Oleh: Bara Prastama
Tidak semua wajah mayat bertato itu mengerikan. Kadang-kadang Sawitri punya kesan mayat bertato itu seperti orang tidur nyenyak atau orang tersenyum dalam buaian gerimis. Di mata Sawitri kadang tampak bagaikan sebuah layar panggung sandiwara... (Seno Gumiro Adjidarma, Penembak Misterius, 1985).
TATO
Hatib Abdul Kadir Olong
LKiS, 2006
xi + 368 halaman
|
Sepenggal
kalimat yang memiliki makna mendalam diatas, jelas mendeskripsikan situasi pada
periode khusus dimana Orde Baru menggunakan cara represif dan militeristik saat
berkuasa di Indonesia. Seno Gumira (Sastrawan Indonesia) mencoba menggambarkan
situasi pada peristiwa Petrus (Penembakan Misterius “83-“85) yang memakan
banyak korban + 8000 Jiwa dan belum tentu mereka yang mati adalah pelaku
kejahatan yang masuk dalam tindakan kriminal.
Pada tahun
1966 pasca penumpasan PKI tato sering dianggap sebagai tindakan berdosa dan
bertentangan dengan anjuran agama besar (baca: Islam, Kristen, Khatolik)
sehingga beredar rumor bahwa siapa-siapa yang melakukan penatoan akan identik
dengan PKI. Kemudian pada Tahun 1980, cengkraman Orde Baru semakin menguat,
ketika tato dianggap sebagai tindakan kriminal, beringas, dan tak
berpendidikan. Biopower ini juga digunakan
untuk memanipulasi kesadaran masyarakat Dayak untuk mempertahankan
kebudayaannya, hingga isu modernitas muncul dan mengikis localgeniuis
masyarakat.
Kemudian Orde
Baru memberlakukan kebijakan menumpas gali (gabungan anak liar), bajingan,
gento, penjahat, kriminal, yang umumnya bertato. Dalam aksinya, aparat dengan
modus operandi berpakaian preman mendatangi korban pada tengah malam, naik
jeep, kadang menggunakan topeng, kemudian menciduk, kemudian korban dihajar,
ditembak, dimasukan karung, dan akhirnya dibuang di sungai, di tepi jalan, di perempatan,
di pasar, ada juga yang ditaruh dekat pos kamling. Pada awalnya korban Petrus
merupakan preman yang dimanfaatkan sebagai floating mass (massa mengambang)
demi memenangkan suara Golkar dalam Pemilu 1982 di banyak kota di Indonesia
(urban).
Setahun setelah pemanfaatan tersebut, massa
preman ini kembali menganggur dan kembali ke ladang “pekerjaannya”
masing-masing. Tentu keberanian itu didasarkan bahwa kedekatan mereka dengan
para tokoh politik yang pernah dibantunya ketika kampanye. Kemudian hal ini
membuat pencitraan negatif rezim Orde Baru, karena keresahan masyarakat
akhirnya Rezim berkuasa menggunakan aparat bersenjata untuk menumpas para
preman bertato tersebut.
“...Perasaan takut yang sangat kuat telah mencengkram rakyat ... Mereka yang akan melawan ya akan ditembak. Tidak ada pilihan lain karena mereka melawan. Beberapa mayat mereka ditembak. Hal ini sebagai shoch therapy.” (Ramadhan K.H. & Dwipayana, Biografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989:339).
Soeharto juga
menyatakan:
“Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman itu datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya. Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketentraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-oleh hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian ada perempuan yang diambil kekayaan dan si istri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja.”
Beberapa
dalih, abstrak, tidak kongkret terus di keluarkan Rezim berkuasa dan mulai
menghapuskan ingatan masyarakat bahwa ini pelanggaran HAM. Dari uraian di atas
dapat di simpulakan bahwa memang secara modus operandi atau implementasi
lapangan pembunuhan para gali tersebut dilakukan secara misterius, namun secara
substansial pembunuhan pada tahun 1983-1984 bukanlah pembunuhan misterius
(Petrus). Sebab, pembunuhan itu dilakukan secara masif, ada institusi yang
mengakui, bahkan seorang kepala negara mengakuinya secara terbuka.
Penembakan
misterius (petrus) yang marak terjadi selama 1983-1985 merupakan bagian dari
kontrol negara dalam rangka stabilitas ekonomi yang berdalih pada kontiunitas
pembangunan negara, meningkatkan kualitas kehidupan, dengan menurunkan derajat
kemanusiaan, menghilangkan bagian tubuh tertentu, bahkan mengorbankan nyawa
individu yang tidak disukainya atau dianggap melanggar aturan tanpa meja hijau.
Apakah perlakuan seperti ini dapat dikatakan negara yang berasaskan hukum?
Lantas dimana nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung pada UUD”45?
Mungkin benar orang-orang bertato pada kala itu pelaku kriminal yang meresahkan
masyarakat, namun mestinya semua warga negara harus berada dalam suplemasi
hukum. Sebelum dieksekusi, mestinya seorang terdakwa harus dihadapkan ke meja
hijau terlebih dahulu. Jika terbukti bersalah maka eksekusi pun kemudian
dilaksanakan secara ksatria. Yang terhukum ksatria, sang eksekutor juga
ksatria.
No comments:
Post a Comment