Kusumo
Digdoyo -- Njoto;
‘Berbudaya
Menuju Panggung Politik’
Oleh : Azis
Muhammad Benazir
“Politik
tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak…
Sekali lagi kawan, politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita
akan digilas mati olehnya. Karena itu dalam hal apa pun dan kapan saja pun,
politik harus menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima.”
–Njoto, 1927-1966(dinyatakan hilang) –
Masyarakat
awam tidak lah familiar dengan nama Kusumo
Digdoyo dalam
sejarah perpolitikan Indonesia ataupun hal yang berkaitan
dengan PKI.
Keterkaitannya dengan PKI lebih dikenal secara luas sebagai Wakil Ketua II CC
PKI dengan nama Njoto. Namanya lekat sekali dengan Harian Rakjat dimana dirinya menjadi salah seorang pemimpin redaksi sekaligus ‘pengisi rutin’ kolom Catatan Seorang Publisis. Njoto juga menjadi salah
seorang Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Sulung
dari tiga bersaudara ini terlahir dari pasangan Raden Sosro Hartono dan Malsamah
pada 17 Januari 1927 di
Jember. Ayahnya, Raden Sosro merupakan keturunan
bangsawan dari Solo yang kemudian mengembangkan usaha batik, jamu, dan segala
kebutuhan pakain Jawa lainya di daerah Bondowoso, Jawa Timur. Njoto
lahir dalam masa yang ‘radikal’ dalam periode
‘pergerakan’ rakyat-terutama buruh-dalam
membela hak-haknya.
Dalam masa itu Raden Sosro seringkali menerima kunjungan-kunjungan dari
kawannya yang eks-Digul di toko batik miliknya, selain itu Raden Sosro juga sering mengadakan rapat di tempat tersebut.
JALAN MENUJU PANGGUNG POLITIK
Sejak
kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti
yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti-wanti anak-anaknya agar rajin
membaca dan bukannya keluyuran. Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama
kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri
Windarti, turut serta karena Raden Sosro ingin anak-anaknya
bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih tinggi
kurikulumnya.
Pertimbangan itu karena sekolah rakyat pada masa itu hanya mengajarkan calistung
untuk orang pribumi
kebanyakan belum lagi lokasinya yang jauh di Bondowoso,
sekitar 30 kilometer utara Jember. Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO) merupakan sekolah setingkat
menengah pertama, di Jember. Nyoto bisa masuk sekolah itu
tanpa tes namun, cukup disayangkan
ketika tentara pendudukan Jepang datang sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak,
yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya
itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek
dan nenek dari pihak bapak tinggal.
Njoto
muda sudah akrab dengan pemikir-pemikir yang menjadi kiblat pejuang revolusi,
seperti Marx, Stalin, Lenin melalui karya-karya mereka. Ketika itu Njoto masih
duduk di bangku Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah
menengah pertama di Solo, Jawa Tengah, tanpa ada seorang pun yang
mengarahkannya membaca buku-buku tersebut. Masa
muda yang ia habiskan dengan buku-buku pemikir revolusioner
dan ia tunagkan dalam tulisan, serta dekatnya rekam jejak dari kerabat ayahnya
membawanya perlahan masuk kedalam pentas politik nasional.
Menginjak usia 16 tahun menurut Joesoef Isak,
Njoto menjadi perwakilan PKI Banyuwangi untuk Komite Nasional Indonesia Pusat,
tanpa kejelasan kapan ia mulai masuk
partai dan siapa yang mempengaruhinya. Pemuda-pemuda yang lebih progressive di Partai Komunis Indonesia ketika
itu berhasil menggusur pemimpin sepuh,
seperti Tan Ling Djie, Alimin, Wikana, dan Ngadiman Hardjosubroto, serta
mengambil alih kepemimpinan partai. Aidit menjabat Ketua, Lukman menduduki
posisi Wakil Ketua I, Njoto sebagai Wakil Ketua II, dan Sudisman mengisi kursi
Sekretaris Jenderal. Sebagai Wakil Ketua II, Njoto bertanggung jawab atas
Departemen Agitasi dan Propaganda. Lewat surat kabar ‘Harian Rakjat’ yang
embrionya berasal dari majalah teori
Bintang Merah, Njoto menghidupkan kembali PKI dan ‘menghajar’ lawan-lawan
politiknya. Sebaliknya, lewat kolom ‘Catatan Seorang Publisis’ di Harian
Rakjat, Iramani nama pena Njoto tampil lebih lembut dan ‘sastrawi’.
PERJUANGAN REVOLUSI BUDAYA
Selain
sebagai politisi Njoto juga berperan aktif sebagai pegiat seni.
Pada 17 Agutus 1950 Njoto bersama 15 seniman yang menyebut dirinya sebagai
pekerja kebudayaan-termasuk Aidit, mendirikan LEKRA (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) di Jakarta sebagai suatu bentuk jawaban terhadap Revolusi Agutus 1945 yang menurut
Ir. Soekarno belumlah selesai. Naskah proklamasi berdirinya organisasi ini yang
selanjutnya disebut Mukadimah
dibuka dengan pernyataan keras Revolusi Agustus 1945. Proklamasi,
revolusi yang diyakini LEKRA sebagai revolusi seluruh rakyat Indonesia dalam
mencapai kemerdekaan dari penjajahan, secara politis ekonomi dan kultural.
Setelah lima tahun dianggap telah gagal, dihambat oleh ‘perjuangan diplomasi’
yang dinilai meniadakan perjuangan dan pengorbanan rakyat selama Revolusi
Agutus 1945.
Dalam laporannya pada kongres pertamanya di Solo, Sekretaris Umum LEKRA Joebaar
Ajoeb menyatakan:
“Demikianlah, LEKRA
didirikan 5 tahun sesudah Revolusi Agustsus pecah, di saat revolusi tertahan
oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi, di saat garis revolusi
sedang menurun. LEKRA didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis
revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi,
tetapi juga pekerja-pekerja kebudayaan. LEKRA didirikan untuk menghimpun
kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi.”
Dalam
hal ini Njoto sebagai bagian dari LEKRA ikut menyuarakan betapa pentingnya
kebudayaan bagi ‘Indonesia baru’, kegagalan Revolusi Agustus 1945 yang
dibicarakan dalam Mukadimah, akan membawa kembali penjajahan dalam bentuk barunya, berwujud kebudayaan
yang bersifat feodal dan imprealis (budaya Barat). Kebudayaan yang selama ini
melahirkan jiwa pengecut dan penakut, serta merasa tidak mampu melakukan apapun
dalam rakyat Indonesia. Segenap pendiri LEKRA melihat setelah lima tahun
proklamasi kemerdekaan, secara mental dan budaya rakyat belumlah merdeka. Revolusi harus diselesaikan dengan jalan
meruntuhkan kebudayaan feodal dan menggantinya dengan kebudayaan yang
demokratis dan bersifat kerakyatan dan hasil-hasil kebudayaan berasal dari
rakyat dan bersama rakyat. Kebudayaan asing yang masuk haruslah di kritisi
untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia. Mereka yang tergabung dalam LEKRA
melakukan ‘perlawanan’ terhadap budaya asing-Barat. Seperti apa yang dilakukan
Njoto di penghujung Desember
1954, Njoto naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi, Bojonegoro, Jawa Timur.
Wakil Comitte Central PKI itu berbicara mengenai sikap PKI atas demoralisasi
masyarakat, khususnya bagi anak-anak pelajar yang disebabkan oleh pengaruh
budaya Barat.
“PKI menjokong setiap
usaha jang akan memberantas demoralisasi,” kata Njoto, “Tidak sadja dikalangan
peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang
suka meremehkan pengaruh jang ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan
musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa
merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita.”
Pemikiran-pemikiran
Njoto dan pekerja kebudayaan rakyat yang tergabung dalam LEKRA mendapat
pertentangan dari banyak pihak yang menganggap LEKRA terlalu mencerminkan
komunis dan PKI, LEKRA dianggap sebagai organ PKI dan kegiatannya dirasuki oleh
kepentingan -kepentingan politik. Njoto membantah dan
menolak pemikiran yang menganggap bahwa kebudayaan harus bersih dari politik,
bahwa seniman tidak boleh berpolitik karena akan menurunkan mutu artistik karya-karyanya. Baginya politik dan kebudayaan
tidak dapat dipisahkan, dan belum
dibuktikan bahwa seniman yang berpolitik akan merosot mutu kesenimannya.
Harian Rakjat-yang menjadi ‘microphone’ Njoto, edisi 4 Maret 1964
memuat ultimatum Njoto:
“Barang
siapa masih berkata djuga bahwa seni itu “non-politik”, sesungguhnja dia itu
reaksioner. Bukan saja jurnalistik, tetapi sport
pun tidak bisa disangkal lagi bertautan erat sekali dengan politik. Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan
seni”
Politik adalah Panglima, menurut Njoto
dan dimunculkan sebagai azas dan dibicarakan secara khusus dam Konfernas LEKRA
Agustus 1960. Politik yang dimakud
adalah politik yang maju, kerakyatan dan revolusioner, untuk membedakan
dengan politik yang kolot, anti kerakyatan dan
reaksioner.
Njoto pulalah yang menyuarakan prinsip kerja ‘turun ke bawah’ yang semula diperuntukkan
bagi pekerja-pekerja kebudayaan. Konsepsi mengenai ‘Kebudayaan Rakyat’ yang tertuang
dalam Mukadimah LEKRA merupakan buah
pemikiran mereka yang menyebut diri pekerja-pekerja kebudayaan, termasuk Njoto didalamnya-yang
paling berpengaruh. Njoto, melalui LEKRA, memberikan suatu rumusan mengenai pentingnya
kebudayaan; dalam artiannya yang luas sebagai pondasi ‘bangunan’ kebangsaan
Indonesia. Njoto mencoba kembali menyadarkan rakyat bahwa dalam sendi-sendi
kehidupan, kebudayaan merupakan suatu komponen yang paling penting harus
dipertahanakan. Nasionalisme dalam pandangan seniman yang pernah menjadi
Menteri Negara masa Kabinet Dwikora I ini diproyeksikan melalui budaya, sebagai
tindakan lanjutan Revolusi Agustus 1945.
Kusumo Digdoyo adalah nama asli dari Njoto. Njoto merupakan anak pertama dari Raden Sosro yang dilahirkan di Jember 17 Januari 1927. Lihat Julius Poor, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualangan, Jakarta: PT Kompas Media Indonesia, 2010, hlm. 443.
Inisiator dari LEKRA antara lain: D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto. Adapun anggota awal LEKRA diantaranya: M.S. Ashar, A.S. Dharta, Njoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb. Lihat, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, LEKRA Tidak Membakar Buku, Yogyakarta: Merakesumba, 2008, hlm. 21.
Pada masa–masa ini pada tahun 1926-1927 di Hindia Belanda sedang mengalami gejolak perjuangan–pemberontakan, yang dilakukan oleh banyak organisasi kerakyatan–yang mewadahi kaum buruh & tani. Salah satunya adalah PKI yang akhirnya ‘dihabisi’ oleh pemerintahan Hindia Belanda dan orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan ini diadili langsung tanpa di bawa ke meja hijau tepatnya mereka di buang ke Boven Digoel. Lihat, Harry A Poeze, Tan Malaka Gerakan kiri dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 2.
Raden Sosro merupakan aktivis komunis dan seorang pejuang kemerdekaan. Lihat, Julius Poor, Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan dan Petualangan. Jakarta: Kompas, 2010, op.cit. Ketertarikan awal Njoto terhadap Marxisme dapat diteluuri dari masa ini, sbelum akhirnya Njoto meneruskan sekolahnya ke Solo. Lihat juga, Njoto; Peniup Saxofon di Tengah Prahara, hlm. 10.
Tulisan ini tidak bermaksud mengesampingkan mengenai peran penting Njoto di HR, tapi lebih jauh kepada pemikiran-pemikiran Njoto mengenai kebudayaan yang selain tertuang dalam suara-suaranya di HR juga terangkum dalam kegiatannya di LEKRA.
Daftar Pustaka
Julius Poor, 2010, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualangan, Jakarta: PT Kompas Media Indonesia
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008, LEKRA Tidak Membakar Buku, Yogyakarta: Merakesumba.
Harry A
Poeze, 2008,
Tan Malaka Gerakan
kiri dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Leclerc
Jacques, 1979, Kondisi kehidupan Partai Kaum Revolusioner Indonesia Dalam
Mrencari
Identitas (1928-1948). Prisma.LP3ES. Jakarta
___________________, 2009, Njoto; Peniup
Saxofon di Tengah Prahara, Edisi Khusus Tempo: Orang Kiri
Indonesia.
Supranoto,
Alexander, 2000, Perdebatan Kebudayaan
Indonesia 1950-1965, Jakarta, Skripsi STF Driyarkara.
___________________,
1959, ‘Perkembanan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta
Peranan LEKRA Di Dalamnya’ dalam Dokumen
Kongres Nasional I LEKRA, Jakarta, Bagian Penerbitan LEKRA.
__________________,
1960, ‘Manifesto Politik dan Kebudayaan: Laporan Umum’, dalam, Laporan Kebudayaan Rakyat II, Jakarta,
Bagian Penerbitan LEKRA.