Oleh Hafid Ayatillah
I’m back for you, my future
Raut muka itu terasa sangat berbeda, seakan mengisratkan sebuah kehilangan, tiap tatapan yang ia berikan menggambarkan luka yang teramat dalam, tangisan itu pun terdengar sangat jelas walau pun dalam relung hati. Entah mengapa, senyum itu puntera sasangat menyayat walaupun terlihat sangat menggairahkan. Malam itu terasa sangat kelabu namunsangatindah,karenacahaya sang dewi malam hadir ditengah-tengahnya.
Seorang wanita terlihat murung, ia berjalan tanpa henti menuju suatu tempat dimana ia biasa ditemani dengan sunyi dan sejuknya malam.
Delia,
begitulah ia kerap disapa oleh teman
– temannya, wanita yang tangguh, ceria dancerdas, namun dibalik semua itu ia adalah wanita penyendiri. Terduduk tenang, ia mulai merenung tentang semua yang ia alami, detik demi detik ia resapi hening nya suasana,
pejaman itu bukan tak ada artinya,
“Apakah kehidupan ini hanya tak berpihak ke padaku?”
begitu batinnya.
Perlahan tetesan air mata keluar dari kedua matanya yang sayu itu dan
melewati pipi yang kian memerah akibat tangisannya, ia seakan kehilangan
harapan, harapan tuk bahagia dengan apa yang sudah ia rencanakan dengan
kekasihnya yang kini mungkin tak dapat ia perlakukan seperti dulu lagi. Semua
harapannya kini sudah tinggal angan – angan dan mulai tersapu, terbawa oleh
desiran anngin yang berhembus tenang.
Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan
sebuah buku, buku catatan lebih tepatnya. Ia buka buku catatan yang bertuliskan
“Dream” tersebut, lembar demi lembar ia buka, ia nikmati dan mulai meresapi,
bercumbu dengan harapan yang mulai kini menjadi kenangan. Awal dari setiap halaman
buku itu menggambarkan bagaimana benih – benih kebahagiaan muncul, yang kelak
akan menjadi harapannya, halaman halaman selanjutnya terdapat berbagai
dokumentasi dengan seorang pria kesayangannya, terlihat mereka sangat dekat dan
tentunya bahagia.
Tiap ia membuka lembar berikutnya, air mata yang keluar
membasahi pipinya semakin deras dan seakan memecahkan keheningan malam. Disela
tangisannya kadang terdapat senyum dan tawa kecil, tepat di tengah halaman dari
buku itu terdapat secarcik kertas yang bertuliskan “Tunggulah aku, aku akan
kembali padamu”.
Selepas
SMA Delia berpisah dengan pria pujaan hatinya itu, mereka dipisahkan oleh
tuntutan pendidikan yang diamanahkan oleh orang tua mereka. Sebelum
keberangkatan kekasihnya itu Delia sempat bertemu dan saling berjanji dalam
secarcik kertas kalau semua ini bukanlah akhir, mereka akan dipisahkan oleh
benua yang berbeda untuk waktu yang cukup lama karena kekasihnya akan menuntut
ilmu di perguruan tinggi terkenal negara AS. Tahun awal adalah tahun terberat yang
dialui Delia selepas kekasihnya pergi, dengan padatnya jadwal kuliah dan juga
tugas yang tak kunjung usai, ia tetap teguh menjalani pendidikannya.
Dalam
kesibukannya Delia tetap sempat menghubungi kekasihnya itu dan hubungan
komunikasi yang terjalin antara mereka sama sekali tidak mengalami masalah yang
berarti. Tahun kedua dan ketiga hubungan mereka masih utuh karena saling
memegang teguh dengan janji yang mereka buat. Tahun terakhir adalah tahun yang
dinanti nanti oleh Delia, ia sangat senang karena tinggal menghitung bulan
mereka akan bertemu dan tentunya akan saling melepas rindu, tetapi semua
rencana itu akan jadi sebuah wacana saja karena sebuah moment yang
menghancurkan hatinya berkeping – keping.
Hari itu
Delia seperti biasa melakukan rutinitasnya sebagai seorang mahasiswi, dan hari
itu terasa sangat cepat bagi Delia. Sesampainya ia dirumah, ia mengecek e-mail nya dan mendapatkan satu pesan
yang menjadi pertanyaan baginya. Pria pujaannya itu menuliskan pesan “i m
sorry, i must to say good bye”, hati Delia bertanya tanya dan seketika yang ada
dalam fikirannya hanyalah pesan yang pria itu kirimkan kepadanya.
Air mata tiba
tiba jatuh tak tertahankan, kini kegundahan menyelimuti hatinya dan fikirannya.
Hari hari selanjutnya tak ada satupun pesan atau kabar dari pria pujaan hatinya
itu, tekanan batinpun ia rasakan sampai rutinitas yang ia lalui kini menjadi
tak karuan. Delia melakukan berbagai cara untuk mengetahui keadaan pasangannya
itu, ia mencoba menghubungi ponselnya tetapi ternyata sudah tidak bisa
dihubungi lagi, ia coba untuk menelusuri media sosial dan ternyata hasilnya
nihil. Usaha usaha untuk menemukan dan hanya mencoba agar bisa mendapatkan
paling tidak satu kabar dari pria tersebut sudah ia lakukan, sampai pada
puncaknya ia hanya bisa pasrah dan hanya sekedar menunggu.
Suatu pagi Delia
terbangun dari tidurnya yang terbilang sangatlah tidak berkualitas, ia hanya
tidur dua jam setiap harinya sejak pesan itu ia terima. Ia langsung bersisap
siap untuk menjalani harinya seperti biasa, yaitu menjadi mahasiswi. Siang itu
matahari sangat terik memancarkan sinarnya, ia terduduk di bawah sebuah pohon
sambil meminum jus yang telah ia beli sesudah perkuliahan tadi. Delia menolehkan
kepalanya kepada suatu surat kabar yang tergeletak di sampingnya, memungut lalu
membacanya.
Seketika matanya terbelalak melihat sebuah berita yang membuat
tubuhnya lemas dan memaksa air matanya jatuh dengan derasnya, disitu tertulis
bahwa lab penelitian perguruan tinggi di AS terbakar dan menyebabkan puluhan
korban jiwa. Ia teringat bahwa perguruan tinggi tersebut adalah tempat dimana
pria yang sangat ia cintai menempuh pendidikan, Iapun menangis karena
beranggapan bahwa pasangannya juga menjadi korban dalam peristiwa itu. Berita
peristiwa itu menjadi titik puncak dimana ia berfikir kalau ia harus merelakan
kepergian seseorang yang benar benar ia harapkan menjadi masa depannya.
Setelah
hal itu ia sering pergi ketempat dimana ia berjanji bersama, dan menunggu saat
dimana mereka bisa bersama lagi. Ditempat itu ia selalu berdoa yang terbaik
untuk pria kesayangannya dimanapun dan bagaimanapun keadaannya, ditempat itu
pula ia kadang mencurahkan isi perasaan yang sedang ia rasakan dan berharap
orang yang ia tuju bisa mendengarkannya.
“Malam
ini adalah tepat genap empat tahun aku berpisah, rasanya sangat berat untuk
menyadari hal ini”, batinnya. Delia bersiap siap, tentu menuju satu tempat yang
sangat berkesan baginya dan hubungannya dengan pria itu, ya tentu saja tempat
dimana mereka saling berjanji. Tempat itu tidak terlalu jauh dari rumah Delia,
suatu taman yang membuat pengunjungnya merasa tenang walaupun berada di tengah
perkotaan yang sangat ramai. Tiap langkah kaki yang ia pijaki terasa sangat
berat, mengingat ia masih belum bisa merelakan sepenuhnya bahwa sang pujaan telah
tiada. tinggal beberapa ratus meter lagi ia sampai ke taman itu, entah mengapa
semakin dekat dengan taman itu raut mukanya semakin murung tetapi ia tetap
mencoba tersenyum sampai akhirnya ia telah sampai di taman itu dan duduk di
bangku yang disinari oleh ranumnya cahaya lampu taman.
Delia
mengingat kembali janji yang telah ia ucapkan bersama di tempat ini, ia melihat
ke sekitar tak ada satu orangpun yang berkunjung di taman ini. Rasa sesak di
dalam hati tiba tiba timbul begitu saja, seiring hembusan angin ia memejamkan
matanya meresapi keheningan suasana dan mencoba menenangkan perasaannya. Ia
berkata ;
“Hans, ini tahun ke empat semenjak kita berpisah disini. Aku harap kamu
bisa mendengarkan apa yang kukatakan ini dimana dan bagaimanapun keadaan kamu saat
ini, Aku akan tetap menunggu dan mengingat apa yang sudah kita janjikan, disini
.. ditempat ini”.
Ketika ia selesai mengucapkan kata – kata itu, suatu suara
memanggil namanya “Delia ...”, ia menoleh dan dengan segala kesadarannya ia
menyadari kalau yang ada di depannya itu adalah pria yang selama ini ia tunggu,
pria yang selama ini membuatnya resah, ia pun berdiri dan memeluknya erat.
“Aku
tak akan mengingkari apa yang telah aku katakan kepadamu Delia”, bisik Hans
kepada Delia.
Tak sepatah katapun yang Delia katakan, hanya tangis haru yang
bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Tangis itu seakan mengeluarkan semua
yang ia tahan selama ini dalam relung hatinya yang paling dalam, semua rasa
rindu seakan terbalaskan, semua penantianpun seakan terbalaskan.
Hans
menjelaskan mengapa ia menghilang begitu saja dengan meninggalkan berjuta
pertanyaan pada sebuah pesan yang ia kirimkan, ia juga menjelaskan apa yang
terjadi dengan perguruan tinggi tempat ia memperoleh pendidikan. Dengan satu
pelukan penuh makna, Hans membisikkan satu kalimat yang membuat Delia merasa
tenang dan membalas pelukan Hans, “I’m back for you, my future”.
No comments:
Post a Comment