Oleh: Kenang Kelana
PERISTIWA 1965;
Persepsi dan Sikap Jepang
Aiko Kurasawa
2015, Penerbit Kompas
xxi+202
|
Perlu menjadi catatan bahwa di tahun
1978, ratusan orang yang dianggap komunis dan terlibat dalam pristiwa 1965 baru
dibebaskan dari Pulau Buru. Secara kebetulan penelitian Aiko yang terfokus pada
perubahan sosial masyarakat Jawa pada masa pendudukan Jepang mengantarkannya kepada
eks-tapol 65 itu, yang pada saat pendudukan Jepang juga memiliki peran yang
sangat siknifikan.
Aiko sendiri datang ke Indonesia pada
tahun 1972 dalam rangka melakukan study mengenai perubahan sosial di Jawa dan
menghasilkan disertasi yang sudah dibukukan serta di terjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul “Mobilisasi
dan kontrol ; Indonesia masa pendudukan Jepang”. Di akuinya sempat ada
kendala pada saat kedatangannya ke Indonesia, saat berada di Bandara Kemayoran
beberapa buku bahan studinya di tahan selama satu minggu untuk dilakukan
screaning.
Ia juga sempat akan dipanggil oleh
pihak BAKIN guna mencari tau aktifitas politiknya, karena pada tahun 1968 ia
termasuk orang yang diberangkatkan ke China sebagai anggota “Student Friendship Group”. Akan tetapi
akhirnya lolos berkat bantuan Kedubes Jepang yang kenal dengan pihak TNI.
Selain itu, sumber dalam penelitian
ini juga mengunakan dokumen-dokumen Kementerian Luar Negeri Jepang [MOFA], arsip-arsip
dari Amerika, beberapa memoar yang ditulis oleh mantan Perdana Menteri Jepang
pada tahun tahun itu, tulisan-tulisan Jurnalistik, dokumen Partai Komunis
Jepang dan memoar Dewi Sukarno yang juga mendapat perhatian khusus dalam buku
ini.
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang sejatinya baru dimulai setelah 6 tahun Indonesia merdeka tepatnya
tahun 1951. Sejak ada pembicaraan di internasioanl tentang biaya ganti rugi
setelah Perang Dunia II. Indonesia dalam hal ini Sukarno menilai “pembicaraan
ini” akan membantu Indonesia di tengah situasi ekonomi yang menyulitkan pada
masa itu.
Negoisasi harga yang harus dibayar
cukup panjang, karena antara kedua negara sama-sama bersihkeras mempertahankan
argumennya terkait alasan pengajuan harga ganti rugi. Djuanda kartawijaya yang
pada saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri di utus ke Tokyo untuk
memulai negaoisasi harga, dan Indonesia menilai 17,5 miliar dolar AS adalah
harga yang pantas untuk biaya ganti rugi dan belum termaksud menghitung korban
jiwa yang dihasilkan oleh perang.
Sebaliknya, penolakan keras datang
dari parlemen Jepang yang menggap bahwa angka itu terlalu tinggi untuk keadaan
Jepang saat itu. Mereka mengunkan pasal perjanjian pampasan perang yang di
deklarasikan pada tahun yang sama di San Fransisko bahwa “Jepang juga perlu mempertahankan ekonominya sendiri, sumber daya jepang saat ini tidak mencukupi untuk
membayar pampasan perang bagi semua kerusakan dan penderitaan dan pada
saat yang sama memenuhi kewajiban yang lain”.
Pada faktanya, baru di tahun 1957 di Jakarta kedua negara
menyepakati angka yang harus dibayar oleh Jepang untuk Indonesia. PM Kishi
berkunjung ke Indonesia khusus menemui Soekarno guna membicarakan ini. Melalui
perhitungan yang pas kedua negara memiliki angka yang berbeda. Uniknya Sukarno
hanya mengajukan angka 177 juta dollar AS sementara dalam hitungan Jepang
seharusnya 240 juta dollar AS. Bahkan setelah di ingatkan oleh asissten
penerjemah atas kekeliruan Sukarno, PM Kishi hanya menyatakan “ Kita tidak usah
mempersoalkan hal-hal sepele”
Babak baru hubungan diplomatik
Indonesia Jepang dimulai. Berbarengan dengan deal politik dengan Jepang, Indonesia segera melakukan
nasionalisasi aset-aset milik Belanda yang masih beroprasi. Aiko menduga
langkah politik Sukarno ini terkait adanya kepastian pembayaran biaya pampasan
perang oleh Jepang. Biaya itu digunakan untuk mengoprasikan
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang akan di nasionalisasi.
Disisi lain, perjanjian antara
Sukarno dan Kishi juga membahas mekanisme pembayaran yang salah satunya adalah
dengan memberikan bantuan dalam bentuk “jasa”. Ada beberapa perusahaan dan
pekerja teknisi dari Jepang yang masuk ke Indonesia sebagai bentuk bantuan. Tak
luput Jepang juga membuka kantor perwakilan jurnalistik.
Dana pampasan perang dalam bentuk
jasa orang Jepang pada umumnya berbentuk proyek-proyek infrastruktur,
gedung-gedung pabrik dll,. Biasanya mereka dipakai sebagai pembuat proposal
dengan format yang biasa di pakai dan diterima oleh pemerintahan Jepang.
Orang-orang ini rata-rata memiliki hubungan dengan orang-orang dipemerintahan
Indonesia sejak masa pendudukan Jepang.
Aiko mencatat bahwa dalam proses
merumuskan proyek-proyek, ide awalnya sering secara tidak resmi disarankan
oleh perusahaan-perusahaan swasta Jepang kepada departemen terkait di
pemerintahan Indonesia. Biasanya lebih banyak diterima karena mereka mengerti
proposal-proposal yang sesuai dengan standar pemerintahan Jepang, dan biasanya
orang-orang ini adalah agen dari perusahaan swasta jepang yang kemudian mendapat
tender dari pihak pemerintah Jepang. Banyak pengusaha-pengusaha Jepang bersaing
untuk mendapatkan proyek ini dan orang-orang Jepang berlomba mendekati
petinggi-petinggi pemerintahan Indonesia.
Begitu massifnya kerja-kerja ekonomi
dan politik dengan Jepang, Indonesia dengan Sukarnonya tetap tidak melupakan
sikapnya terkait poros baru dunia. Di tengah gempuran politik Kapitalisme dan
Komunisme Indonesia masih berpegang teguh kepada politik non-blok. Pada tahun
1955 Jepang datang pada perhelatan Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan
oleh Sukarno dengan semangat Anti Kolonialisme dan Imperialisme.
Jepang masih menunjukan dirinya sebagai
negara bangsa Asia yang mendukung nasionalisme guna memerangi bangsa-bangsa
imperial. Bahkan di beberapa kesempatan Jepang seolah tidak peduli kalau-kalau
sikapnya yang mendukung Sukarno akan berdampak kepada negara-negara barat.
Tanpa memedulikan kepeningan bangsa barat yang secara tidak langsung di
titipkan kepda Jepang terkait pembendungan komunisme di Asia Tenggara khususnya
Indonesia, Jepang tetap pada pendiriannya yang juga punya maksud kepentingan
ekonomi politiknya.
Bagi negara-negara Barat terutama
Amerika, Jepang dipakai sebagai kepanjangan tangan mereka di Indonesia atau
menurut Sasaki tokok Partai Komunis Jepang ; Jepang adalah brokernya Amerika. Karena
praktis sampai pada saat itu hanya Jepang yang bisa masuk sedekat itu dengan
Indonesia khusunya Sukarno. Sekalipun tidak menutup mata, kita perlu
menjelaskan bahwa Amerika melalui agen-agen PSI dan Angkatan Darat cukup
intens menjalin komunikasi.
Jepang dan Pristiwa G30S
Menjelang october 1965, secara
politik Indonesia mengambil sikap yang menggemparkan dunia. Januari 1965
Sukarno menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB yang dikarenakan
terpilihnya Malasiya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Baik
Jepang maupun bangsa Baratpun bingung menghadapi ini.
Benar saja Sukarno mulai secara
terbuka membangun koneksi dengan Tiongkok yang baru saja berhasil untuk pertama
kalinya membuat percobaan sejata Nuklir pada tahun 1964. Sadar akan situasi
seperti ini, Amerika melalui PBB meminta Jepang untuk lebih aktif mempengaruhi
arah kebijakan politik Sukarno. PM Sato yang secara karakteristik sangat tidak
suka dengan Sukarno terlihat enggan menanggapi permintaan AS yang secara umum
meminta Jepang menjembatani konflik Indonesia dengan Malasyia. Bahkan PM Sato
selalu menghindari kontak langsung dengan Sukarno.
Di internal Jepang sendiri, beberapa
politisi serta pejabat negara mulai tidak menaruh simpati dengan Sukarno atas
sikap politiknya yang terlalu progresif. Hanya beberapa yang masih menaruh
simpati kedapa Sukarno, salah satunya adalah Kawashima Shojiro, deputi ketua
Partai Liberal Demokrasi dan menjabat Menteri Negara urursan Olimpiade Jepang.
Kawashima diutus ke dalam pertemuan
peringatan ke 10 KAA Bandung sekaligus membawa agenda penyelesaian konflik
antara Indonesia dengan Malasyia dan meminta Sukarno pada bulan Mei untuk
berkunjung ke Tokyo bertemu dengan PM Malaisya Rahman untuk penyelesaiian
konflik. Sebagai gantinya, Jepang berjanji akan datang dan mendukung pertemuan
KAA ke II di Aljazair.
Di saat yang sama PM Tiongkok Zhou
En-Lai juga datang mengunjungi Indonesia dalam peringatan 10 tahun KAA dan
meminta Sukarno untuk teteap pada garis politik Ganjang Malaisya. Ironisnya Sukarno mengabaikan permintaan Jepang
dan memilih mendengarkan masukan dari Zhou En-Lai. Yang menarik dan sangat
mengejutkan adalah saat kedua negara itu (Jepang-Tiongkok), Sukarno
mempertemukan keduanya yang secara politik keduanya belum membuka hubungan
diplomatik pada saat itu.
Dibulan September intensitas politik
di Indonesia meninggi, santer kabar tentang isu Dewan Jendral yang akan menggulingkan
pemerintahan Sukarno. Pada pagi dini hari tanggal 1 Oktober telah terjadi
penculikan disertai pembunuhan terhadap beberapa Jendral Tinggi Angkatan Darat.
Sebanyak 7 ditambah satu putri A.H Nasution dilaporkan terbunuh.
Ada banyak versi yang melingkupi
aktor dibalik gerakan ini. Akan tetapi di pemerintahan selanjutnya setelah
Sukarno kehilangan otoritas, melalui Supersemar di bawah Angkatan Darat, Suharto
mengumumkan dalang dibalik pembunuhan beberapa Jendral Tinggi Angkatan Darat ini
adalah PKI dan menyatakannya sebagai Partai terlarang.
Namun, ada yang jauh lebih mengerikan
dari sekedar pembunuhan 7 Jendral Angkatan darat ini. Yakni, beberapa minggu setelah dikeluarkannya
Supersemar, Suharto menyatakan PKI sebagai partai bertanggung jawab penuh atas
terbunuhnya Jendral Angkatan Darat ini. Tak disangsikan lagi beberapa bulan
kemudian terjadi pembantaian yang mengrikan di sepanjang pulau Jawa. Baik dari
ujung barat hingga ke ujung timur pulau ini.
Lalu bagaimana dengan Jepang? apa
yang mereka tau tentang Gerakan 1 Oktober ini? Dan bagaimana sikap mereka
terhadap pembantaain yang terjadi di sepanjang tahun itu?
Kedutaan Jepang di Indonesia merasa
kaget setelah beberapa jam terjadi pembunuhan. Pasalnya Dubes Jepang di Indonesia Saito
Shizuo sedang berada di Jawa Tengah menghadiri peresmian pabrik pemintal benang
yang di bangun oleh perusahaan swasta Jepang dan akan bertolak kembali
menuju Bandung. Kabar tentang pembunuhan itupun sampai di telinga Saito. Segera
mereka semua memutuskan kembali lagi menuju Jakarta pada tanggal 2 Oktober.
Sesampainya di Jakarta, segera Saito
berkomunikasi dengan Dewi dan terus menerus bertukar informasi dengan pihak
kedutaan negara-negara barat. PM Jepang Sato mengirimkan pesan kepada Sukarno
yang berisi ungkapan rasa penyesalan atas usaha pembunuhan terhadap dirinya dan
bersyukur mendengar kabar dirinya masih selamat. Pesan ini disampaikan oleh
Dubes Saito pada tanggal 12 Oktober dan berkesempatan membicarakan perihal
insiden itu.
Yang menarik adalah pengakuan Sukarno
pada saat berbincang dengan Saito pada kesempatan itu. Ia (Sukarno) menolak
tuduhan atas rumor bahwa ada intervensi dari pihak Tiongkok dalam hal ini dan
malah memandang curiga kepada pihak Amerika Serikat karena beberapa hari
sebelum peristiwa terjadi seluruh staf Kedubes AS telah direncanakan untuk
dievakuasi.
Sampai disana Saito mendapat kesan
bahwa Sukarno masih bisa di jadikan pegangan sebagai tokoh yang dapat
menstabilkan keadaan di Indonesia. Mengingat bahwa sampai sejauh ini belum ada
orang yang bisa secara posisioning berdiri sama tegak dengan posisi Sukarno.
Jepang pun di nilai oleh AS dengan ungkapan orang yang masih terhipnotis oleh
sihir Sukarno sebagai orang yang paling “penting” dan sangat berhati-hati untuk
tidak memusuhinya.
Bagi Amerika— yang sedari awal sangat
tidak suka terhadap gaya kepemimpinan Sukarno—tinggal menunggu waktu yang pas
hingga Angkatan Darat mampu menjadi otoritas politik yang kuat dan bisa
mengendalikan arah kebijakan politik Indonesia yang memberikan kesempatan bagi
Amerika untuk masuk ke dalamnya.
Sikap Jepang yang masih percaya
terhadap kepemimpinan Sukarno pun tak berlangsung lama dari sejak Dubes Saito
bertemu. Segera Jepang mencari informasi terkait gerakan-gerakan yang berada
di seberang Sukarno. Hatta dinilai memiliki representasi atas kelompok-kelompok
yang anti terhadap kepemimpinan Sukarno ditambah dengan informasi seorang
Mahasiswa Indonesia di Jepang yang pada saat itu bekerja sebagai wartawan,
Alifin Bey.
Saat itulah Jepang mulai mengambil
sikap membelakangi Sukarno. Sesuatu yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.
Ambiguitas ini di latarbelakangi oleh modus ekonomi yang membuat Jepang harus
mencari aman atas posisioning negaranya terkait keberlangsungan ekonominya atas
di Indonesia setelah Sukarno dan di mata dunia.
Semangat itu tersirat sejak jauh-jauh
hari seperti yang di ungkap oleh Menteri Luar Negeri -nya sendiri saat pidato
di depan para pengusaha Jepang tahun 1955; pembayaran
hutang pampasan perang ini jangan dilihat sebagai sebuah tanggung jawab dan
kewajiban. Ini adalah kesempatan kita untuk mengambil keuntungan ekonomi atas
pembangunan di Asia tenggara.
Pembantaian Massal
Dalam buku ini, Aiko menyatakan
dengan nada heran bahwa masyarakat Jepang tidak banyak yang mengetahui tentang
pembantaian massal yang terjadi di Indonesia setelah peristiwa pembunuhan ketujuh
Jendral AD. Dibuktikan pada saat pemutaran film The Art of Killing besutan karya sutradara Joshua Oppenhaimer
digelar di Jepang pada tahun 2014 lalu. Ada banyak warga Jepang yang menanyakan
sendiri kepada Aiko dengan nada keheranan terkait peristiwa mengerikan itu.
Tak banyak memang yang bisa
diberitakan kepada publik Jepang saat-saat pembunuhan Jendral itu terjadi.
Berita yang muncul pertama di publik Jepang adalah justru dari laporan seorang
kameramen berkebangsaan Jepang yang sedang memproduksi Film di Indonesia, tepat
pada tanggal 2 Oktober ia pulang ke Jepang dan informasinya di tulis pada hari
berikutnya tanggal 3 Oktober.
Selanjutnya surat kabar di Jepang
mendapat data terkait situasi di Indonesia melalui kantor cabangnya di Malaisya
dan Singapur, mengingat mencekamnya situasi pada saat itu sehingga berdampak
kepada fasilitas komunikasi yang sempat terputus/tidak berfungsi.
Kenyataan-kenyataan itu membuat
keterlambatan informasi yang masuk kepada publik Jepang. Aiko bahkan mencatat
beberapa momen pengiriman berita yang secara “kebetulan” bisa di bawa ke
Jepang. Seperti menitipkan kepada mahasiswi Jepang yang sedang study di
Indonesia dan akan kembali ke Jepang pada masa itu. Kemudian mengandalkan
beberapa memoar pengalaman perjalanan staf-staf Kedubes Jepang di Indonesia.
Informasi yang dapat dikumpulkan
media Jepang terkait peristiwa ini baru secara massif di cacat oleh para wartawan
Jepang setelah minggu ke dua terlebih sebenarnya di akhir-akhir tahun 1965 saat
suhu politik Indonesia. Enggel liputan para redaktur surat kabar di Jepang
mengarah kepada pertarungan politik antara Sukarno, PKI dan Angkatan Darat.
Sekalipun ada kenyataan bahwa narasi tentang pembantaian yang di alamai oleh
manusia Indonesia se-Jawa Bali tercatat meskipun tidak banyak.
Tak banyak reaksi dari masyarakat
jepang sendiri terkait pembunuhan massal itu. Yang dalam kaca mata Aiko,
masyarakat tak banyak bersikap terkait pembunuhan itu cerminan dari sikap
pemerintahan Jepang sendiri terkait ini.
Yang dalam anggapan John Rossa,
beberapa penulis (baik produk penelitian-jurnalistik) abai memastikan “nyatanya” pembantaian orang yang terjadi
di Indonesia. Jumlahnya tidak main-main, sekalipun belum ada data yang pasti
karena setiap instansi memiliki versinya masing-masing.
Dengan pasti sikap Jepang berubah
setelah peristiwa ini. Bukannya mengambil langkah yang tepat dan cepat untuk
mencegah terjadinya pembunuhan massal, Kabinet Sato Jepang malah mengirim bantuan
ekonomi kepada kelompok reaksioner yang melawan Sukarno dengan dalil
penyelamatan rakyat Indonesia dari krisis ekonomi.
Ratna Sari Dewi, istri yang sangat
dicintai oleh Sukarno menuturkan bahwa ada bantuan yang diberikan secara massif
kepada pemimpin kelompok mahasiswa anti Sukarno sebesar enam juta yen. Dana ini
diberikan secara tidak resmi (rahasia) kepada Sofjan Wanadi.
Dan setelah tahun-tahun yang gelap
ini, sekian banyak dari kita dapat melihat dengan jelas ekspansi ekonomi Jepang
dapat berjalan dengan mulus hingga ke level yang paling kecil. Bagi kita yang
hidup di generasi 90an, mungkin sudah tak asing lagi dengan berbagai macam
komik serta film manga yang beredar seperti “Doraemon”, “Dragon Ball”
dst,. Semua ini berkaitan dengan kejatuhan Sukarno dimana Jepang juga punya
andil besar terhadap itu. Tabik
@kenangkelana
20 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment