Tulisan ini adalah cerita
tentang pengalaman saya dalam membaca. Bila ada sebuah kategori saya mungkin termasuk
dalam kategori yang sedikit membaca, tetapi memiliki keinginan yang kuat untuk
terus membaca. Pengalaman yang ingin saya ceritakan di sini adalah ketika saya
membaca karya-karya salah satu penulis besar yang dimiliki oleh Indonesia,
Pramoedya Ananta Toer (Bung Pram). Saya yakin banyak khalayak yang sudah jauh
lebih mengenal Pram dan lebih fasih berbicara bahkan menuliskan tentang Pram
dan karyanya. Lagi-lagi di sini saya tekankan ini hanya cerita tentang
pengalaman saya tentang membaca.
**
Pram juga luruh dalam
pergumulan politik, tentu sebagai reaksi dari tulisannya yang dianggap
provokatif. Karyanya yang proaktif dalam pergumulan politik membuat dirinya
seringkali menghadapi kerasnya kekuasaan, dan merasakan penjara juga pengasingan.
Pengalaman terparah Pram tentu ketika ia diasingkan di Pulau Buru, pasca
peristiwa 1965, namun kepiawaian dan kreativitasnya dalam menulis tidaklah
lenyap karena penjara atau pengasingan, ia tetap berkarya dan terus berkarya.
Tajamnya pena sang
sastrawan dunia dalam melahirkan karya-karyanya yang relalis sosial, cukup
membuat penguasa gerah. Kekejaman
penguasa, lantas membuat Pram menghadapi penderitaan. Kala seluruh bangsa ini
menderita karena sebuah otoriter penguasa, Pram pun ikut menderita, karena
selain diasingkan, karyanya banyak diberangus, terlebih lagi selama
pengasingannya Pram tidak difasilitasi untuk menulis. Hal ini menyebabkan
generasi bangsa Indonesia hari ini kehilangan ingatan kolektif tentang Pram dan
sekian banyak buah karya salah satu putera terbaik bangsa Indonesia, karena
sikap represif penguasa.
Beruntung masih cukup
banyak karya Pram yang terselamatkan, sempat tercetak, dan dicetak ulang
sehingga masih kita nikmati. Dari karya-karya tersebut dapat kita rasakan
semangat yang membara yang serta-merta dapat menular ke dalam diri kita.
Karya-karya Pram bukan saja indah alur cerita dan penulisannya tetapi juga
sarat akan nilai yang mendidik bangsa ini, menyadarkan kita akan persoalan yang
dialami masyarakat. Nilai-nilai realisme sosial yang terkandung masih sangat
relevan dengan kondisi kekinian.
Dalam Roman Gadis
Pantai[2]
misalnya, Pram dengan balutan narasi indah nan menggugah mampu memberikan suatu
kritik menukik tajam langsung ke jantung feodalisme, yang amat disayangkan masih
hidup di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ia dengan fasih dan tentu
memberikan kritik tajam dengan melukiskan kondisi yang dialami masyarakat Jawa
yang feodal. Ia menggambarkan bagaimana dilema pemikiran seorang gadis pantai
memasuki dan mengenal realisme sosial yang feodalistik, terkungkung dan tidak
merdeka. Hari-hari dipenuhi dengan ketakutan, ketakutan akan orang-orang yang
punya kuasa. Gadis Pantai yang lugu melihat realitas kehidupan tersebut, di
mana “orang kebanyakan” harus menerima nasibnya sebagai sahaya, sebagai orang
yang mengabdi dan menuruti kemauan penguasa, orang kebanyakan yang bahkan tidak
punya hak atas tubuh mereka.
Dalam pergumulan
pemikiran Gadis Pantai dalam melihat realitas tersebut, terasa muatan pemikiran
dan kritik Pram terhadap feodalisme. Mempertanyakan mengapa ada orang yang
menjadi sahaya bagi orang yang lainnya? mengapa orang rendahan selalu bernasib
bertimpakan kemalangan? Satu kalimat kritik akan feodalisme yang masih terasa
dalam masyarakat kekinian terbungkus dalam percakapan antara Gadis Pantai dan
Perempuan tua yang menjadi sahayanya.
Mas Nganten masih ingat cerita
sahaya tentang kakek sahaya yang ikut berontak bersama Pangeran Diponegoro? Ya,
Mas Nganten masih ingat, bukan? Seorang penewu pernah mengurniainya wejangan:
Kau tidak mengabdi kepadaku Man, tidak Man! Kalau kau Cuma mengabdi kepadaku,
kalau aku tewas dan kau tinggal hidup, kau mengabdi kepada siapa lagi? Kau cari
bendoro baru, kalau dia juga tewas? Tidak, man, tidak. Kau mengabdi pada tanah
ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan
para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai
melawan para raja, para pangeran, dan para Bupati. Satu turunan tidak bakal
selesai, man. Kalau para raja, pangeran dan bupati sudah dikalahkan, baru kau
bisa berhadapan dengan Belanda. Entah Berapa turunan lagi. Tapi, kerja itu
mesti dimulai.[3]
Kutipan paragraf
tersebut sangatlah terasa kegelisahan akan kondisi bangsa pada masa tersebut. Pada
masa kolonial di mana masyarakat Indonesia hidup dalam nuansa feodalistis. Feodalisme
yang sangat menghambat kemajuan bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu
penjajahan bangsa Barat. Hingga kini, pada masyarakat kita feodalisme belumlah
luntur. Kita masih merasakan nuansa feodalisme dengan balutan yang berbeda
(neofeodalisme). Jikalau dahulu kita melihat feodalisme yang memberikan jurang
pemisah antara kalangan priyayi dan orang kebanyakan, kini kita melihat nuansa
feodalisme di dalam masyarakat yang terpisah antara yang punya kekuasaan
(kekayaan dan jabatan) dengan kaum papa dan pegawai rendahan.
Pentingnya membaca
karya-karya Pram adalah sebagai bahan refleksi diri tentang nilai kehidupan.
Sekaligus untuk membuka cakrawala pemikiran kita akan situasi masyarakat yang
membelenggu kaki, tangan, dan mulut kita untuk mencapai kemajuan, serta pikiran
yang utama memberikan semangat untuk membebaskan diri kita dari belenggu
tersebut.
Membaca karya-karya
Pram memang bukan hanya perkara melihat keindahan alur cerita yang dibuatnya,
membaca karya Pram berarti kita mewarisi semangat yang ia tuangkan dalam
karyanya. Semangat dalam mendidik bangsa yang luruh dalam nuansa feodalistis,
semangat dalam menghancurkan segala bentuk feodalisme yang mengakar kuat dalam
masyarakat Indonesia.
Beruntung kita generasi
milenium masih bisa menikmati era kebebasan saat ini, tidak seperti Zaman Kolonial
ataupun ORBA di mana kita tidak dibebaskan untuk membaca segala hal yang
dianggap provokatif dan dapat mengganggu stabilitas. Dan menjadi lebih
disayangkan lagi adalah ketika kita menjadi generasi yang masuk dalam kebebasan
membaca dan berpendapat kita malah malas untuk membaca atau menulis. Sayang
sekali kondisi masyarakat Indonesia masih sangatlah minimminat baca dan tulis.
Sayang sekali ketika kita tidak memiliki hasrat dan dahaga akan pengetahuan. Padahal
dengan membaca, menurut saya pribadi, bukan hanya pengetahuan yaang kita dapat,
tetapi juga sebuah semangat, sebuah semangat yang menggebu-gebu untuk terus
membaca, karena bagi saya dengan membaca kita menjadi tahu, tahu akan
ketidaktahuan kita.
Itulah secuil
pengalaman yang saya dapatkan ketika saya membaca, dan saya merasa sangat
beruntung masih diberikan kesadaran akan kurangnya saya membaca, kesadaran akan
pentingnya membaca, kesadaran akan asyiknya membaca, dan kesadaran akan
nikmatnya letupan semangat kala membaca. Melalui pengalaman ini, saya ingin
menceritakan apa yang saya rasakan dan berharap Anda sekalian juga merasakan
apa yang saya rasakan ketika membaca.
Mari membaca, kawan!
[1] Alumni Sejarah Universitas Negeri Jakarta
[2] Gadis
Pantai adalah Roman yang tidak selesai, sebenarnya Gadis Pantai merupakan
trilogi. Namun, dikarenakan kekejaman tangan kekuasaan, dua lanjutan roman ini
harus hangus terbakar oleh keburukan dan kepicikan penguasa Orde Baru.
[3]
Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai,
(Jakarta : Lentera Dipantara, 2007), hal. 120-121
No comments:
Post a Comment