Monday, 21 April 2014
Saturday, 19 April 2014
Kehendak Yang Mesti Diperbaiki
Oleh: Citra Nuraini*
Kehendak untuk memperbaiki mesti ditinjau ulang oleh para wali
masyarakat.
The Will to Improve Tania Murray Li Hery Santoso dan Pujo Semedi (Penerjemah) Marjin Kiri,2012 536 halaman |
Masyarakat sebagai suatu entitas yang beragam, selalu dijadikan objek
sasaran berbagai progam pembanguan dari berbagai tokoh yang beragam, dari
tingkat lokal hingga internasional. Progam pembangunan ini selalu diproduksi
dan tidak akan pernah usai, sejak zaman
kolonial hingga kini. Tujuan berbagai
progam pembangunan itu adalah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Namun,
anehnya progam-progam pembangunan ini tidak mampu menuntaskan persoalan.
Keberadaan progam-progam ini justru membawa masalah baru bagi masyarakat.
Disinilah buku The Will to Improve tulisan Tania Muray Li menjawab
sengkarut persoalan yang lahir dari ‘kehendak untuk memperbaiki’ tersebut. Kehendak untuk memperbaiki, dikonsepkan dan
dilaksanakan oleh para aktor yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’. Para
wali masyarakat adalah sebuah kedudukan yang dibangun berdasarkan klaim bahwa
merekalah yang paling tahu tentang masyarakat karena mereka memiliki
pengetahuan. Para wali masyarakat ini melakukan intervensi dalam kehidupan
masyarakat setempat melalui gelanggang kekuasaan yang dinamakan Foucault
dengan ‘rasionalitas khas kepengaturan’,
yaitu upaya merumuskan “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia”
dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang spesifik” dan diraih
melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal. 11). Kepengaturan bertindak secara
persuasif. Kekuatan untuk mengarahkan orang bekerja dengan cara mengarahkan
minat, membentuk kebiasaan, mendorong internalisasi nilai-nilai, merumuskan
cita-cita dan kepercayaan bersama.
Dengan memanfaatkan fakta etnografis dan historis perubahan masyarakat
di Poso, Tentena, Taman Nasional Lore Lindu di pegunungan Sulawesi Tengah
sebagai fokus penelitian, Tania menjaskan secara kronologis perjalanan kehendak
untuk memperbaiki. Disana, selama seabad terakhir berbagai progam beserta
intervensi kepengaturan diciptakan.
Progam-progam pengaturan masyarakat, yang dilahirkan pemerintah
kolonial hingga rezim neoliberal sering saling tumpang tindih. Hal ini terjadi
kaena progam-progam tersebut memiliki persoalan mendasar dan mengidap
keterbatasan. Inilah kritik yang ditegaskan Tania. Keterbatasan pertama,
sedikitnya perhatian kepada rezim penguasa yang justru ditempatkan sebagai
mitra pembangunan, seburuk apapun pemerintahannya. Keterbatasan kedua, nihilnya
atensi terhadap relasi kekuasaan yang terselubung antara wali masyarakat dan
masyarakat binaan. Masyarakat bukanlah bejana kosong yang dapat diisi apa saja,
sedangkan para wali masyarakat pun bukan kaum yang bebas nilai dari kepentingan
kelompok. Hubungan tersebut mempertegas batas diantara keduanya yang
bersebrangan dan tak terjembatani. Bisa dikatakan, pemberdayaan masih merupakan
sebuah hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, pendekatan ini mengesampingkan
faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis
mereka. Batas inilah dasar yang membuat progam perbaikan dari dulu hingga kini,
bisa masuk akal dan berakar kuat, tetapi selalu bermasalah. (halaman 496)
Menariknya dalam buku ini, Tania tidak memberi satu kesimpulan tunggal
tentang yang harus kita lakukan. Melalui penjelasannya yang disusun dengan
deskripsi yang apik dan kaya data, dia hanya mengajak kita berpikir hingga ke
akar permasalahan, berpikir lebih luas, dan berpikir agar usaha perbaikan dapat
dikerjakan lebih manusiawi. Oleh karena itu, sudah selayaknya buku ini kita
baca.
*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia UNJ. Mantan pegiat pers mahasiswa.
Wednesday, 9 April 2014
Lahir Dari Rahim Negara
Oleh: Citra Nuraini*
Kebangkitan Soeharto,
kebangkitan kapitalisme Indonesia.
Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia
Richard Robison
Komunitas Bambu, 2012
432 halaman
|
Rezim
Soeharto memang telah runtuh. Namun, perbincangan mengenai rezim ini tidaklah
berhenti. Rezim ini selalu dibicarakan terkait pengaruhnya terhadap Indonesia.
Salah satu perubahan yang paling menarik untuk diteliti ialah berkembangnya
kapitalisme di Indonesia.
Richard
Robison dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia menguraikan
dengan baik evolusi negara-terkait pertumbuhan kelas kapitalis-zaman
prakolonial, kolonial, orde lama, hingga orde baru. Penjelasan yang sistematis
ini diperlukan untuk melihat sifat dari kapitalisme Indonesia. Jika kita
melihat secara runut sejarah, sifat kapitalisme Indonesia sangat unik. Sejak
awal kemunculannya, kelas kapitalis Indonesia sangat berbeda dengan Amerika dan
Eropa. Kaum borjuis Indonesia tidak melakukan pertentangan terhadap kaum
feodal. Dalam analisis Marx tentang sejarah perkembangan masyarakat, kelas
borjuis ini mulai tumbuh di masa feodalisme. Kemudian mereka inilah yang
melakukan revolusi, menengelamkan kekuasaan feodalisme yang dianggap menghambat
gerak mereka.
Dalam
buku ini, dijelaskan kerangka masyarakat nusantara prakolonial, tidak mengarah
pada terbentuknya borjuasi pemilik tanah, borjuasi pertanian, dan borjuasi
perdagangan. Bahkan hingga Belanda membawa sistem industrialisasi ke Hindia
Belanda, sedikit sekali pribumi yang dapat berkembang menjadi kelas borjuis.
Bahkan, Robison melihat kultur feodalisme menginternalisasi di setiap lapisan
masyarakat. Salah satunya nilai-nilai patronase yang tertanam kuat hingga kini.
Selain
itu, ada yang paling menarik dari buku ini. Robison akan membawa kita pada
dinamika pembentukan kelas kapital domestik dan kapital milik negara. Pasca
kemerdekaan, keduanya merupakan faktor penentu dalam membentuk sejarah
kapital Indonesia kontemporer.
Sejak
1949, ketika pemerintahan dijalankan dengan parlementer, negara berusaha
menciptakan landasan pijak bagi akumulasi kapital para kapitalis. Kondisi yang
diciptakan berupa pemberian pinjaman modal (pada realitasnya sering mengalami
gagal bayar), menciptakan regulasi khusus, proteksi dan subsidi negara.
Akhirnya, yang tumbuh dari sistem ini hanyalah kelas kapitalis kecil dan
lemah. Mereka bukanlah golongan yang menyandarkan
pada individualitas dan kemandirian, sebagaimana nilai-nilai kapitalisme itu
sendiri. Apalagi, kelas kapital swasta domestik tersebut mengandalkan hubungan
spesial dengan partai-partai politik saat itu.
Kebijakan
tersebut secara umum pun dianggap gagal. Struktur ekonomi tetap sama dengan
masa kolonial lahir. Antitesisnya, membentuk kapitalisme negara. Inilah yang
diterapkan demokrasi terpimpin, yang ternyata disokong dan digerakan oleh
militer. Dengan kendali militer, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi
dan dikendalikan militer. Hasil nasionaliasasi ini membentuk BUMN.
Kapitalisme
asing baru bermain di Indonesia ketika Soeharto menaiki tampuk kekuasaan.
Selain mengundang perusahaan swasta asing, pemerintahan Soeharto juga
mengundang lembaga utang asing untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan
ekonomi Indonesia yang sempat terpuruk di akhir demokrasi terpimpin. Kebijakan
tersebut memicu peristiwa Malari, sebagai titik balik kebangkitan kapitalisme
swasta domestik. Negara mengambil peran sebagai katalisator. Bisa dikatakan
bahwa mereka lahir dari rahim negara. Setelah, kelas kapitalis ini dapat
berlari kencang, mereka bertransformasi menjadi kelas terpenting dalam ekonomi
politik Indonesia. Dampaknya, setiap kebijakan pembangunan wajib mempertimbangkan
kepentingan mereka. Anehnya, sekalipun kelas kapitalis ini lahir dari rahim
negara, negara tidak luput dari cengkramannya. Ibarat kacang lupa kulitnya.
Gilanya
lagi, hubungan antara kaum birokrat negara dengan kapital swasta berkembang
lebih intim dan rumit yang menjurus pada pembentukan basis sosial atas
kekuasaan negara. Penguasa dan pengusaha menyatu melalui persetubuhan modal dan
birokrasi Negara. Semuanya berujung pada kelahiran keluarga-keluarga politik
birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh
mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem
patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Inilah perkembangan
mendasar kelas kapital di Indonesia yang
berpusat pada elemen korporasi yang lebih besar dari pada kapital kecil yang
semakin surut perannya.
Karena
itulah, jangan heran jika kaum kapitalis tidak akan mengubah kultur feodalisme.
Mereka tidak akan membawa perangkat institusi dan ideologi demokrasi liberal
seperti masyarakat barat. Toh, mereka sudah dininabobokan negara. Sangat
mungkin mereka mempertahankan apapun bentuk negaranya, yang penting akses dan pengaruh pada kebijakan negara terjamin.
Edisi
asli buku ini memang telah diterbitkan jauh sebelum kejatuhan Soeharto. Namun,
bukan berarti buku ini tidak mampu memetakan ekonomi politik hari ini. Jika
kita belajar dari sosio historis beberapa masa sebelumnya, bisa dilihat tidak
banyak pola yang berubah dari ekonomi politik Indonesia. Polanya tetap mengarah
pada patronase, terutama perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Bahkan kini
sistem mengharuskan si penguasa adalah pengusaha. Minimal disokong pengusaha.
Banyaknya partai-partai politik bukan berarti menandakan domokrasi politik.
Demokrasi simbolis macam pemilu langsung ya, tapi tidak untuk demokrasi politik
esensial.
Lalu
bagaimana dengan kelas kapitalis Indonesia? Sejak reformasi terbuka, kelas
kapital yang tadinya didominasi kroni-kroni Soeharto, kini lebih terbuka
aksesnya. Bahkan untuk kapital asing. Terlebih dengan adanya perdagangan bebas.
Masuknya kapital asing seolah ingin mengubur kapital swasta domestik. Jelas
mereka lebih resistan. Jika pemerintah tidak memberikan proteksi sewajarnya,
terutama pada kelas kapital kecil, maka jangan berharap progam-progam UMKM akan
berhasil maksimal. Pendidikan enterpreneur yang tadinya bertujuan menumbuhkan
kelas kapital domestik baru pun hanya sebuah utopia.Perselingkuhan penguasa dan
pengusaha memang harus dilawan, tapi bukan meniadakan proteksi kelas kapital
domestik.
Oleh
karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca, seberapapun terlambatnya edisi
Indonesia ini. Terlebih karena buku ini bukan hanya kaya data empiris, tapi
juga menyumbang pemikiran teoritis. Jadi, selamat membaca!
*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia UNJ
Subscribe to:
Posts (Atom)