangat mengharukan.

     “saudaraku tercinta, Saat Engkau menerima Surat ini, aku sudah tidak ada. Esok pada           pukul 7, aku akan ditembak; namun aku tidak bersalah atas tuduhan melakukan                   pemberontakan.”

Ditengah penyangkalannya atas tuduhan-tuduhan tersebut, novelnya mampu menyajikan imajinasi Nasionalisme Filiphina yang menjadi motor pemberontakan Katipunan.[10] Ben, membuktikan berkali-kali bahwa pengaruh besar Rizal bukan berasal dari kehidupan pribadinya, namun dari pengaruh daya imajinasi yang dihasilkan oleh novelnya, sangat berbahaya dilihat dari kondisi politik saat itu. Meskipun itu hanya khayalan tentang masa depan Filiphina sekalipun. Disisi lain, anarkisme sedang tumbuh sebagai perpecahan dari perkumpulan Komunis internasional.[11] Berbagai upaya pemberontakan dan aksi anarkisme atau Bendera Hitam[12] untuk menjatuhkan kekuatan kolonial ini tidak hanya di Spanyol, tapi Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Italia, Serbia[13] dan pembunuhan beruntun di Russia oleh kaum Nihilis.[14]
Seperti Sergei Nechayev hingga Vera Zasuclich. Yang terakhir ini adalah seorang yang pertama kali menerjemahkan karya Marx ke bahasa Russia. Pembunuhan tokoh politik yang paling gencar tersebut dibantu dengan ditemukannya Dinamit oleh Alfred Nobel.[15] Teror pembunuhan dimana-mana. Melaui tiga cara; Tikam, tembak dan ledak.[16] Disisi lain kekuatan Nasionalisme secara global mencapai Cina dan Jepang sebagai tempat pengasingan yang nyaman.
Lalu bagaimana peristiwa di Cuba, dan peran Tarrida yang cukup sentral melalui artikel-artikelnya yang sangat tajam mengenai kemerdekaan Cuba, Puerto Rico dan serangannya atas keberadaan Montjuich; sebuah penjara yang paling kejam di Spanyol, justru semua orang mengetahuinya melalui tulisan Tarrida.[17]
Situasi yang kompleks tersebut;  Anarkisme sebagai kekuatan baru yang menakutkan kekuasaan kolonial, serta kekuatan anti-kolonial yang imajinasinya mampu melewati batas-batas bahasa dan geografi diartikan sebagai kekuatan zaman globalisasi pertama yang meletus pada akhir abad ke-19.  Narasi ini kemudian dirangkai dengan kisah-kisah unik yang tidak mampu dijelaskan oleh kajian satu dimensi keilmuan. Disinilah akhirnya Ben Anderson disebut sebagai Astronomi Politik. Meneropong sejarah layaknya cahaya bintang melalui kegelapan dan Imajinasi. Cukup mengejutkan, bahwa untuk memahami babakan baru Globalisasi pertama ini, Ben Anderson mengutip istilah yang hanya ditemukan di Indonesia, yang ditulis Oleh Sutan Sjahrir. Ketika itu Sjahrir mencoba untuk menggambarkan kondisi saudara sebangsanya pada perjuangan kemerdekaan tahun 1945 dengan istilah “Gelisah”. Suatu kata yang sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Inggris, yang makna semantiknya meliputi Anxious (cemas), trembling (gemetar), unmoored (tanpa pegangan), expectant (menanti-nanti).[18]
Jung Coffee, Rawamangun 28 Oktober 2015



[1] Mengenai hal ini, Ben Anderson membuat sub judul tersendiri sebagai “Keretakan dalam kelompok Nasionalis Imigran”. Narasi ini dimulai dengan terbitnya La Solidaridad oleh sekelompok Filiphina di Barcelona. Penerbitan ini berbarengan dengan beberapa jurnal marxist dan anarkis. Lihat, 146. Disinilah interaksi pertama Rizal dengan Del Pilar yang memiliki cita-cita kemerdekaan yang jelas, tetapi mendukung program Asimilasi Spanyol-Filiphina melalui kalangan politik Liberal di Madrid.
[2] Rizal mengakui sendiri dirinya banyak terpengaruh oleh novel Multatuli (Max Havelaar) Atau bila Max Havelaar adalah novel anticolonial pertama yang ditulis oleh orang Eropa sendiri, maka El Filibusterismo merupakan novel anticolonial yang pertama ditulis oleh pribumi/terjajah!, lihat, hlm.71
[3] Hlm.43
[4] Hlm.4
[5] Baik Isabelo dan Rizal tidak mampu menemukan, dengan perasaan menyerah, data historis bahwa Filiphina memiliki kebanggaan masa lalu yang patut diperjuangkan sebagai orientasi kemerdekaan. Lihat, Hlm 37. Untuk komparasi, bisa dibandingkan dengan Sejarah Kemerdekaan Indonesia. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia dapat menemukan berbagai kemegahan masa lalu dari |Era Kemaritiman, kesultanan-kesultanan Besar hingga kerajaan-kerajaan besar era Hindhu-Budha seperti Sriwijaya atau Majapahit.
[6] “Bangsaku: sepulang dari Spanyol aku tahu bahwa namaku telah dipakai sebagai pekik perang dikalangan tertentu yang mengangkat senjata…” lanjutannya bisa dibaca, lihat hlm. 249-150.
[7] Tidak pernah terlibat dalam berbagai kegiatan subversive dan anarkis, membangun komunikasi yang intens dengan penguasa colonial, tidak menghentikan penguasa Kolonial Spanyol memukul rata dengan pelaku yang jelas-jelas melakukan tindakan tersebut. Atau lihat pengakuan Blanco, seorang kapten-jendral yang mengirimkan surat ke Madrid untuk membuktikan Rizal tidak terlibat pemberontakan. Lihat hlm. 243
[8] Memang semua pihak menyadari bahwa pihak kolonial terlalu terburu-buru mengeksekusi Rizal tanpa alasan hukum yang kuat, akan tetapi dilihat dari sikap kolonial, maka pengaruh Rizal terhadap setiap pemberontakan di Filiphina lah yang terlalu kuat, meski berkali-kali Rizal menyanggahnya. Rizal dieksekusi pada 30 Desember 1896, pada subuh, dieksekusi ditembak dari arah belakang oleh regu tembak. Adegan ini dijadikan monument oleh rakyat Filiphina, lihat hlm.252.
[9] Surat-surat yang mencapai 70 halaman ini surat yang sangat tebal yang pernah dibuat seorang Asia Modern dimasanya.
[10] Kelompok pemberontakan terbesar Filiphina akhir abad ke-19. Didirikan oleh Andres Bonifacio, tetapi ia di dihukum mati justru oleh tuduhan berhianat pada revolusi yang ia sulut sendiri. Ia dieksekusi oleh pihak Emilio Aguinaldo seorang walikota ambisius. Hlm.279-280
[11] Pada Umumnya kita ketahui bahwa Perpecahan ini diawali oleh perdebatan Marx dan Bakunin dalam melihat Negara di kongres Komintern, Lihat, hlm. 108-109
[12] Sub judul ini khusus menceritakan bagaimana kaum Nihilis Russia dan kaum Anarkis bercampuraduk untuk melaksanakan gerakan-gerakan terror pembunuhan politik yang disebut oleh ben Anderson sebagai Le Drapeau Noir (Bendera Hitam), lihat hlm.106-122
[13] Table pembunuhan politik selama 20 tahun sebelum Perang Dunia I, lihat hlm.114
[14] Pembunuhan terhadap Pangeran, Gubernur, Gubernur Militer St. Petersburg, kepala Polisi Rahasia, percobaan pembunuhan Tsar dan banyak lagi, lihat hl. 107-108.
[15] Lihat, 106
[16] Lihat gambar titik-titik pembunuhan global dalam peta hlm.118
[17] Tadinya merupakan seorang Liberalis yang semakin kiri dalam beberapa tahap. Lihat hlm. 258-261
[18] Lihat, hlm.188