Oleh: Citra Nuraini*
Kebangkitan Soeharto,
kebangkitan kapitalisme Indonesia.
|
Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia
Richard Robison
Komunitas Bambu, 2012
432 halaman
|
Rezim
Soeharto memang telah runtuh. Namun, perbincangan mengenai rezim ini tidaklah
berhenti. Rezim ini selalu dibicarakan terkait pengaruhnya terhadap Indonesia.
Salah satu perubahan yang paling menarik untuk diteliti ialah berkembangnya
kapitalisme di Indonesia.
Richard
Robison dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia menguraikan
dengan baik evolusi negara-terkait pertumbuhan kelas kapitalis-zaman
prakolonial, kolonial, orde lama, hingga orde baru. Penjelasan yang sistematis
ini diperlukan untuk melihat sifat dari kapitalisme Indonesia. Jika kita
melihat secara runut sejarah, sifat kapitalisme Indonesia sangat unik. Sejak
awal kemunculannya, kelas kapitalis Indonesia sangat berbeda dengan Amerika dan
Eropa. Kaum borjuis Indonesia tidak melakukan pertentangan terhadap kaum
feodal. Dalam analisis Marx tentang sejarah perkembangan masyarakat, kelas
borjuis ini mulai tumbuh di masa feodalisme. Kemudian mereka inilah yang
melakukan revolusi, menengelamkan kekuasaan feodalisme yang dianggap menghambat
gerak mereka.
Dalam
buku ini, dijelaskan kerangka masyarakat nusantara prakolonial, tidak mengarah
pada terbentuknya borjuasi pemilik tanah, borjuasi pertanian, dan borjuasi
perdagangan. Bahkan hingga Belanda membawa sistem industrialisasi ke Hindia
Belanda, sedikit sekali pribumi yang dapat berkembang menjadi kelas borjuis.
Bahkan, Robison melihat kultur feodalisme menginternalisasi di setiap lapisan
masyarakat. Salah satunya nilai-nilai patronase yang tertanam kuat hingga kini.
Selain
itu, ada yang paling menarik dari buku ini. Robison akan membawa kita pada
dinamika pembentukan kelas kapital domestik dan kapital milik negara. Pasca
kemerdekaan, keduanya merupakan faktor penentu dalam membentuk sejarah
kapital Indonesia kontemporer.
Sejak
1949, ketika pemerintahan dijalankan dengan parlementer, negara berusaha
menciptakan landasan pijak bagi akumulasi kapital para kapitalis. Kondisi yang
diciptakan berupa pemberian pinjaman modal (pada realitasnya sering mengalami
gagal bayar), menciptakan regulasi khusus, proteksi dan subsidi negara.
Akhirnya, yang tumbuh dari sistem ini hanyalah kelas kapitalis kecil dan
lemah. Mereka bukanlah golongan yang menyandarkan
pada individualitas dan kemandirian, sebagaimana nilai-nilai kapitalisme itu
sendiri. Apalagi, kelas kapital swasta domestik tersebut mengandalkan hubungan
spesial dengan partai-partai politik saat itu.
Kebijakan
tersebut secara umum pun dianggap gagal. Struktur ekonomi tetap sama dengan
masa kolonial lahir. Antitesisnya, membentuk kapitalisme negara. Inilah yang
diterapkan demokrasi terpimpin, yang ternyata disokong dan digerakan oleh
militer. Dengan kendali militer, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi
dan dikendalikan militer. Hasil nasionaliasasi ini membentuk BUMN.
Kapitalisme
asing baru bermain di Indonesia ketika Soeharto menaiki tampuk kekuasaan.
Selain mengundang perusahaan swasta asing, pemerintahan Soeharto juga
mengundang lembaga utang asing untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan
ekonomi Indonesia yang sempat terpuruk di akhir demokrasi terpimpin. Kebijakan
tersebut memicu peristiwa Malari, sebagai titik balik kebangkitan kapitalisme
swasta domestik. Negara mengambil peran sebagai katalisator. Bisa dikatakan
bahwa mereka lahir dari rahim negara. Setelah, kelas kapitalis ini dapat
berlari kencang, mereka bertransformasi menjadi kelas terpenting dalam ekonomi
politik Indonesia. Dampaknya, setiap kebijakan pembangunan wajib mempertimbangkan
kepentingan mereka. Anehnya, sekalipun kelas kapitalis ini lahir dari rahim
negara, negara tidak luput dari cengkramannya. Ibarat kacang lupa kulitnya.
Gilanya
lagi, hubungan antara kaum birokrat negara dengan kapital swasta berkembang
lebih intim dan rumit yang menjurus pada pembentukan basis sosial atas
kekuasaan negara. Penguasa dan pengusaha menyatu melalui persetubuhan modal dan
birokrasi Negara. Semuanya berujung pada kelahiran keluarga-keluarga politik
birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh
mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem
patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Inilah perkembangan
mendasar kelas kapital di Indonesia yang
berpusat pada elemen korporasi yang lebih besar dari pada kapital kecil yang
semakin surut perannya.
Karena
itulah, jangan heran jika kaum kapitalis tidak akan mengubah kultur feodalisme.
Mereka tidak akan membawa perangkat institusi dan ideologi demokrasi liberal
seperti masyarakat barat. Toh, mereka sudah dininabobokan negara. Sangat
mungkin mereka mempertahankan apapun bentuk negaranya, yang penting akses dan pengaruh pada kebijakan negara terjamin.
Edisi
asli buku ini memang telah diterbitkan jauh sebelum kejatuhan Soeharto. Namun,
bukan berarti buku ini tidak mampu memetakan ekonomi politik hari ini. Jika
kita belajar dari sosio historis beberapa masa sebelumnya, bisa dilihat tidak
banyak pola yang berubah dari ekonomi politik Indonesia. Polanya tetap mengarah
pada patronase, terutama perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Bahkan kini
sistem mengharuskan si penguasa adalah pengusaha. Minimal disokong pengusaha.
Banyaknya partai-partai politik bukan berarti menandakan domokrasi politik.
Demokrasi simbolis macam pemilu langsung ya, tapi tidak untuk demokrasi politik
esensial.
Lalu
bagaimana dengan kelas kapitalis Indonesia? Sejak reformasi terbuka, kelas
kapital yang tadinya didominasi kroni-kroni Soeharto, kini lebih terbuka
aksesnya. Bahkan untuk kapital asing. Terlebih dengan adanya perdagangan bebas.
Masuknya kapital asing seolah ingin mengubur kapital swasta domestik. Jelas
mereka lebih resistan. Jika pemerintah tidak memberikan proteksi sewajarnya,
terutama pada kelas kapital kecil, maka jangan berharap progam-progam UMKM akan
berhasil maksimal. Pendidikan enterpreneur yang tadinya bertujuan menumbuhkan
kelas kapital domestik baru pun hanya sebuah utopia.Perselingkuhan penguasa dan
pengusaha memang harus dilawan, tapi bukan meniadakan proteksi kelas kapital
domestik.
Oleh
karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca, seberapapun terlambatnya edisi
Indonesia ini. Terlebih karena buku ini bukan hanya kaya data empiris, tapi
juga menyumbang pemikiran teoritis. Jadi, selamat membaca!
*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia UNJ