Oleh: Aziz Benazir
‘Jika kau tahu sesuatu akan berakhir buruk, sanggupkah kau mengehentikannya ketika masih terasa indah ?’
‘Jika kau tahu sesuatu akan berakhir buruk, sanggupkah kau mengehentikannya ketika masih terasa indah ?’
***
Dalam gelap, aku dengar suara seseorang
memanggilku. Senyap suara itu kudengar, maklum rasa kantuk yang luar biasa
masih mendekapku. Aku baru bisa tidur ketika shubuh menjelang, rutinitas
kehidupan yang begitu mengikat luar biasa menyiksaku. Tugas menumpuk, harus
bekerja didepan laptop sampai larut, aku berfikir apakah yang seperti ini
dinamakan dengan hidup ? Malas kulangkahkan kaki turun ke kamar mandi dari
kamar indekost untuk cuci muka.
‘Hei, baru bangun’ suara yang sedari
tadi memanggil menyapaku.
‘Eh iya’ jawabku singkat, belum jelas
aku melihat wajahnya, kantuk masih menyergapku.
‘Sept, loh kok, kirain siapa ?’ kataku kemudian seraya membasuh wajahku dengan handuk.
‘Sept, loh kok, kirain siapa ?’ kataku kemudian seraya membasuh wajahku dengan handuk.
‘Aku telponin hp-nya gak aktif, sms gak
dibales, yasudah aku kesini.’ Senyum manisnya yang diumbar percuma membuatku tak
percaya ini nyata.’Kamu mandi gih, aku naik ke atas ya’ sambungnya sambil masih
tersenyum, entah senyumnya untuk siapa dan untuk apa.
‘Hehehe
hp-nya mati kali, iya nanti dulu, eh, mau ngapain, masih berantakan, yaudah deh’
kataku bingung, belum selesai kalimatku Sept sudah ngeloyor ke atas, ke kamar
indekostku.
Maklum sudah sekitar empat bulan aku
tidak melihat wajahnya. Wajah yang sempat mengisi hari-hari ku dan kepergiannya
menyisakan rindu yang meendalam. Septevana namanya, pertemuan pertama kami bisa
dibilang aneh. Untuk orang seperti kami yang ‘hidup’ dalam dunia yang bisa
dibilang ‘gelap’, kami berkenalan justru di masjid dalam serangkaian acara menyambut
Ramadhan. Aku dan Sept berkenalan dengan cara yang juga tidak biasa, lewat
sebuah novel yang mengiringi kedekatan kami. Sebulan itu kami sering
melewati hari bersama, aku menjemputnya sekolah, atau sekedar menikmati jalan
dan suasana malam kota Jakarta lewat sudut pandang yang berbeda. Sudut
pandangku, aku menularkan pandangan-pandangan lain tentang hidup padanya, yang aku
pun baru dapat sudut pandang itu dari sebuah buku filsafat.
Melalui novel yang telah aku bacalah, aku mulai ‘meracuni’ Sept
untuk mulai belajar filsafat, sekaligus menemaniku mempelajarinya. Sampai aku merasa justru fikiran-fikirannya lah yang lebih maju
dari pada aku dalam membahas soal hidup. Pertanyaan-pertanyaan mengalir dari bibirnya;
kenapa kita ketemu, kenapa ketemunya sekarang, sampai kapan kita bisa seperti
ini, kapan akan berakhir, apakah kita akan siap jika berakhir.
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengagetkanku, aku tidak pernah berfikir sejauh
itu tentang kami. Semakin sering kami bersama kami mulai saling mengenal satu
sama lain. Belakangan aku dipertemukan dengan teman dekatnya yang ternyata
teman dekatku juga semasa sekolah menengah, kemudian aku juga tahu kalau
temanku ternyata sepupunya, dan lain-lain yang rasanya ada yang aneh tentang
kami. Ternyata Sept juga merasakan keanehan tersebut bahkan dikaitkan dengan pertanyaan
filosofis dari novel yang kuberikan, Dunia Sophie. itulah yang kami bincangkan sehari-harinya.
‘Mungkin gak sih kalu kita pernah ketemu
sebelumnya’
Aku tahu maksud kata ‘sebelumnya’ ini
bukan dalam artian sebenarnya. Lagi-lagi aku dikagetkan dengan fikiran-fikiran
Sept yang selalu mengejutkanku. Entah hanya aku yang merasa atau dia juga
merasakan hal yang sama denganku, yang jelas buatku,
‘Jangan biarin perasaan itu mempengaruhi
kamu.’
Aku masih ingat kata-katanya yang satu
itu, anehnya aku tidak merasa sakit hati mendengarnya mengatakan hal itu, aku justru
senang. Aneh. Setelah hari itu kami menjauh, dijerat dan ditarik kembali oleh
kesibukan masing-masing. Entah dia atau aku yang memulai, pokoknya kami menjadi
jauh. Awalnya aku masih menghubunginya, sesekali menanyakan kabar sekedar
basa-basi dan mencairkan juga membalikkan suasana seperti dulu, sayangnya sudah
tidak sama lagi seperti dulu. Aku katakan padanya aku sedih dengan keadaan ini.
‘Kan aku pernah ingatkan, jangan biarin
perasaan itu mempengaruhi kamu.’ komentarnya.
Hari-hari terus berjalan, begitu pun
kami yang tak lagi beriringan, meski sesekali kami bertegur suara. Sampai
sekitar sebulan yang lalu dia mengutarakan keinginannya untuk bertemu ketika
kami bertukar suara lewat handphone. Sept bercerita tentang cintanya yang
jatuh, oleh temanku yang juga temannya, padahal sudah kuingatkan dia. Kemudian
kita banyak bicara mengenang sedikit yang pernah terjadi diantara kami. Tentang
kegiatannya, kegiatanku dan, obrolan panjang itu diakhiri oleh suara tegas
seorang perempuan paruh baya yang mengingatkan pulsaku sudah habis. Lalu kami
ditarik kembali oleh beban kehidupan masing-masing. Kemudian saling melupakan,
dia, mungkin, tapi tidak denganku. Terakhir aku mendapat pesan singkatnya ‘Jul,
dimana’, lalu aku kehilangan kontaknya beberapa minggu lalu. Dan kini dia menyambangi
indekost ku pagi-pagi buta, dalam jam ku, karena tidur saja baru ku lakukan
shubuh tadi.
‘Kebo banget sih, jam segini baru
bangun’ ucapnya sambil memandangiku.
‘Kamu gemukan deh Sept’ kataku tak
menggubris komentarnya tentang waktu bangunku yang kelewatan siang.
‘Apa sih orang enggak, ini malah
kurusan’ balasnya.
‘Kurus segini, gemuk semana ?’ aku
menimpali
‘Eh, mau ngapain deh kamu kesini, aku
kira aku tadi masih mimpi , ada yang manggil-manggil gitu, eh ternyata kamu’
kataku selanjutnya.
‘Kenapa emang, gak boleh ?’ ucapnya
sambil kembali memandangiku.
Aku yang dipandangi menjadi salah
tingkah, apa lagi dib alas bertanya seperti itu. ‘Mm, boleh sih tapi kan, yah
kamu kan udah lama gak, mm…’ jawabku bingung.
‘Ke taman yuk, aku pengen kesana deh’ potongnya
sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku.
‘Hah, ayuk deh’ kataku seraya mengambil
bolpoint dari sebelah kasur yang belum sempat kubenahi. Lalu kutulis dalam
catatanku hari itu.
‘Hidup itu memang menyedihkan dan
serius. Kita dibiarkan memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain
disini, saling menyapa dan berkelana bersama untuk sejenak. Lalu, kita saling
kehilangan dan lenyap dengan cara yang sama mendadaknya dan sama tidak masuk
akalnya seperti ketika kita datang.’ –Joestin Gaarder, Dunia Sophie.
Siang itu tidak aku fikirkan apa yang
akan kulakukan selanjutnya terkait perasaanku padanya yang belum jatuh. Percuma
saja aku merencanakan segala sesuatu.
Manusia seperti apapun bentuk
fikirannya, sulit, kalau tidak bisa dibilang tidak punya kesempatan, untuk
memiliki ‘kehendak bebas’-nya sendiri, karena bagaimanapun Tuhan lah yang
mengatur bagaimana manusia hidup, tumbuh dan berkembang serta segala macam hal
yang mengiringi proses tersebut. Meskipun dalam kitab suci disebutkan bahwa
Tuhan tidak akan merubah nasib manusia selama manusia itu tidak mau merubahnya,
tetap saja Tuhan lah yang punya kuasa untuk merubah segala-gala hal yang ada
dalam kehidupan.
***
No comments:
Post a Comment