Ada razia rambut nanti
sehabis istirahat sekolah. Cabut aja yuks, grepes rambut lo nanti loch...
(Obrolan anak muda SMA di Sekolah dengan temannya)
Masih ingat dengan penangkapan puluhan anak Punk di Aceh
beberapa minggu lalu? Ingat dengan Petrus (Penembakan Misterius) di tahun 80an?
Dan di awal tahun 70-an dengan fenomena razia rambut gondrong di gang-gang
sempit bahkan di institusi-institusi resmi model kantor Pemda dll. Apa
sebenarnya yang melatari kelompok kelompok muda ini sangat dipantau
aktivitasnya sampai ke urusan yang paling remeh-temeh seperti rambut gondrong,
badan bertato, celana sobek dll.
Semenjak jatuhnya Soekarno dan berdirinya bendera “kuning”
dan sepatu laras militer ala Soeharto, Indonesia berada dalam panggung politik
kekeluargaan. Sebuah keluarga yang diklaim sudah dibangun dengan demokratisasi.
Konsep kekeluargaan ala Jawa yang digunakan oleh Soeharto
dan barisan jendralnya telah membuat kita menjadi lebih erat dan dekat.
Sehingga tidak heran ketika kita mengenal istilah “bapak”-“anak”-“keluarga”,
tidak lain yang dimaksud dengan “bapak” adalah Soeharto itu sendiri yang pada
saat itu adalah orang nomor satu di Indonesia.
Alangkah menyenangkannya konsep yang ditawarkan oleh bapak
kita satu ini tentang konsep kekeluargaan sebagai inti sari dari pada kita
punya ideologi; Pancasila. Namun di balik kekuatan positif yang ditawarkan itu
sesungguhnya kita harus melihat kemudian apa yang dimainkan oleh Soeharto
sebagai bapak terhadap keluarganya sendiri terutama sang “anak”.
“Anak” yang dimaksud adalah anak-anak muda. Mereka dengan
sepak terjangnya dalam membangun orde yang baru ini tidak kalah hebatnya dengan
militer. Kita bisa membaca sejarah bagaimana bulan madu kekuatan sipil dengan
militer dalam menghancurkan PKI dan barisan pendukung Soekarno sampai pada
akhirnya Soekarno sendiri yang menjadi target selanjutnya untuk disingkirkan
dalam panggung politik Indonesia. Kemudian Ben Anderson dalam bukunya
memberikan paparan teori dan kenyataan bahwa Pemuda adalah mereka yang merasa
siap diri terjun dalam suatu pergerakan.
Jadi kita bisa melihat situasi pemuda pada saat itu—era
1970an—yang sekiranya masih segar dalam ingatan bahwa mereka juga yang
melahirkan orde yang baru ini di bawah kekuasaan militer Soeharto sangat peduli
terhadap gambaran yang mereka inginkan tentang Indonesia dibawah coretan
senjata Soeharto.
Dimulai dari pembantaian berjuta-juta rakyat Indonesia yang
tidak bersalah, pembangun Taman Mini Indonesia Indah, korupsi yang belum tuntas
dan masalah-masalah kebebasan berekspresi mereka termaksud turun kejalan melakukan
aksi protes yang sudah mulai dilarang.
Disamping itu Suharto sebagai bapak juga mulai mereduksi
penggunaan istilah Pemuda (politis) dengan istilah “Remaja”. Sesuatu yang
mengambarkan bahwa kegiatan politik itu sudah tidak harus di kerjakan lagi oleh
kalian–Pemuda, sebab semua sudah baru, semua sudah ada yang mengatur, aman dan
semua itu terangkum dalam satu kata yang sangat kental berbau rezim ini dengan
sebutan Stabilitas.
Sang Bapak menegur Anak
Dengan menggunakan konsep keluarga-jawanya Suharto beserta
aparatus kekuasaan nya—militer—memaksa hampir semua anak muda yang
berpenampilan tidak rapih! Untuk merubah semua penampilannya agar “normal”
kembali sesuai dengan kebudayaan kita Indonesia. Di dalam buku Aria W.Y;
Dilarang Gondrong ini, kemunculan anak-anak muda yang berpenampilan serampangan
seperti rambut gondrong, celana cut bray, celana kerucut sobek-sobek tidak bisa
dilepaskan dengan situasi dunia internasional.
Maraknya penolakan terhadap perang dan kekacauan dunia yang
diakibatkan oleh perang, membuat kelompok muda Amerika - London terutama anak
band membangun budaya tanding sebagai bentuk protes mereka terhadap
pemerintahannya yang begitu kental dengan irama kekacauan atau perang.
The Beatles dengan John Lennon-nya menjadi mode pada saat itu
dengan penampilannya yang bebas, berambut gondrong, merokok dll yang
dilakukannya sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan. Perilaku ini mulai
dicontoh oleh para pemuda Indonesia yang pada saat itu statusnya sebagai
“mahasiswa”. Selain itu kelompok muda lainya juga beramai ramai mengcopy-paste
gaya ala John Lennon tanpa pernah tau apa alasan Lennon melakukan itu.
Sampai pada akhirnya tanggal 1 Oktober 1973 di stasiun TVRI
Pangkopkamtib Sumitro memberikan pernyataan bahwa rambut gondrong membuat
pemuda menjadi acuh tak acuh. Ini sangat menarik, orang sekaliber Pangkopkamtib
yang menjadi penjagal kader kader tangguh PKI hari ini harus berurusan dengan
hal seremeh temeh ini—rambut gondrong.
Mereka yang tidak bisa diatur dianggap sebagai PKI atau
kriminal. Sebuah frase yang mencoba menggambarkan komunisme sebagai sesuatu
yang kejam-jahat-kriminal, bahkan penulis besar sekaliber Taufiq Ismail
menyandingkan komunisme dengan NARKOBA!
Tentu pembaca akan menalarkan ini semua sebagai bentuk
proteksi diri Negara (Soeharto) atas ancaman gerakan anak anak muda yang
menentang kekuasaannya. Karena peredaran mereka rambut gondrong dan celan sobek
rata-rata adalah aktifis mahasiswa dan para seniman seniman yang tidak mau
dibatasi aktifitasnya termaksu di dalamnya protes.
Maka akan menjadi unik ketika hari ini kita melihat banyak
orang beramai ramai menghakimi mereka yang berpenampilan “urakan” (rambut
gondrong-celana sobek) sebagai sesuatu yang kriminal, tidak bisa diatur. Karena
memang ingatan kita terbentuk sebagai mana Suharto membangun mental kita sampai
seperti hari ini.
No comments:
Post a Comment