Oleh Kenang Kelana
Tertawalah sebelum tawa di larang
Warkop DKI
Antara Tawa dan Bahaya Kartun dalam Politik Humor Seno Gumira Ajidarma KPG, 2013 429 halaman |
Kira-kira begitu memahami
tawa dalam sketsa kekuasaan. Di atur sesuai apa yang “in” pada zamannya. Dalam banyak hal tawa menawarkan
kepada kita sebuah kegembiraan, sebuah keceriaan yang dalam ilmu pengetahuan
medis dan agama tawa adalah obat penyembuh termurah sepanjang zaman.
Di
dalam buku ini, kita
seolah disodorkan
soal perangkat dalam ketertawaan, maksudnya adalah bagaimana
tawa membutuhkan instrument layaknya sebuah pertunjukan. Ada subjek mentawakan dan ada objek yang ditertawakan.
Manusia punya peran
dalam berkehidupan. Semua melengkapai dalam konteks keterbutuhan [sekelipun prihal
keinginan tidak semua insan pernah merasakan] begitu juga dalam candaan yang menghasilkan tawa. Mesti ada orang
atau peran untuk menjadi pihak yang ditertawakan. Dalam
pergaulan hal ini bisa dan lumrah, terjadi seolah tanpa
ada yang tersinggung atau marah sebab tawa kita adalah tawa semua orang.
Pada
bab awal
buku Antara Tawa Dan Becana kita akan
disuguhkan dengan sekian banyak teori pendukung yang mampu menjelaskan
pengertian tawa. Ini tanda bahwa tawa adalah hal yang serius banget!!!.
Mulai dari
Freud hingg kepada Bergson. Dalam prodaknya banyak orang
menggunakan instrument karikatur untuk membuat tawa kita menjadi milik (dibaca) semua orang. Ada Doyok,
Oom Pasikom dll.
Seno Gumira Adjiedarma |
Selanjunya pertanyaan yang
akan menjadi menarik adalah apakah semua tawa
adalah bahagia?!. Bagi saya persoalan tawa bukan hanya menjadi
sekedar lucu (lucuan) untuk meraih kebahagiaan. Mira,
begitu panggilan akrab sang penulis buku (Seno Gumira Adjiedarma) dengan prangkat semiotikanya
melihat prodak tawa dalam bentuk kartikatur yang menjadi alat legitimasi untuk
menunjukaan obsesi dan bahkan sesuatu yang sedang terjadi di sekeliling kita.
Beni & Mice misalnya—dua orang yang telah menjadi satu kemudian bubar lagi
belakangan ini—di
dalam buku-buku
karikaturnya yang sempat ‘booming’ beberapa tahun terakhir ini menjadi pengingat
kita akan situasi di Jakarta, dengan gambaranya
tentang banjir, tentang tumbuh suburnya kelas menengah yang rapuh diperkotaan
dan dalam nada yang satir ia menyebutnya dengan
kelompok ‘alay’.
Kesemuanya digambarkan dengan lucu dan jenaka serta ramah. Sekali lagi media tawa dalam bentuk karikatur menjadi alat representasi dalam
kehiduapan sehari hari.
Cover Surat Kabar Perancis |
Namun setali tiga uang
dari itu, kita juga akan medapatkan kenyataan bahwa tawa yang kita bicarakan
juga dapat menimbulkan bahaya, hingga menyebabkan kematian
segala. dihukum alamnya, tawa adalah pelepasan ke-tak-sadar-an atas kondisi/politik
identitas yang sedang berlangsung. Kita ambil contoh misal kartun Nabi
Muhammad yang digambarkan oleh salah seorang kartunis Denmak yang harus mengalami
bahaya bahkan ancaman kematian dari seseorang yang mengaku pembela Nabi
Muhammad.
Pada zamannya, Warkop
DKI membangun lelucon bagaimana aparat keamanan [mulai dari satpam sampai
polisi lalu lintas] digambarkan sebagai sesuatu yang bodoh dan cenderung robotik. Padahal semua yang berbau instansi kenegaraan apa lagi kemiliteran
terasa sangat tabu untuk dibicarakan, apalagi di “becandaiin”.
Salah
satu cerita Warkop DKI memperlihatkan adegan dimana Dono, Kasino dan Indro ikut
dalam rombongan latihan Satpam dan dipimpin oleh Boneng yang dalam cerita itu
mempunyai seorang kembaran. Dan tanpa mereka sadari bahwa atasan mereka adalah seorang
yang kembar dan kembaran dari komandan aslinya menderita
penyakit ganguan jiwa. Betapa lucu kemudian para pemain film itu
dipimpin oleh seorang yang sakit Jiwa.
Grup lawak Warkop DKI
menjadi fakta nyata prihal tawa tidak bisa dibatasi atapun dilarang. Dengan
konsekuensi logis bahwa yang kita tertawakan bermuatan Politis/Ideologis. Tawa mempunyai perannya sendiri, untuk
apa yang kemudian diistilahkan oleh Gramsci sebagai Counter Hegemoni. Dominasi atas
kenyataan yang menjadi objek tawaan adalah bukti keterkaitan antara tawa dan politik yang jelas menghasilkan
bahaya dan ancaman.
Tawa dalah prodak zaman, setiap masa menghasilkan kondisi
ketertawaannya masing-masing sesuai dengan kenyataan pada hari ini dan
seterusnya.
Cempaka
Putih. 07
04 2013
No comments:
Post a Comment