Saturday, 18 February 2012
Sopo Seneng Moco?
Oleh: Bara Prastama
“Sebaik-baiknya teman adalah buku”
Ada permasalahan yang mengakar dalam budaya bangsa Indonesia, ialah
persoalan membaca. Begitu banyak realita yang dapat kita amati di kampus yang
katanya berisikan orang-orang Intelek/Intelegensia tinggi, namun jika
pengamatan ini benar dan di jadikan penelitian kecil-kecilan ternyata pendapat
tadi tidak lah sepenuhnya benar. Coba saja kita coba masuki kampus di beberapa
ibu kota, saya yakin tak jarang kita melihat mahasiswa/i berkerumunan membentuk
lingkaran kecil dengan kopi dan rokok, bukan diskusi ataupun membaca.
Sayangnya kelompok kecil itu membicarakan hal-hal yang bersifat
hedonis, bahkan yang lebih parah memainkan kartu (segala jenisnya ada; poker, uno, sampai model kartu
bergambar porno) yang menjadi persoalan adalah mereka bermain di lingkungan
akademis. Ini mencerminkan mundurnya pendidikan secara nilai dan rendahnya
minat baca generasi bangsa. Memang tidak dapat digeneralisir namun kelompok
yang seperti ini begitu mendominasi.
Pertanyaannya adalah dimana dan bagaimana kita (sebagai bangsa)
mencabut akar persoalan agar kita menjadi generasi yang berwawasan dunia dan
men-transfrom budaya membaca kepada generasi berikutnya? Ternyata tidaklah jauh dari lingkungan sosial primer yaitu
keluarga dimana sejak lahir kita mendapatkan pendidikan moral, etika, dan
agama.
Menurut Dr. Murti Bunanta, SS;M.A (yang fokus di bidang Sastra Anak di
FIB Universitas Indonesia) keluarga dapat menanamkan budaya baca kepada anak sejak
umur 2-4 tahun dengan mendongengkan dan mengenalkan benda yang berbentuk
persegi empat dengan sebutan “buku” sehingga sang anak dapat mengetahui buku
memiliki informasi yang sering di ceritakan oleh orang tuanya. Kemudian kedua
orang tua juga harus membiasakan mempelihatkan kepada anak kegiatan membaca,
dan men-setting salah satu ruangan di rumah di kelilingi buku-buku, sehingga
hingga dewasa sang anak juga dapat melihat, mengingat, dan membiasakan bahwa
keluarganya memiliki budaya membaca.
Jawaban atas persoalan ini tidak dapat di buktikan dengan teori
melainkan tindakan dengan menciptakan perpustakaan keluarga/komunitas di
Indonesia dengan harapan menyelamatkan generasi selanjutnya dari produk instan
(TV, Video Games, Internet) yang akan memenjarakannya dari imajinasinya.
Tentunya ini adalah persoalan yang sudah tidak asing lagi di telinga
kita, namun opini saya dalam tulisan ini ingin membuat persoalan ini semakin
asing dengan harapan pembaca dapat merasa gerah dan tergerak untuk membaca.
Karna seharusnya membaca adalah budaya manusia yang alami (kebiasaan manusia
sebagai makhluk yang berakal lebih) bukanlah sesuatu yang di buat-buat apalagi
karena “kebutuhan.” Semoga tidak hanya generasi muda kita yang dapat memahami
betapa pentingnya pengetahuan yang akan merangsang imajinasi, kreatifitas namun
juga para orang tua, terlebih pasangan muda.
Mugo-mugo seneng yo moco tulisan ku ...
Ketika Tato Menjadi Kriminal
Oleh: Bara Prastama
Tidak semua wajah mayat bertato itu mengerikan. Kadang-kadang Sawitri punya kesan mayat bertato itu seperti orang tidur nyenyak atau orang tersenyum dalam buaian gerimis. Di mata Sawitri kadang tampak bagaikan sebuah layar panggung sandiwara... (Seno Gumiro Adjidarma, Penembak Misterius, 1985).
TATO
Hatib Abdul Kadir Olong
LKiS, 2006
xi + 368 halaman
|
Sepenggal
kalimat yang memiliki makna mendalam diatas, jelas mendeskripsikan situasi pada
periode khusus dimana Orde Baru menggunakan cara represif dan militeristik saat
berkuasa di Indonesia. Seno Gumira (Sastrawan Indonesia) mencoba menggambarkan
situasi pada peristiwa Petrus (Penembakan Misterius “83-“85) yang memakan
banyak korban + 8000 Jiwa dan belum tentu mereka yang mati adalah pelaku
kejahatan yang masuk dalam tindakan kriminal.
Pada tahun
1966 pasca penumpasan PKI tato sering dianggap sebagai tindakan berdosa dan
bertentangan dengan anjuran agama besar (baca: Islam, Kristen, Khatolik)
sehingga beredar rumor bahwa siapa-siapa yang melakukan penatoan akan identik
dengan PKI. Kemudian pada Tahun 1980, cengkraman Orde Baru semakin menguat,
ketika tato dianggap sebagai tindakan kriminal, beringas, dan tak
berpendidikan. Biopower ini juga digunakan
untuk memanipulasi kesadaran masyarakat Dayak untuk mempertahankan
kebudayaannya, hingga isu modernitas muncul dan mengikis localgeniuis
masyarakat.
Kemudian Orde
Baru memberlakukan kebijakan menumpas gali (gabungan anak liar), bajingan,
gento, penjahat, kriminal, yang umumnya bertato. Dalam aksinya, aparat dengan
modus operandi berpakaian preman mendatangi korban pada tengah malam, naik
jeep, kadang menggunakan topeng, kemudian menciduk, kemudian korban dihajar,
ditembak, dimasukan karung, dan akhirnya dibuang di sungai, di tepi jalan, di perempatan,
di pasar, ada juga yang ditaruh dekat pos kamling. Pada awalnya korban Petrus
merupakan preman yang dimanfaatkan sebagai floating mass (massa mengambang)
demi memenangkan suara Golkar dalam Pemilu 1982 di banyak kota di Indonesia
(urban).
Setahun setelah pemanfaatan tersebut, massa
preman ini kembali menganggur dan kembali ke ladang “pekerjaannya”
masing-masing. Tentu keberanian itu didasarkan bahwa kedekatan mereka dengan
para tokoh politik yang pernah dibantunya ketika kampanye. Kemudian hal ini
membuat pencitraan negatif rezim Orde Baru, karena keresahan masyarakat
akhirnya Rezim berkuasa menggunakan aparat bersenjata untuk menumpas para
preman bertato tersebut.
“...Perasaan takut yang sangat kuat telah mencengkram rakyat ... Mereka yang akan melawan ya akan ditembak. Tidak ada pilihan lain karena mereka melawan. Beberapa mayat mereka ditembak. Hal ini sebagai shoch therapy.” (Ramadhan K.H. & Dwipayana, Biografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989:339).
Soeharto juga
menyatakan:
“Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman itu datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya. Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketentraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-oleh hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian ada perempuan yang diambil kekayaan dan si istri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja.”
Beberapa
dalih, abstrak, tidak kongkret terus di keluarkan Rezim berkuasa dan mulai
menghapuskan ingatan masyarakat bahwa ini pelanggaran HAM. Dari uraian di atas
dapat di simpulakan bahwa memang secara modus operandi atau implementasi
lapangan pembunuhan para gali tersebut dilakukan secara misterius, namun secara
substansial pembunuhan pada tahun 1983-1984 bukanlah pembunuhan misterius
(Petrus). Sebab, pembunuhan itu dilakukan secara masif, ada institusi yang
mengakui, bahkan seorang kepala negara mengakuinya secara terbuka.
Penembakan
misterius (petrus) yang marak terjadi selama 1983-1985 merupakan bagian dari
kontrol negara dalam rangka stabilitas ekonomi yang berdalih pada kontiunitas
pembangunan negara, meningkatkan kualitas kehidupan, dengan menurunkan derajat
kemanusiaan, menghilangkan bagian tubuh tertentu, bahkan mengorbankan nyawa
individu yang tidak disukainya atau dianggap melanggar aturan tanpa meja hijau.
Apakah perlakuan seperti ini dapat dikatakan negara yang berasaskan hukum?
Lantas dimana nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung pada UUD”45?
Mungkin benar orang-orang bertato pada kala itu pelaku kriminal yang meresahkan
masyarakat, namun mestinya semua warga negara harus berada dalam suplemasi
hukum. Sebelum dieksekusi, mestinya seorang terdakwa harus dihadapkan ke meja
hijau terlebih dahulu. Jika terbukti bersalah maka eksekusi pun kemudian
dilaksanakan secara ksatria. Yang terhukum ksatria, sang eksekutor juga
ksatria.
Wednesday, 1 February 2012
Kuasa Atas Mode: Praktik Kekuasaan Terhadap Anak Muda
Ada razia rambut nanti
sehabis istirahat sekolah. Cabut aja yuks, grepes rambut lo nanti loch...
(Obrolan anak muda SMA di Sekolah dengan temannya)
Masih ingat dengan penangkapan puluhan anak Punk di Aceh
beberapa minggu lalu? Ingat dengan Petrus (Penembakan Misterius) di tahun 80an?
Dan di awal tahun 70-an dengan fenomena razia rambut gondrong di gang-gang
sempit bahkan di institusi-institusi resmi model kantor Pemda dll. Apa
sebenarnya yang melatari kelompok kelompok muda ini sangat dipantau
aktivitasnya sampai ke urusan yang paling remeh-temeh seperti rambut gondrong,
badan bertato, celana sobek dll.
Semenjak jatuhnya Soekarno dan berdirinya bendera “kuning”
dan sepatu laras militer ala Soeharto, Indonesia berada dalam panggung politik
kekeluargaan. Sebuah keluarga yang diklaim sudah dibangun dengan demokratisasi.
Konsep kekeluargaan ala Jawa yang digunakan oleh Soeharto
dan barisan jendralnya telah membuat kita menjadi lebih erat dan dekat.
Sehingga tidak heran ketika kita mengenal istilah “bapak”-“anak”-“keluarga”,
tidak lain yang dimaksud dengan “bapak” adalah Soeharto itu sendiri yang pada
saat itu adalah orang nomor satu di Indonesia.
Alangkah menyenangkannya konsep yang ditawarkan oleh bapak
kita satu ini tentang konsep kekeluargaan sebagai inti sari dari pada kita
punya ideologi; Pancasila. Namun di balik kekuatan positif yang ditawarkan itu
sesungguhnya kita harus melihat kemudian apa yang dimainkan oleh Soeharto
sebagai bapak terhadap keluarganya sendiri terutama sang “anak”.
“Anak” yang dimaksud adalah anak-anak muda. Mereka dengan
sepak terjangnya dalam membangun orde yang baru ini tidak kalah hebatnya dengan
militer. Kita bisa membaca sejarah bagaimana bulan madu kekuatan sipil dengan
militer dalam menghancurkan PKI dan barisan pendukung Soekarno sampai pada
akhirnya Soekarno sendiri yang menjadi target selanjutnya untuk disingkirkan
dalam panggung politik Indonesia. Kemudian Ben Anderson dalam bukunya
memberikan paparan teori dan kenyataan bahwa Pemuda adalah mereka yang merasa
siap diri terjun dalam suatu pergerakan.
Jadi kita bisa melihat situasi pemuda pada saat itu—era
1970an—yang sekiranya masih segar dalam ingatan bahwa mereka juga yang
melahirkan orde yang baru ini di bawah kekuasaan militer Soeharto sangat peduli
terhadap gambaran yang mereka inginkan tentang Indonesia dibawah coretan
senjata Soeharto.
Dimulai dari pembantaian berjuta-juta rakyat Indonesia yang
tidak bersalah, pembangun Taman Mini Indonesia Indah, korupsi yang belum tuntas
dan masalah-masalah kebebasan berekspresi mereka termaksud turun kejalan melakukan
aksi protes yang sudah mulai dilarang.
Disamping itu Suharto sebagai bapak juga mulai mereduksi
penggunaan istilah Pemuda (politis) dengan istilah “Remaja”. Sesuatu yang
mengambarkan bahwa kegiatan politik itu sudah tidak harus di kerjakan lagi oleh
kalian–Pemuda, sebab semua sudah baru, semua sudah ada yang mengatur, aman dan
semua itu terangkum dalam satu kata yang sangat kental berbau rezim ini dengan
sebutan Stabilitas.
Sang Bapak menegur Anak
Dengan menggunakan konsep keluarga-jawanya Suharto beserta
aparatus kekuasaan nya—militer—memaksa hampir semua anak muda yang
berpenampilan tidak rapih! Untuk merubah semua penampilannya agar “normal”
kembali sesuai dengan kebudayaan kita Indonesia. Di dalam buku Aria W.Y;
Dilarang Gondrong ini, kemunculan anak-anak muda yang berpenampilan serampangan
seperti rambut gondrong, celana cut bray, celana kerucut sobek-sobek tidak bisa
dilepaskan dengan situasi dunia internasional.
Maraknya penolakan terhadap perang dan kekacauan dunia yang
diakibatkan oleh perang, membuat kelompok muda Amerika - London terutama anak
band membangun budaya tanding sebagai bentuk protes mereka terhadap
pemerintahannya yang begitu kental dengan irama kekacauan atau perang.
The Beatles dengan John Lennon-nya menjadi mode pada saat itu
dengan penampilannya yang bebas, berambut gondrong, merokok dll yang
dilakukannya sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan. Perilaku ini mulai
dicontoh oleh para pemuda Indonesia yang pada saat itu statusnya sebagai
“mahasiswa”. Selain itu kelompok muda lainya juga beramai ramai mengcopy-paste
gaya ala John Lennon tanpa pernah tau apa alasan Lennon melakukan itu.
Sampai pada akhirnya tanggal 1 Oktober 1973 di stasiun TVRI
Pangkopkamtib Sumitro memberikan pernyataan bahwa rambut gondrong membuat
pemuda menjadi acuh tak acuh. Ini sangat menarik, orang sekaliber Pangkopkamtib
yang menjadi penjagal kader kader tangguh PKI hari ini harus berurusan dengan
hal seremeh temeh ini—rambut gondrong.
Mereka yang tidak bisa diatur dianggap sebagai PKI atau
kriminal. Sebuah frase yang mencoba menggambarkan komunisme sebagai sesuatu
yang kejam-jahat-kriminal, bahkan penulis besar sekaliber Taufiq Ismail
menyandingkan komunisme dengan NARKOBA!
Tentu pembaca akan menalarkan ini semua sebagai bentuk
proteksi diri Negara (Soeharto) atas ancaman gerakan anak anak muda yang
menentang kekuasaannya. Karena peredaran mereka rambut gondrong dan celan sobek
rata-rata adalah aktifis mahasiswa dan para seniman seniman yang tidak mau
dibatasi aktifitasnya termaksu di dalamnya protes.
Maka akan menjadi unik ketika hari ini kita melihat banyak
orang beramai ramai menghakimi mereka yang berpenampilan “urakan” (rambut
gondrong-celana sobek) sebagai sesuatu yang kriminal, tidak bisa diatur. Karena
memang ingatan kita terbentuk sebagai mana Suharto membangun mental kita sampai
seperti hari ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)