Oleh: Citra Nuraini*
Kehendak untuk memperbaiki mesti ditinjau ulang oleh para wali
masyarakat.
The Will to Improve Tania Murray Li Hery Santoso dan Pujo Semedi (Penerjemah) Marjin Kiri,2012 536 halaman |
Masyarakat sebagai suatu entitas yang beragam, selalu dijadikan objek
sasaran berbagai progam pembanguan dari berbagai tokoh yang beragam, dari
tingkat lokal hingga internasional. Progam pembangunan ini selalu diproduksi
dan tidak akan pernah usai, sejak zaman
kolonial hingga kini. Tujuan berbagai
progam pembangunan itu adalah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Namun,
anehnya progam-progam pembangunan ini tidak mampu menuntaskan persoalan.
Keberadaan progam-progam ini justru membawa masalah baru bagi masyarakat.
Disinilah buku The Will to Improve tulisan Tania Muray Li menjawab
sengkarut persoalan yang lahir dari ‘kehendak untuk memperbaiki’ tersebut. Kehendak untuk memperbaiki, dikonsepkan dan
dilaksanakan oleh para aktor yang disebut Tania sebagai ‘wali masyarakat’. Para
wali masyarakat adalah sebuah kedudukan yang dibangun berdasarkan klaim bahwa
merekalah yang paling tahu tentang masyarakat karena mereka memiliki
pengetahuan. Para wali masyarakat ini melakukan intervensi dalam kehidupan
masyarakat setempat melalui gelanggang kekuasaan yang dinamakan Foucault
dengan ‘rasionalitas khas kepengaturan’,
yaitu upaya merumuskan “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia”
dalam rangka mencapai “serangkaian hasil akhir yang spesifik” dan diraih
melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal. 11). Kepengaturan bertindak secara
persuasif. Kekuatan untuk mengarahkan orang bekerja dengan cara mengarahkan
minat, membentuk kebiasaan, mendorong internalisasi nilai-nilai, merumuskan
cita-cita dan kepercayaan bersama.
Dengan memanfaatkan fakta etnografis dan historis perubahan masyarakat
di Poso, Tentena, Taman Nasional Lore Lindu di pegunungan Sulawesi Tengah
sebagai fokus penelitian, Tania menjaskan secara kronologis perjalanan kehendak
untuk memperbaiki. Disana, selama seabad terakhir berbagai progam beserta
intervensi kepengaturan diciptakan.
Progam-progam pengaturan masyarakat, yang dilahirkan pemerintah
kolonial hingga rezim neoliberal sering saling tumpang tindih. Hal ini terjadi
kaena progam-progam tersebut memiliki persoalan mendasar dan mengidap
keterbatasan. Inilah kritik yang ditegaskan Tania. Keterbatasan pertama,
sedikitnya perhatian kepada rezim penguasa yang justru ditempatkan sebagai
mitra pembangunan, seburuk apapun pemerintahannya. Keterbatasan kedua, nihilnya
atensi terhadap relasi kekuasaan yang terselubung antara wali masyarakat dan
masyarakat binaan. Masyarakat bukanlah bejana kosong yang dapat diisi apa saja,
sedangkan para wali masyarakat pun bukan kaum yang bebas nilai dari kepentingan
kelompok. Hubungan tersebut mempertegas batas diantara keduanya yang
bersebrangan dan tak terjembatani. Bisa dikatakan, pemberdayaan masih merupakan
sebuah hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, pendekatan ini mengesampingkan
faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis
mereka. Batas inilah dasar yang membuat progam perbaikan dari dulu hingga kini,
bisa masuk akal dan berakar kuat, tetapi selalu bermasalah. (halaman 496)
Menariknya dalam buku ini, Tania tidak memberi satu kesimpulan tunggal
tentang yang harus kita lakukan. Melalui penjelasannya yang disusun dengan
deskripsi yang apik dan kaya data, dia hanya mengajak kita berpikir hingga ke
akar permasalahan, berpikir lebih luas, dan berpikir agar usaha perbaikan dapat
dikerjakan lebih manusiawi. Oleh karena itu, sudah selayaknya buku ini kita
baca.
*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia UNJ. Mantan pegiat pers mahasiswa.
No comments:
Post a Comment