Friday 6 February 2015

Asa yang Terbelenggu Tradisi Feodalisme[1]

Oleh: Hafidh Ayatilah A[2] 

"Sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan. Maka, hanya dengan mengarang lah Kartini bisa menunjukkan kekuatannya.”
-Pramoedya Ananta Toer-      

Panggil Aku Kartini SajaPramoedya Ananta ToerLentera Dipatara , 2006301 halaman
Latar belakang dari novel ini merupakan suatu biografi kartini, yang menjelaskan garis leluhur keturunannya, kelahiran seorang “Kartini”, pendidikannya, sampai dengan perjuangan-perjuangan dan karya-karyanya. Narasi yang menggambarkan Kartini mengalami konflik kekeluargaan, dimana ia harus memilih antara ayah atau ibunya. ‘Kecintaannya’  lebih besar ditaruh pada sang ayahanda sehingga apapun ia lakukan demi membuat ayahnya senang, dengan membuat lukisan-lukisan sampai menulis sebuah karya sastra. Novel ini juga mengandung ide-ide dari seorang Kartini dalam perjuangannya yang membela kaum wanita dari kekalnya tradisi feodalisme yang memandang rendah kaum wanita. Belum lagi para wanita yang berasal dari rakyat jelata. Beruntungnya Kartini terlahir sebagai anak keturunan priyayi.
Secara gamblang dalam novel Pram ini, mengurai persoalan stratifikasi sosial yang sangat mencolok akibat adanya feodalisme. Pram yang menulis novel ini pada masa Demokrasi Terpimpin atau pada era Soekarno, dimana pada masa ini ada niatan untuk menghapuskan mental feodalisme dan dekolonisasi dalam masyarakat. Sehingga untuk itu Pram mengharapkan hadirnya gagasan tersebut disambut dengan tumbuhnya sifat nasionalisme pada masyarakat.
Saya akan sedikit mengulas ulang tentang isi dari Novel ini. Pemberontakan Diponegoro yang berhasil dipatahkan belanda, mengakibatkan banyak nyawa yang melayang serta banyaknya harta benda yang terkuras dari kedua belah pihak. Tak ayal perang ini adalah perang termahal dalam catatan sejarah penjajahan Belanda, hal inipun menyebabkan nilai uang jatuh yang disebabkan karena kebangkrutan De Javasche Bank yang waktu itu baru didirikan. Situasi ini membuat Belanda menghadirkan sosok Johanes Van Den Bosch pada tahun 1830. Van Den Bosch yang merupakam pensiunan Komisaris Jendral Hindia Barat, menawarkan kepada raja Willem rencana Cultuurstelsel.
Pada konsep yang ditawarkan itu, tidak terlihat kekejian yang Van Den Bosch rencanakan tetapi saat ia datang ke tanah Jawa semua berubah sangat drastis. Ia mulai lebih keras menghisap kekayaan bumi dan tenaga manusia Pribumi dan menyebabkan surutnya harga dari manusia Pribumi. Menurut rencananya, penduduk bila menghendaki, boleh menanami seperlima dari tanahnya dengan tanaman- tanaman yang dikehendaki oleh Gubernemen yaitu nila, gula, kopi dan tembakau yang hasilnya dapat diserahkan kepada pemerintahan dengan “harga pasar”, dan dengan itu tanah mereka bebas dari pajak bumi, pada prakteknya dibeberapa tempat tetap ada oknum yang mengambil paksa pajak bumi tersebut.
Semua perlakuan tanam paksa itu terus berlangsung hingga saaat Golongan liberal mulai mendesak akan penghapusan tanam paksa tersebut. Mereka itulah, Multatuli dengan karyanya Max Havelaar, E.S.W. Roorda van Eisinga alias Sentot dan juga yang tidak kalah penting yaitu Dr. Ds. Baron van Hoevell yang meskipun berpihak kepada tanam paksa tetapi di kalangan pendidikan ia merupakan pelopor golongan liberal. Untuk pertama kali dalam sejarah penjajahan di Indonesia orang mempergunakan kata “modern”. Faktanya penjajahan pada waktu itu mulai menjadi intensif, menjadi modern, karena perkembangan negara induk penjajah sendiri.
Kaum liberalis ini adalah orang yang mulai melepaskan diri dari cengkraman feodalisme, menjadi dirinya, yaitu demokrasi. Golongan ini menghendaki kelonggaran-kelonggaran dari cengkraman feodal, birokrasi dan diktator hierarki kepegawaian. Akibat adanya golongan ini banyak terjadi perubahan dari pemerintahan Hindia Belanda, tanam paksa yang semula di tekan lambat laun dilepas terkecuali bagi tebu dan kopi. Multatuli yang melawan tanam paksa menjadi penganjur “kerja merdeka”, dengan itu maka petani-petani menjadi terlantung-lantung dan dengan demikian munculah kelas proletar untuk pertama kali di Indonesia, dan salah seorang proletar adalah Madirono, mandor pabrik gula, bapak Ngasirah, Kakek Kartini. Demam kapitalisme merambah luas, dengan ditemukannya mesin-mesin, dibangunnya pelabuhan samudra yang berlangsung sekitar tahun 1877 semua menjadi sangat mudah. Tetapi tetap saja semua itu tidak mengubah sedikitpun kondisi masyarakat miskin di Jawa.
Pada saat kelaparan melanda Demak dan Grobogan diangkatlah seorang Bupati yaitu Ario Tjondronegoro. Dimana sebelumnya Ario Tjondronegoro adalah Bupati di Kudus residensi Jepara, setelah ia diangkat menjadi bupati pada 1850, tidak dikabarkan lagi adanya kelaparan yang melanda daerah tersebut. Bagaimana tanggapan ia tentang tanam paksa tidak jelas, tetapi yang pasti ia sangat iba melihat rakyatnya menderita dan kelaparan. Apa daya, ia hanya seorang Bupati, tetapi ia adalah seorang Pribumi yang bisa dikatakan berfikir jauh tentang semua kolonialisme dan perang-perang pemberontakan yang sudah terjadi sebelumnya. Dalam usaha membela rakyatnya ia hanya bisa mengirimkan nota kepada pemerintahan Hindia Belanda pusat, isi dari laporan itu adalah laporan-laporan dan keluhan. Karena notanya itu pula setelah 2 tahun ia menjabat ia mendapat gelar “Pangeran” dari Hindia Belanda karena jasa jasanya dalam memakmurkan daerahnya.
Melalui cara berfikirnya Ario Tjondronegoro pun dapat melihat perbedaan antara penjajah dan yang dijajah yang secara garis besar adalah dari faktor kemajuan, semangat modern dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu ia mulai membekali anak-anaknya dengan pengetahuan bahasa Belanda, karena pada waktu itu pengetahuan tentang bahasa bisa dibilang nol. Hanya ada beberapa Bupati yang menguasa baca dan tulis bahasa Belanda yang antara lain yaitu paman Kartini Pangeran Ario Hadiningrat, ayah Kartini R.M.A Ario Sosroningrat dan sisanya Bupati Cirebon yang sedikit mendapatkan didikan.
Keluarga Kartini bisa dibilang keluarga yang terdidik karena sempat mendapat ilmu dari guru rumahan dari Belanda. Kartini adalah sosok orang yang sangat menghargai leluhurnya dengan cara mengingat dan menceritakan asal muasal leluhurnya dan tak kalah penting hubungan Kartini dengan leluhurnya pun diwarisinya dengan ciri fisik yang ada di tubuhnya baik itu dari ayahnya, ibunya maupun dari kakeknya. Masa Kartini kecil tidak dapat diketahui secara keseluruhan baik itu tempat kelahirannya maupun siapa yang mengasuhnya selama ia masih balita, tetapi banyak hipotesis yang diajukan yaitu bahwa ia diasuh oleh ibunya, diasuh oleh seorang emban, bahkan dugaan ia diasuh oleh ibu tirinya. Tetapi apapun hasil dan dugaan itu yang pasti ada semacam konflik dalam keluarga Kartni, karena dalam surat-surat yang ditujukan kepada Estella Zeehandelaar isinya dapat digambarkan seseorang yang sedang mengalami konflik jiwa yang sangat luar biasa. Sekiranya seperti itulah sedikit penjabaran dari isi novel ini.
Tanggapan saya tentang novel ini cukup sederhana, novel karangan Pramoedya Ananta Toer ini cukup memberikan informasi dan narasi umum yang berguna sekali terhadap materi untuk pembelajaran sejarah, disamping penjelasan yang sangat rinci dari isi ataupun biografi seorang Kartini. Dalam penulisan buku ini, penulis menggunakan bahasa yang cukup mudah dicerna oleh kalangan mana saja karena bahasa yang digunakan adalah bahasa pergaulan atau yang sehari hari digunakan oleh orang banyak. Novel ini sangat berhasil menyajikan alur cerita yang menarik bagi para pembacanya. Melalui bahasa yang populer dan nilai-nilai humanisme yang  membuat pembaca secara tidak sadar sedang mempelajari sejarah pada setiap narasi novel ini, karena Pram menyelipkan unsur pengetahuan dengan menonjolkan daya tarik dari alurnya.



[1] Resensi ini juga merupakan salah satu syarat memenuhi tugas mata kuliah dasar-dasar filsafat yang diampu oleh Dra. Budiarti, M.Pd. (Naskah ini sudah mengalami proses editing)
[2] Mahasiswa Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta tahun masuk 2014. Mengambil konsentrasi pendidikan sejarah, NIM. 4415140886, Line: linkenspr