Oleh: Bara Prastama
“Sebaik-baiknya teman adalah buku”
Ada permasalahan yang mengakar dalam budaya bangsa Indonesia, ialah
persoalan membaca. Begitu banyak realita yang dapat kita amati di kampus yang
katanya berisikan orang-orang Intelek/Intelegensia tinggi, namun jika
pengamatan ini benar dan di jadikan penelitian kecil-kecilan ternyata pendapat
tadi tidak lah sepenuhnya benar. Coba saja kita coba masuki kampus di beberapa
ibu kota, saya yakin tak jarang kita melihat mahasiswa/i berkerumunan membentuk
lingkaran kecil dengan kopi dan rokok, bukan diskusi ataupun membaca.
Sayangnya kelompok kecil itu membicarakan hal-hal yang bersifat
hedonis, bahkan yang lebih parah memainkan kartu (segala jenisnya ada; poker, uno, sampai model kartu
bergambar porno) yang menjadi persoalan adalah mereka bermain di lingkungan
akademis. Ini mencerminkan mundurnya pendidikan secara nilai dan rendahnya
minat baca generasi bangsa. Memang tidak dapat digeneralisir namun kelompok
yang seperti ini begitu mendominasi.
Pertanyaannya adalah dimana dan bagaimana kita (sebagai bangsa)
mencabut akar persoalan agar kita menjadi generasi yang berwawasan dunia dan
men-transfrom budaya membaca kepada generasi berikutnya? Ternyata tidaklah jauh dari lingkungan sosial primer yaitu
keluarga dimana sejak lahir kita mendapatkan pendidikan moral, etika, dan
agama.
Menurut Dr. Murti Bunanta, SS;M.A (yang fokus di bidang Sastra Anak di
FIB Universitas Indonesia) keluarga dapat menanamkan budaya baca kepada anak sejak
umur 2-4 tahun dengan mendongengkan dan mengenalkan benda yang berbentuk
persegi empat dengan sebutan “buku” sehingga sang anak dapat mengetahui buku
memiliki informasi yang sering di ceritakan oleh orang tuanya. Kemudian kedua
orang tua juga harus membiasakan mempelihatkan kepada anak kegiatan membaca,
dan men-setting salah satu ruangan di rumah di kelilingi buku-buku, sehingga
hingga dewasa sang anak juga dapat melihat, mengingat, dan membiasakan bahwa
keluarganya memiliki budaya membaca.
Jawaban atas persoalan ini tidak dapat di buktikan dengan teori
melainkan tindakan dengan menciptakan perpustakaan keluarga/komunitas di
Indonesia dengan harapan menyelamatkan generasi selanjutnya dari produk instan
(TV, Video Games, Internet) yang akan memenjarakannya dari imajinasinya.
Tentunya ini adalah persoalan yang sudah tidak asing lagi di telinga
kita, namun opini saya dalam tulisan ini ingin membuat persoalan ini semakin
asing dengan harapan pembaca dapat merasa gerah dan tergerak untuk membaca.
Karna seharusnya membaca adalah budaya manusia yang alami (kebiasaan manusia
sebagai makhluk yang berakal lebih) bukanlah sesuatu yang di buat-buat apalagi
karena “kebutuhan.” Semoga tidak hanya generasi muda kita yang dapat memahami
betapa pentingnya pengetahuan yang akan merangsang imajinasi, kreatifitas namun
juga para orang tua, terlebih pasangan muda.
Mugo-mugo seneng yo moco tulisan ku ...
No comments:
Post a Comment