Monday 21 April 2014

Tumpeng; 3 Tahun Komunitas (10.01.2015)

Harapan dan Do'a
Terpancar dari api kecil yang berasal dari lilin berangka 3 (tiga)
Api kecil adalah sebuah tanda
Persahabatan kecil-kecilan kita
yang berharap besar, membakar gelora
bukan asa
-Bp-

Para Peternak 2

Kiri ke Kanan
Bakti Paringgi, Aswin Setyawan, Yudha Riadiansyah

Saturday 19 April 2014

Kehendak Yang Mesti Diperbaiki


Oleh: Citra Nuraini*


Kehendak untuk memperbaiki mesti ditinjau ulang oleh para wali masyarakat.


The Will to Improve
Tania Murray Li
Hery Santoso dan Pujo Semedi 
(Penerjemah)
Marjin Kiri,2012
536 halaman
Masyarakat sebagai suatu entitas yang beragam, selalu dijadikan objek sasaran berbagai progam pembanguan dari berbagai tokoh yang beragam, dari tingkat lokal hingga internasional. Progam pembangunan ini selalu diproduksi dan tidak akan pernah usai,  sejak zaman kolonial  hingga kini. Tujuan berbagai progam pembangunan itu adalah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Namun, anehnya progam-progam pembangunan ini tidak mampu menuntaskan persoalan. Keberadaan progam-progam ini justru membawa masalah baru bagi masyarakat.

Disinilah buku The Will to Improve tulisan Tania Muray Li menjawab sengkarut persoalan yang lahir dari ‘kehendak untuk memperbaiki’ tersebut.  Kehendak untuk memperbaiki, dikonsepkan dan dilaksanakan oleh para aktor yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’. Para wali masyarakat adalah sebuah kedudukan yang dibangun berdasarkan klaim bahwa merekalah yang paling tahu tentang masyarakat karena mereka memiliki pengetahuan. Para wali masyarakat ini melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat setempat melalui gelanggang kekuasaan yang dinamakan Foucault dengan  ‘rasionalitas khas kepengaturan’, yaitu upaya merumuskan “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia” dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang spesifik” dan diraih melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal. 11). Kepengaturan bertindak secara persuasif. Kekuatan untuk mengarahkan orang bekerja dengan cara mengarahkan minat, membentuk kebiasaan, mendorong internalisasi nilai-nilai, merumuskan cita-cita dan kepercayaan bersama.

Dengan memanfaatkan fakta etnografis dan historis perubahan masyarakat di Poso, Tentena, Taman Nasional Lore Lindu di pegunungan Sulawesi Tengah sebagai fokus penelitian, Tania menjaskan secara kronologis perjalanan kehendak untuk memperbaiki. Disana, selama seabad terakhir berbagai progam beserta intervensi kepengaturan diciptakan.

Progam-progam pengaturan masyarakat, yang dilahirkan pemerintah kolonial hingga rezim neoliberal sering saling tumpang tindih. Hal ini terjadi kaena progam-progam tersebut memiliki persoalan mendasar dan mengidap keterbatasan. Inilah kritik yang ditegaskan Tania. Keterbatasan pertama, sedikitnya perhatian kepada rezim penguasa yang justru ditempatkan sebagai mitra pembangunan, seburuk apapun pemerintahannya. Keterbatasan kedua, nihilnya atensi terhadap relasi kekuasaan yang terselubung antara wali masyarakat dan masyarakat binaan. Masyarakat bukanlah bejana kosong yang dapat diisi apa saja, sedangkan para wali masyarakat pun bukan kaum yang bebas nilai dari kepentingan kelompok. Hubungan tersebut mempertegas batas diantara keduanya yang bersebrangan dan tak terjembatani. Bisa dikatakan, pemberdayaan masih merupakan sebuah hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, pendekatan ini mengesampingkan faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis mereka. Batas inilah dasar yang membuat progam perbaikan dari dulu hingga kini, bisa masuk akal dan berakar kuat, tetapi selalu bermasalah. (halaman 496)

Menariknya dalam buku ini, Tania tidak memberi satu kesimpulan tunggal tentang yang harus kita lakukan. Melalui penjelasannya yang disusun dengan deskripsi yang apik dan kaya data, dia hanya mengajak kita berpikir hingga ke akar permasalahan, berpikir lebih luas, dan berpikir agar usaha perbaikan dapat dikerjakan lebih manusiawi. Oleh karena itu, sudah selayaknya buku ini kita baca.

*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ. Mantan pegiat pers mahasiswa. 

Wednesday 9 April 2014

Lahir Dari Rahim Negara

Oleh: Citra Nuraini*

Kebangkitan Soeharto, kebangkitan kapitalisme Indonesia.


Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia
Richard Robison
Komunitas Bambu, 2012
432 halaman
Rezim Soeharto memang telah runtuh. Namun, perbincangan mengenai rezim ini tidaklah berhenti. Rezim ini selalu dibicarakan terkait pengaruhnya terhadap Indonesia. Salah satu perubahan yang paling menarik untuk diteliti ialah berkembangnya kapitalisme di Indonesia.

Richard Robison dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia menguraikan dengan baik evolusi negara-terkait pertumbuhan kelas kapitalis-zaman prakolonial, kolonial, orde lama, hingga orde baru. Penjelasan yang sistematis ini diperlukan untuk melihat sifat dari kapitalisme Indonesia. Jika kita melihat secara runut sejarah, sifat kapitalisme Indonesia sangat unik. Sejak awal kemunculannya, kelas kapitalis Indonesia sangat berbeda dengan Amerika dan Eropa. Kaum borjuis Indonesia tidak melakukan pertentangan terhadap kaum feodal. Dalam analisis Marx tentang sejarah perkembangan masyarakat, kelas borjuis ini mulai tumbuh di masa feodalisme. Kemudian mereka inilah yang melakukan revolusi, menengelamkan kekuasaan feodalisme yang dianggap menghambat gerak mereka.

Dalam buku ini, dijelaskan kerangka masyarakat nusantara prakolonial, tidak mengarah pada terbentuknya borjuasi pemilik tanah, borjuasi pertanian, dan borjuasi perdagangan. Bahkan hingga Belanda membawa sistem industrialisasi ke Hindia Belanda, sedikit sekali pribumi yang dapat berkembang menjadi kelas borjuis. Bahkan, Robison melihat kultur feodalisme menginternalisasi di setiap lapisan masyarakat. Salah satunya nilai-nilai patronase yang tertanam kuat hingga kini.

Selain itu, ada yang paling menarik dari buku ini. Robison akan membawa kita pada dinamika pembentukan kelas kapital domestik dan kapital milik negara. Pasca kemerdekaan, keduanya merupakan faktor penentu dalam membentuk sejarah kapital  Indonesia kontemporer.

Sejak 1949, ketika pemerintahan dijalankan dengan parlementer, negara berusaha menciptakan landasan pijak bagi akumulasi kapital para kapitalis. Kondisi yang diciptakan berupa pemberian pinjaman modal (pada realitasnya sering mengalami gagal bayar), menciptakan regulasi khusus, proteksi dan subsidi negara. Akhirnya, yang tumbuh dari sistem ini hanyalah kelas kapitalis kecil dan lemah.  Mereka bukanlah golongan yang menyandarkan pada individualitas dan kemandirian, sebagaimana nilai-nilai kapitalisme itu sendiri. Apalagi, kelas kapital swasta domestik tersebut mengandalkan hubungan spesial dengan partai-partai politik saat itu.

Kebijakan tersebut secara umum pun dianggap gagal. Struktur ekonomi tetap sama dengan masa kolonial lahir. Antitesisnya, membentuk kapitalisme negara. Inilah yang diterapkan demokrasi terpimpin, yang ternyata disokong dan digerakan oleh militer. Dengan kendali militer, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi dan dikendalikan militer. Hasil nasionaliasasi ini membentuk BUMN.

Kapitalisme asing baru bermain di Indonesia ketika Soeharto menaiki tampuk kekuasaan. Selain mengundang perusahaan swasta asing, pemerintahan Soeharto juga mengundang lembaga utang asing untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang sempat terpuruk di akhir demokrasi terpimpin. Kebijakan tersebut memicu peristiwa Malari, sebagai titik balik kebangkitan kapitalisme swasta domestik. Negara mengambil peran sebagai katalisator. Bisa dikatakan bahwa mereka lahir dari rahim negara. Setelah, kelas kapitalis ini dapat berlari kencang, mereka bertransformasi menjadi kelas terpenting dalam ekonomi politik Indonesia. Dampaknya, setiap kebijakan pembangunan wajib mempertimbangkan kepentingan mereka. Anehnya, sekalipun kelas kapitalis ini lahir dari rahim negara, negara tidak luput dari cengkramannya. Ibarat kacang lupa kulitnya.
Gilanya lagi, hubungan antara kaum birokrat negara dengan kapital swasta berkembang lebih intim dan rumit yang menjurus pada pembentukan basis sosial atas kekuasaan negara. Penguasa dan pengusaha menyatu melalui persetubuhan modal dan birokrasi Negara. Semuanya berujung pada kelahiran keluarga-keluarga politik birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Inilah perkembangan mendasar kelas kapital di Indonesia  yang berpusat pada elemen korporasi yang lebih besar dari pada kapital kecil yang semakin surut perannya.

Karena itulah, jangan heran jika kaum kapitalis tidak akan mengubah kultur feodalisme. Mereka tidak akan membawa perangkat institusi dan ideologi demokrasi liberal seperti masyarakat barat. Toh, mereka sudah dininabobokan negara. Sangat mungkin mereka mempertahankan apapun bentuk negaranya, yang penting akses  dan pengaruh pada kebijakan negara terjamin.

Edisi asli buku ini memang telah diterbitkan jauh sebelum kejatuhan Soeharto. Namun, bukan berarti buku ini tidak mampu memetakan ekonomi politik hari ini. Jika kita belajar dari sosio historis beberapa masa sebelumnya, bisa dilihat tidak banyak pola yang berubah dari ekonomi politik Indonesia. Polanya tetap mengarah pada patronase, terutama perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Bahkan kini sistem mengharuskan si penguasa adalah pengusaha. Minimal disokong pengusaha. Banyaknya partai-partai politik bukan berarti menandakan domokrasi politik. Demokrasi simbolis macam pemilu langsung ya, tapi tidak untuk demokrasi politik esensial.

Lalu bagaimana dengan kelas kapitalis Indonesia? Sejak reformasi terbuka, kelas kapital yang tadinya didominasi kroni-kroni Soeharto, kini lebih terbuka aksesnya. Bahkan untuk kapital asing. Terlebih dengan adanya perdagangan bebas. Masuknya kapital asing seolah ingin mengubur kapital swasta domestik. Jelas mereka lebih resistan. Jika pemerintah tidak memberikan proteksi sewajarnya, terutama pada kelas kapital kecil, maka jangan berharap progam-progam UMKM akan berhasil maksimal. Pendidikan enterpreneur yang tadinya bertujuan menumbuhkan kelas kapital domestik baru pun hanya sebuah utopia.Perselingkuhan penguasa dan pengusaha memang harus dilawan, tapi bukan meniadakan proteksi kelas kapital domestik.

Oleh karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca, seberapapun terlambatnya edisi Indonesia ini. Terlebih karena buku ini bukan hanya kaya data empiris, tapi juga menyumbang pemikiran teoritis. Jadi, selamat membaca!





*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ