Judul : The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Inttelectual Emancipation
Penulis : Jacques Ranciere
Alih Bahasa : Kristin Ross
Penerbit : Stanford University Press, Stanford, California
Tahun Terbit : 1991
Halaman : XXIII+148 halaman
Siapapun mampu mengajari apa-apa yang tidak diketahuinya (jika yang diajar telah teremansipasi)
Pada 1818, Joseph Jacotot, Professor University of Louvain, Belgia diminta mahasiswanya untuk mengajar Bahasa Prancis. Ketika itu disiplin ilmu belum terlalu ketat, demikian Jacotot. Ia menguasai beberapa disiplin ilmu seperti Matematika, Hukum, dan ideologi, namun tak sama sekali ia mengerti Bahasa Prancis. Tak mau menyerah, ia menyanggupi permintaan mahasiswanya sekaligus memulai petualangan intelektualnya.
Menggunakan edisi dwibahasa (Prancis-Belgia) Telemaque, novel didaktik karangan Fenelon, dibantu seorang alih bahasa, kelas Bahasa Prancis Jacotot dimulai dengan satu relasi setara: Jacotot dan mahasiswanya tak mengetahui apa-apa soal bahasa Prancis. Telemaque merupakan kisah petualangan anak Ulysses, Telemachus bersama gurunya, Mentor yang kelak di akhir novel diketahui sebagai Minerva, dewa kebijaksanaan.
Alih-alih memberikan penjelasan tata bahasa, rambu-rambu gramatikal, konjugasi, dan cara melafalkan bahasa Prancis, mahasiswa Jacotot hanya membaca Telemaque. Mereka mengorespondensikan kata dalam bahasa Prancis yang mirip dalam bahasa Belgia, dan mandiri merumuskan komposisi gramatikalnya untuk kemudian dikonfirmasi artinya kepada alih bahasa.
Setelah pembacaan mencapai setengah buku, satu persatu mahasiswa diminta membaca kembali Telamaque dari awal. Alih bahasa bertugas mengoreksi-tanpa memberitahu apa yang benar-semua tata bahasa yang terucap dan terpahami. Jika masih ada yang salah, mahasiswa harus mengulang dan mengulang kembali Telemaque dari awal. Jika tak ada yang salah, mahasiswa Jacotot diperbolehkan membaca setangah buku sisanya. Di akhir pembelajaran, Jacotot yang mulanya pesimis malah terkejut dengan kemampuan mahasiswanya memehami bahasa Prancis sebagaimana orang Prancis (native speaker) memahaminya.
He Expected horrendous barbarisms, or maybe a complete inability to perform. How could these young people, deprived of explanation, understand and resolve the difficulties of a language entirely new to them? No matter! He had to find out where the route opened by chnce had taken them, what had been the results of that desperate empiricism. And how surprisedhe was to discover that the students, left to themselves, managed this difficult step as well as many French could have done! Was wanting all that necessery for doing. Were all men virtually capable of understanding what others had done and understood (hal. 2).
Lebih dari satu abad kemudian eksperimentasi Jacotot jadi titik awal Jacques Ranciere menulis The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Intellectual Emancipation (1987). Seperti yang Jacotot lakukan, Ranciere meyakini bahwa pendidikan, khususnya urusan belajar mengajar harus diawali dengan kesetaraan, bukan malah menjadikannya sebagai tujuan.
Ketaksetaraan, menurut Jacotot adalah keniscayaan dalam dunia akademik, pendidikan pada dasarnya dibangun atas relasi asimetris: antara yang mengetahui dan tidak mengetahui. Hal terpenting yang dilakukan pendidik adalah mentransmisikan pengetahuannya kepada peserta didik hingga pemahaman peserta didik berada pada level yang sama dengan pendidik (hal.3). Hal ini pula yang dalam tataran lebih kompleks membangun struktur akademik yang ada hingga saat ini.
Penjelasan (Explication) adalah hal yang dilihat Ranciere dari eksperimentasi Jacotot sebagai sesuatu yang membuat relasi asimetris tadi langgeng dan diterima begitu saja dalam sistem pendidikan. Jika mahasiswa kelas Bahasa Prancis Jacotot mengerti Bahasa Prancis pada akhir pelajaran, tanpa sedikitpun penjelasan dari Jacotot, lantas apa guna pendidik selama ini memberi penjelasan? Jika tanpanya peserta didik mampu mandiri mengerti.
Saya memahami penjelasan yang disebut Ranciere tak sekadar menjelaskan bagaimana rangkain seri dan pararel dalam kelistrikan, bagaimana tak pernah ada lebar dan tinggi dalam sebuah garis, bagaimana perjuangan Diponegoro tak mewakili semangat nasionalisme, dan seterusnya. Ia terakit dengan otoritas hirarki intelejensi, ia terakumulasi melalui verifikasi pengetahuan, ia menghasilkan superioritas dan inferioritas.
Dan oleh karenanya, menurut Ranciere yang benar bukanlah peserta didik yang membutuhkan pendidik, melainkan sebaliknya, pendidik yang membutuhkan peserta didik. Sebab dalam medan pendidikan, tanpa peserta didik seluruh atribusi yang menempel di tubuh pendidik tak berguna sama sekali. Tanpa peserta didik, intelektualitas pendidik tak pernah termanifestasikan. Pendidik menjadi superior melalui otoritas, dan peserta didik pasti memulai dengan inferioritas.
Ranciere menyebut kondisi ini sebagai mitos pedagogi yang membagi dunia menjadi dua bagian, lebih tepatnya membagi intelejensi menjadi dua: si superior dan si inferior (hal. 7). Pendidik, si superior melalui otoritasnya terhadap pengetahuan memberikan penjelasan kepada peserta didik yang pasti inferior.
Sialnya penjelasan-penjelasan yang dilakukan mengupayakan sebuah pembodohan (stultification). Ia membatasi gerak pikir peserta didik, sebab mematikan apa yang disebut Ranciere sebagai bahasa ibu (mother tongue). Alih-alih berpetualang seperti Telemachus yang diberitahu Mentor ada satu dunia nan luas untuk dijelajah, peserta didik harus belajar.
Peserta didik mendengar pendidik, kemudian mengulanginya terus menerus, mereka membaca namun tak mengerti. di sini pendidik muncul memberi penjelasan sekaligus berperan sebagai pemberi makna (explicator) guna menjelas satu ihwal untuk pertama kalinya. Dan oleh karenanya, selama ada subordinasi selama itu pula pembodohan terjadi (hal.13).
Sebuah Antiklimaks: Mulanya Kehendak
Dalam wawancara oleh Peter Hallward untuk Jurnal Angelaki (2003), Ranciere mengakui ada dua hal penting yang membuatnya tertarik dengan ihwal otoritas, keahlian, pendidikan. Pertama adalah saat ia belajar di Ecole Normale Superieure (ENS). Dalam domain universitas di Prancis, ENS berada di luar kerangka universitas umum. ENS merupakan pendidikan tinggi yang bertugas menghasilkan Professor.
I am, in the first instance, a tudent. I am one of those people who is a perpetual student and whose profesional fate, as a consequence, is to teach others. “Teaching” obviously implies a certain position of mastery, “researcher” implies in some way a position of knowledge, “teacher-researcher” implies the idea of the teacher adapting a position of institutional mastery to one mastery based on knowledge (Hallward & Ranciere, 2003:194).
Kedua adalah, hubungannya dengan Althusser, khususnya saat Ranciere bersama beberapa mahasiswa dalam Union des Etudiants Communistes memulai proyek pionir membaca Capital Marx-yang dianggap sangat naif oleh Ranciere-hingga keretakan hubungannya dengan Althusser. Tak hanya membaca Capital, proyek ini juga diikuti serangkaian seminar, untuk publikasi sekaligus sebagai bekal radikalisasi Gerakan Mei 1968 di Paris.
Proyek ini membawa dilema bagi Ranciere, satu sisi ia mengalami petualangan intelektual dalam menelusur Marxisme sebab ia tak pernah baca Capital sebelumnya. Di lain sisi, dalam seminar perannya sebagai pionir memberikannya otoritas sebagai yang lebih mengetahui Marxisme dibanding audiens (Hallward & Ranciere, 2003:195). Hemat Ranciere ada petualangan intelektual dan dogmatisme teori yang berkelindan.
Dilema memuncak saat Rancierre tak setuju radikalisasi Gerakan Mei 1968 Paris masuk ke dalam tubuh Universitas. Althusser menginginkan Jurusan Filsafat di Universitas Paris VIII (St. Denis) dijadikan semacam Akademi Marxis, guna mengajari aktivis May 1968 Paris urusan Marxis. Setelahnya Rancierre resmi memutus relasinya dengan Althusser dan mengecam pembentukan Akademi Marxis tersebut sebagaimana ia mengecam pendidikan yang paling tidak berjalan selama ini dibangun atas ketaksetaraan.
Menggunakan kelas Bahasa Prancis Jacotot, Ranciere ingin menyatakan bahwa all men are equally intelligence. Karena intelenjensia-Saya mengartikan intelejensia sebagai sebuah apapun yang mampu dilakukan pikiran termasuk proses dan akumulasinya-hanya bisa dilihat dari efeknya, namun ia tak bisa diukur maupun disolasi mandiri.Sebab pada dasarnya tak pernah ada ukuran untuk intelejensia (hal.46), dan oleh karenanya tak pernah ada intelejensia.
Cenderung nihilis memang, bahkan romantik. Mengapa? Begini Ranciere mencontohkan: seorang filsuf sedang memerhatikan tingkah polah dua manusia. Saat-saat pertama hidupnya, mereka memperlihatkan atensi serupa pada satu hal, menginginkan hal yang sama pada tujuan yang lain. Semakin dewasa, atensi pada satu hal tak lagi serupa, demikian tujuan untuk hal yang lain tak lagi sama (hal. 50).
Apa sebab? Bocah memiliki kebutuhan yang sama untuk dipenuhi agar eksistensinya terjaga. Dan insting membuat mereka setara memuaskan kebutuhannya. Setelah dewasa, dunia menuntut dua manusia tadi memiliki eksistensi yang berbeda (hal. 51). Mereka kemudian mengembangkan kemampuan hidupnya-termauk intelejensia-agar kompatibel dengan tuntutan eksistensinya. Akibatnya, atensi dan tujuan awal tadi tak lagi serupa, dan oleh karenanya hasilnya pun tak pernah sama.
Jadi jika di kemudian hari, dua manusia tersebut bertaruh siapa paling banyak berkencan dengan mahasiswi dalam satu bulan dan hasilnya sangat timpang-yang pertama mampu berkencan lebih dari lima kali, sedang yang terakhir di akhir bulan masih memetakan perempuan mana yang dia ajak berkencan- bukan karena yang terakhir tak punya kemampuan menggaet perempuan, namun karena ia selama kuliah lebih asyik masyuk demonstrasi alih-alih tebar pesona seperti yang pertama.
Kemudian, apa yang mampu mengonstitusikan eksistensi seorang? Rancierre menjawabnya sebagai kehendak (will). Manusia, kata Rancierre, adalah kehendak yang dilayani oleh intelejensia, ia adalah kekuatan rasional hasil perseteruan harapan dan kenyataan (hal. 54).
Sebermula adalah kehendak, lalu perjalanan dari pikiran ke pikiran, yang berkehendak adalah yang mengemansipasi. Ketika yang terakhir tak mampu menggaet satu perempuan pun, tak lantas ia tak memiliki kapabilitas urusan perempuan melainkan ia tak berkehendak. Kedua pemuda tadi pada dasarnya punya kemampuan yang setara dalam menggaet perempuan.
Dari kenyataan bahwa tiap manusia punya intelejensi setara dan mulanya kehendak serta kisah kelas bahasa Prancis Jacotot, Ranciere merumuskan bahwa ada satu universalitas dalam soal pendidikan (universal teaching), khususnya urusan tranmisi pengetahuan, tentang belajar dan mengajar.
One must learn something and relate everything else to it, seorang harus mempelajari sesuatu karena ada pada dasaranya ia memiliki intelejensi namun kehendak yang akan menentukan apa dan sejauh mana hasil pelajaran itu. Dengan dasar intelejensi setara dan kehendak mumpuni, mahasiswa Jacotot akhirnya mampu menguasai bahasa Prancis.
Karena seorang harus mempelajari sesuatu sebab ia berkehendak maka tak ada orang lain yang beerwenang mengatur apa-apa yang ingin ia pelajari. Ia akan mampu mempelajari hal baru dengan mengaitkannya dengan apa-apa yang telah ia pelajari. Apapun itu.
Oleh sebab itu pula, Jacotot menolak semua bentuk lembaga sosial yang bertugas mengemansipasi manusia, termasuk sekolah. Sebab lembaga sosial tersebut dibangun oleh posisi-posisi oleh aktor sosial yang mengandaikan ketaksetaraan. Lagipula lembaga sosial turut pula bertugas memproduksi aktor-aktor tadi (hal. 103).
Apapun namanya, dan bagaimanapun caranya ketika individu sepakat membentuk kelompok hanya ada satu prinsip landasan: distribusi peran didasarkan atas ketaksetaraan intelejensi (hal.131). Meski demikian di tengah medan ketaksetaraan, individu menurut Ranciere masih mampu mewujudkan kestaraan dan disini peran emansipasi terhadap individu ambil bagian (hal. 133).
Melalui apa? “kehendak,” jawab Ranciere.
Selama ia tak memiliki kehendak atau sedikit berkehendak, ia tak akan pernah termansipasi. Dan oleh karenanya seorang bodoh bukan karena ia tak pintar atau memiliki intelejensi rendah dibanding yang pintar melainkan karena ia tak berkehendak. Katakanlah malas.
@anggarseptiadi
Kandang Buku
#Asah Maka Tajam
Friday, 5 February 2016
Monday, 2 November 2015
Meneropong Imajinasi Antikolonial
Oleh Iman Zanatul Haeri
Membaca karya Anderson,
kita tidak dapat mereduksinya menjadi satu tema pusat dan memahami struktur
narasinya sebagai narasi tunggal. Terlebih bahwa judul buku ini sudah
menyiratkan hal tersebut. Bagi para pembaca awam, tentu akan kesulitan memahami
perubahan politik di tiga negara tersebut pada akhir abad ke 19; Spanyol
sebagai simbol kekuatan kolonial tertua yang tengah sakit keras, Cuba dan
Filiphina sebagai wilayah koloni terakhir Spanyol yang sedang dirundung
pergolakan politik yang disebabkan oleh trend politik saat itu: Anarkisme; Nihilisme; gerakan Demokrasi yang terlambat; Marxisme; Komunisme dan Nasionalisme
yang selalu berkawin silang satu dengan lainnya.
Di Bawah Tiga Bendera Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial Benedict Anderson Marjin Kiri, 2015 378 halaman |
Telaah lebih lanjut
dari fokus kajian ini ternyata lebih luas dari yang kita kira. Situasi politik
Spanyol; Filiphina dan Cuba dipengaruhi oleh situasi Politik di Perancis, Jerman,
Jepang, Russia, yang terakhir Amerika Serikat. Semua itu dihubungkan oleh
Anarkisme dan sikap anti-kolonial yang melewati batas-batas benua. Bahwa para
tokoh Anarkis dan tokoh kemerdekaan daerah kolonial berjejaring dan membangun
relasi komunikasi interpersonal di Negara-Negara tersebut. Lebih menarik juga,
bahwa beberapa pelaku anarkisme dan penyebaran ide anti-kolonial dibahas secara
rinci, memungkinkan kita untuk memahami lebih lanjut pilihan-pilihan politik,
persinggahan ke berbagai negara dari beberapa situasi yang sifatnya pribadi dan
ditentukan oleh perasaan-perasaan yang manusiawi.
Tema besar Antikolonial
diawali dengan kisah perjalanan hidup bapak bangsa Filiphina, Jose Rizal.
Memang pembahasan mengenai kehidupan, pemikiran, hubungannya dengan tokoh
pribumi Filiphina sendiri[1]
dan terutama novelnya yang memiliki pengaruh sangat besar Noli Me Tangere
(Jangan Sentuh aku) dan El Filibusterismo (Subversif). Bukan kebetulan bahwa
pada pertengahan abad ke-19, produksi novel-novel besar sebagai “Republik Global Kesusastraan” mulai
meluas ke seluruh dunia. Dari Moby Dick karya Melville (1819), Max Havelaar
karya E. D. Dekker dari Belanda (1860)[2],
Karya Leo Tolstoi dari Russia (1828), novel karya Tagore dari Bengali (1861)
hingga Natsumi Soseki dari Jepang (1867).[3]
Tetapi, diawal penjelasan mengenai kehidupan Rizal, Ben Anderson mencoba
melihat rekan sebangsa Rizal yang sesungguhnya memiliki kemampuan yang justeru
melebihi Rizal dari segi kualitas. Orang itu adalah Isabelo de los Reyes.
Isabelo merupakan
seorang antropolog pertama asal Filiphina yang mengusung Folklore. Baginya
Folklore merupakan Ilmu baru. Folklore artinya “Kearifan lokal.” Memang kemunculan
bidang kajian ini termasuk baru juga ditanah kelahirannya; Eropa. Menarik bahwa
folklore sudah menjadi kajian di Inggris, lalu Perancis kemudian Filiphina! Dan spanyol, seperti biasa ketinggalan
secara intelektual.[4]
Pertanyaannya
sederhana, mengapa Folklore? Apakah tidak ada kajian lain yang bisa
membangkitkan semangat juang nasionalisme? Hal ini terjawab dengan kondisi
bahwa tidak ada yang tersisa bagi rakyat Filiphina sebelum Kolonialisasi—tidak
ada sejarah yang tersisa.[5]
Sudah disebutkan bahwa Islam dan Budhisme hanya memiliki pengaruh yang tipis
terhadap rakyat Filiphina, maka wajar bila upaya kristenisasi masuk tanpa
hambatan berarti. Dari sudut pandang ini, folklore dapat menggantikan kemegahan
masa lalu.
Sikap Antikolonial
Rizal satu paket dengan anti-katolik, sebab sampai dititik akhir, Vatikan selalu
menunjukan sebagai pendukung politik kolonial Spanyol, ditambah dengan prilaku
tidak adil pihak katolik Filiphina dengan penyerobotan tanah keluarga Rizal
sebagai respon atas kritik rizal terhadap Katolik dalam novelnya, serta
beberapa insiden tidak dibolehkannya Rizal menikah secara katolik.
Tetapi kemalangan
penulis satu ini tidak hanya itu, rencana Rizal untuk hidup damai di sebuah
wilayah di pulau Kalimantan gagal, nama besarnya malah merugikannya,[6]
prilaku santunnya[7]
yang tidak mengubah keputusan penangkapan atas dirinya; sampai eksekusi,[8]
dan berkali-kali berusaha menunjukan ketidak terlibatannya atas perlawanan
terhadap penguasa kolonial melalui surat-suratnya[9]
terhadap Fernando Blumentritt yang sangat mengharukan.
“saudaraku tercinta,
Saat Engkau menerima Surat ini, aku sudah tidak ada. Esok pada pukul 7, aku
akan ditembak; namun aku tidak bersalah atas tuduhan melakukan pemberontakan.”
Ditengah
penyangkalannya atas tuduhan-tuduhan tersebut, novelnya mampu menyajikan
imajinasi Nasionalisme Filiphina yang menjadi motor pemberontakan Katipunan.[10]
Ben, membuktikan berkali-kali bahwa pengaruh besar Rizal bukan berasal dari
kehidupan pribadinya, namun dari pengaruh daya imajinasi yang dihasilkan oleh
novelnya, sangat berbahaya dilihat dari kondisi politik saat itu. Meskipun itu
hanya khayalan tentang masa depan Filiphina sekalipun. Disisi lain, anarkisme
sedang tumbuh sebagai perpecahan dari perkumpulan Komunis internasional.[11]
Berbagai upaya pemberontakan dan aksi anarkisme atau Bendera Hitam[12]
untuk menjatuhkan kekuatan kolonial ini tidak hanya di Spanyol, tapi Perancis,
Jerman, Amerika Serikat, Italia, Serbia[13]
dan pembunuhan beruntun di Russia oleh kaum Nihilis.[14]
Seperti Sergei Nechayev
hingga Vera Zasuclich. Yang terakhir ini adalah seorang yang pertama kali
menerjemahkan karya Marx ke bahasa Russia. Pembunuhan tokoh politik yang paling
gencar tersebut dibantu dengan ditemukannya Dinamit oleh Alfred Nobel.[15]
Teror pembunuhan dimana-mana. Melaui tiga cara; Tikam, tembak dan ledak.[16]
Disisi lain kekuatan Nasionalisme secara global mencapai Cina dan Jepang
sebagai tempat pengasingan yang nyaman.
Lalu bagaimana
peristiwa di Cuba, dan peran Tarrida yang cukup sentral melalui
artikel-artikelnya yang sangat tajam mengenai kemerdekaan Cuba, Puerto Rico dan
serangannya atas keberadaan Montjuich; sebuah penjara yang paling kejam di
Spanyol, justru semua orang mengetahuinya melalui tulisan Tarrida.[17]
Situasi yang kompleks
tersebut; Anarkisme sebagai kekuatan
baru yang menakutkan kekuasaan kolonial, serta kekuatan anti-kolonial yang
imajinasinya mampu melewati batas-batas bahasa dan geografi diartikan sebagai
kekuatan zaman globalisasi pertama
yang meletus pada akhir abad ke-19. Narasi
ini kemudian dirangkai dengan kisah-kisah unik yang tidak mampu dijelaskan oleh
kajian satu dimensi keilmuan. Disinilah akhirnya Ben Anderson disebut sebagai
Astronomi Politik. Meneropong sejarah layaknya cahaya bintang melalui kegelapan
dan Imajinasi. Cukup mengejutkan, bahwa untuk memahami babakan baru Globalisasi
pertama ini, Ben Anderson mengutip istilah yang hanya ditemukan di Indonesia, yang
ditulis Oleh Sutan Sjahrir. Ketika itu Sjahrir mencoba untuk menggambarkan
kondisi saudara sebangsanya pada perjuangan kemerdekaan tahun 1945 dengan
istilah “Gelisah”. Suatu kata yang
sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Inggris, yang makna semantiknya
meliputi Anxious (cemas), trembling (gemetar), unmoored (tanpa pegangan), expectant (menanti-nanti).[18]
Jung
Coffee, Rawamangun 28 Oktober 2015
[1] Mengenai hal ini, Ben Anderson membuat sub judul tersendiri sebagai
“Keretakan dalam kelompok Nasionalis Imigran”. Narasi ini dimulai dengan
terbitnya La Solidaridad oleh
sekelompok Filiphina di Barcelona. Penerbitan ini berbarengan dengan beberapa
jurnal marxist dan anarkis. Lihat, 146. Disinilah interaksi pertama Rizal
dengan Del Pilar yang memiliki cita-cita kemerdekaan yang jelas, tetapi
mendukung program Asimilasi Spanyol-Filiphina melalui kalangan politik Liberal
di Madrid.
[2] Rizal mengakui sendiri dirinya banyak terpengaruh oleh novel Multatuli
(Max Havelaar) Atau bila Max Havelaar adalah novel anticolonial pertama yang
ditulis oleh orang Eropa sendiri, maka El Filibusterismo merupakan novel
anticolonial yang pertama ditulis oleh pribumi/terjajah!, lihat, hlm.71
[3] Hlm.43
[4] Hlm.4
[5] Baik Isabelo dan Rizal tidak mampu menemukan, dengan perasaan
menyerah, data historis bahwa Filiphina memiliki kebanggaan masa lalu yang
patut diperjuangkan sebagai orientasi kemerdekaan. Lihat, Hlm 37. Untuk
komparasi, bisa dibandingkan dengan Sejarah Kemerdekaan Indonesia. Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia dapat menemukan berbagai kemegahan masa lalu dari |Era Kemaritiman,
kesultanan-kesultanan Besar hingga kerajaan-kerajaan besar era Hindhu-Budha
seperti Sriwijaya atau Majapahit.
[6] “Bangsaku: sepulang dari
Spanyol aku tahu bahwa namaku telah dipakai sebagai pekik perang dikalangan
tertentu yang mengangkat senjata…” lanjutannya bisa dibaca, lihat hlm.
249-150.
[7] Tidak pernah terlibat dalam berbagai kegiatan subversive dan
anarkis, membangun komunikasi yang intens dengan penguasa colonial, tidak
menghentikan penguasa Kolonial Spanyol memukul rata dengan pelaku yang
jelas-jelas melakukan tindakan tersebut. Atau lihat pengakuan Blanco, seorang
kapten-jendral yang mengirimkan surat ke Madrid untuk membuktikan Rizal tidak
terlibat pemberontakan. Lihat hlm. 243
[8] Memang semua pihak menyadari bahwa pihak kolonial terlalu
terburu-buru mengeksekusi Rizal tanpa alasan hukum yang kuat, akan tetapi
dilihat dari sikap kolonial, maka pengaruh Rizal terhadap setiap pemberontakan
di Filiphina lah yang terlalu kuat, meski berkali-kali Rizal menyanggahnya.
Rizal dieksekusi pada 30 Desember 1896, pada subuh, dieksekusi ditembak dari
arah belakang oleh regu tembak. Adegan ini dijadikan monument oleh rakyat
Filiphina, lihat hlm.252.
[9] Surat-surat yang mencapai 70 halaman ini surat yang sangat tebal
yang pernah dibuat seorang Asia Modern dimasanya.
[10] Kelompok pemberontakan terbesar Filiphina akhir abad ke-19. Didirikan
oleh Andres Bonifacio, tetapi ia di dihukum mati justru oleh tuduhan berhianat
pada revolusi yang ia sulut sendiri. Ia dieksekusi oleh pihak Emilio Aguinaldo
seorang walikota ambisius. Hlm.279-280
[11] Pada Umumnya kita ketahui bahwa Perpecahan ini diawali oleh
perdebatan Marx dan Bakunin dalam melihat Negara di kongres Komintern, Lihat,
hlm. 108-109
[12] Sub judul ini khusus menceritakan bagaimana kaum Nihilis Russia dan
kaum Anarkis bercampuraduk untuk melaksanakan gerakan-gerakan terror pembunuhan
politik yang disebut oleh ben Anderson sebagai Le Drapeau Noir (Bendera Hitam),
lihat hlm.106-122
[13] Table pembunuhan politik selama 20 tahun sebelum Perang Dunia I,
lihat hlm.114
[14] Pembunuhan terhadap Pangeran, Gubernur, Gubernur Militer St.
Petersburg, kepala Polisi Rahasia, percobaan pembunuhan Tsar dan banyak lagi,
lihat hl. 107-108.
[15] Lihat, 106
[16] Lihat gambar titik-titik pembunuhan global dalam peta hlm.118
[17] Tadinya merupakan seorang Liberalis yang semakin kiri dalam
beberapa tahap. Lihat hlm. 258-261
[18] Lihat, hlm.188
Friday, 30 October 2015
Kecupan Manis Sebuah Penantian
Oleh Hafid Ayatillah
I’m back for you, my future
Raut muka itu terasa sangat berbeda, seakan mengisratkan sebuah kehilangan, tiap tatapan yang ia berikan menggambarkan luka yang teramat dalam, tangisan itu pun terdengar sangat jelas walau pun dalam relung hati. Entah mengapa, senyum itu puntera sasangat menyayat walaupun terlihat sangat menggairahkan. Malam itu terasa sangat kelabu namunsangatindah,karenacahaya sang dewi malam hadir ditengah-tengahnya.
Seorang wanita terlihat murung, ia berjalan tanpa henti menuju suatu tempat dimana ia biasa ditemani dengan sunyi dan sejuknya malam.
Delia,
begitulah ia kerap disapa oleh teman
– temannya, wanita yang tangguh, ceria dancerdas, namun dibalik semua itu ia adalah wanita penyendiri. Terduduk tenang, ia mulai merenung tentang semua yang ia alami, detik demi detik ia resapi hening nya suasana,
pejaman itu bukan tak ada artinya,
“Apakah kehidupan ini hanya tak berpihak ke padaku?”
begitu batinnya.
Perlahan tetesan air mata keluar dari kedua matanya yang sayu itu dan
melewati pipi yang kian memerah akibat tangisannya, ia seakan kehilangan
harapan, harapan tuk bahagia dengan apa yang sudah ia rencanakan dengan
kekasihnya yang kini mungkin tak dapat ia perlakukan seperti dulu lagi. Semua
harapannya kini sudah tinggal angan – angan dan mulai tersapu, terbawa oleh
desiran anngin yang berhembus tenang.
Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan
sebuah buku, buku catatan lebih tepatnya. Ia buka buku catatan yang bertuliskan
“Dream” tersebut, lembar demi lembar ia buka, ia nikmati dan mulai meresapi,
bercumbu dengan harapan yang mulai kini menjadi kenangan. Awal dari setiap halaman
buku itu menggambarkan bagaimana benih – benih kebahagiaan muncul, yang kelak
akan menjadi harapannya, halaman halaman selanjutnya terdapat berbagai
dokumentasi dengan seorang pria kesayangannya, terlihat mereka sangat dekat dan
tentunya bahagia.
Tiap ia membuka lembar berikutnya, air mata yang keluar
membasahi pipinya semakin deras dan seakan memecahkan keheningan malam. Disela
tangisannya kadang terdapat senyum dan tawa kecil, tepat di tengah halaman dari
buku itu terdapat secarcik kertas yang bertuliskan “Tunggulah aku, aku akan
kembali padamu”.
Selepas
SMA Delia berpisah dengan pria pujaan hatinya itu, mereka dipisahkan oleh
tuntutan pendidikan yang diamanahkan oleh orang tua mereka. Sebelum
keberangkatan kekasihnya itu Delia sempat bertemu dan saling berjanji dalam
secarcik kertas kalau semua ini bukanlah akhir, mereka akan dipisahkan oleh
benua yang berbeda untuk waktu yang cukup lama karena kekasihnya akan menuntut
ilmu di perguruan tinggi terkenal negara AS. Tahun awal adalah tahun terberat yang
dialui Delia selepas kekasihnya pergi, dengan padatnya jadwal kuliah dan juga
tugas yang tak kunjung usai, ia tetap teguh menjalani pendidikannya.
Dalam
kesibukannya Delia tetap sempat menghubungi kekasihnya itu dan hubungan
komunikasi yang terjalin antara mereka sama sekali tidak mengalami masalah yang
berarti. Tahun kedua dan ketiga hubungan mereka masih utuh karena saling
memegang teguh dengan janji yang mereka buat. Tahun terakhir adalah tahun yang
dinanti nanti oleh Delia, ia sangat senang karena tinggal menghitung bulan
mereka akan bertemu dan tentunya akan saling melepas rindu, tetapi semua
rencana itu akan jadi sebuah wacana saja karena sebuah moment yang
menghancurkan hatinya berkeping – keping.
Hari itu
Delia seperti biasa melakukan rutinitasnya sebagai seorang mahasiswi, dan hari
itu terasa sangat cepat bagi Delia. Sesampainya ia dirumah, ia mengecek e-mail nya dan mendapatkan satu pesan
yang menjadi pertanyaan baginya. Pria pujaannya itu menuliskan pesan “i m
sorry, i must to say good bye”, hati Delia bertanya tanya dan seketika yang ada
dalam fikirannya hanyalah pesan yang pria itu kirimkan kepadanya.
Air mata tiba
tiba jatuh tak tertahankan, kini kegundahan menyelimuti hatinya dan fikirannya.
Hari hari selanjutnya tak ada satupun pesan atau kabar dari pria pujaan hatinya
itu, tekanan batinpun ia rasakan sampai rutinitas yang ia lalui kini menjadi
tak karuan. Delia melakukan berbagai cara untuk mengetahui keadaan pasangannya
itu, ia mencoba menghubungi ponselnya tetapi ternyata sudah tidak bisa
dihubungi lagi, ia coba untuk menelusuri media sosial dan ternyata hasilnya
nihil. Usaha usaha untuk menemukan dan hanya mencoba agar bisa mendapatkan
paling tidak satu kabar dari pria tersebut sudah ia lakukan, sampai pada
puncaknya ia hanya bisa pasrah dan hanya sekedar menunggu.
Suatu pagi Delia
terbangun dari tidurnya yang terbilang sangatlah tidak berkualitas, ia hanya
tidur dua jam setiap harinya sejak pesan itu ia terima. Ia langsung bersisap
siap untuk menjalani harinya seperti biasa, yaitu menjadi mahasiswi. Siang itu
matahari sangat terik memancarkan sinarnya, ia terduduk di bawah sebuah pohon
sambil meminum jus yang telah ia beli sesudah perkuliahan tadi. Delia menolehkan
kepalanya kepada suatu surat kabar yang tergeletak di sampingnya, memungut lalu
membacanya.
Seketika matanya terbelalak melihat sebuah berita yang membuat
tubuhnya lemas dan memaksa air matanya jatuh dengan derasnya, disitu tertulis
bahwa lab penelitian perguruan tinggi di AS terbakar dan menyebabkan puluhan
korban jiwa. Ia teringat bahwa perguruan tinggi tersebut adalah tempat dimana
pria yang sangat ia cintai menempuh pendidikan, Iapun menangis karena
beranggapan bahwa pasangannya juga menjadi korban dalam peristiwa itu. Berita
peristiwa itu menjadi titik puncak dimana ia berfikir kalau ia harus merelakan
kepergian seseorang yang benar benar ia harapkan menjadi masa depannya.
Setelah
hal itu ia sering pergi ketempat dimana ia berjanji bersama, dan menunggu saat
dimana mereka bisa bersama lagi. Ditempat itu ia selalu berdoa yang terbaik
untuk pria kesayangannya dimanapun dan bagaimanapun keadaannya, ditempat itu
pula ia kadang mencurahkan isi perasaan yang sedang ia rasakan dan berharap
orang yang ia tuju bisa mendengarkannya.
“Malam
ini adalah tepat genap empat tahun aku berpisah, rasanya sangat berat untuk
menyadari hal ini”, batinnya. Delia bersiap siap, tentu menuju satu tempat yang
sangat berkesan baginya dan hubungannya dengan pria itu, ya tentu saja tempat
dimana mereka saling berjanji. Tempat itu tidak terlalu jauh dari rumah Delia,
suatu taman yang membuat pengunjungnya merasa tenang walaupun berada di tengah
perkotaan yang sangat ramai. Tiap langkah kaki yang ia pijaki terasa sangat
berat, mengingat ia masih belum bisa merelakan sepenuhnya bahwa sang pujaan telah
tiada. tinggal beberapa ratus meter lagi ia sampai ke taman itu, entah mengapa
semakin dekat dengan taman itu raut mukanya semakin murung tetapi ia tetap
mencoba tersenyum sampai akhirnya ia telah sampai di taman itu dan duduk di
bangku yang disinari oleh ranumnya cahaya lampu taman.
Delia
mengingat kembali janji yang telah ia ucapkan bersama di tempat ini, ia melihat
ke sekitar tak ada satu orangpun yang berkunjung di taman ini. Rasa sesak di
dalam hati tiba tiba timbul begitu saja, seiring hembusan angin ia memejamkan
matanya meresapi keheningan suasana dan mencoba menenangkan perasaannya. Ia
berkata ;
“Hans, ini tahun ke empat semenjak kita berpisah disini. Aku harap kamu
bisa mendengarkan apa yang kukatakan ini dimana dan bagaimanapun keadaan kamu saat
ini, Aku akan tetap menunggu dan mengingat apa yang sudah kita janjikan, disini
.. ditempat ini”.
Ketika ia selesai mengucapkan kata – kata itu, suatu suara
memanggil namanya “Delia ...”, ia menoleh dan dengan segala kesadarannya ia
menyadari kalau yang ada di depannya itu adalah pria yang selama ini ia tunggu,
pria yang selama ini membuatnya resah, ia pun berdiri dan memeluknya erat.
“Aku
tak akan mengingkari apa yang telah aku katakan kepadamu Delia”, bisik Hans
kepada Delia.
Tak sepatah katapun yang Delia katakan, hanya tangis haru yang
bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Tangis itu seakan mengeluarkan semua
yang ia tahan selama ini dalam relung hatinya yang paling dalam, semua rasa
rindu seakan terbalaskan, semua penantianpun seakan terbalaskan.
Hans
menjelaskan mengapa ia menghilang begitu saja dengan meninggalkan berjuta
pertanyaan pada sebuah pesan yang ia kirimkan, ia juga menjelaskan apa yang
terjadi dengan perguruan tinggi tempat ia memperoleh pendidikan. Dengan satu
pelukan penuh makna, Hans membisikkan satu kalimat yang membuat Delia merasa
tenang dan membalas pelukan Hans, “I’m back for you, my future”.
Monday, 26 October 2015
Kelucuan
Oleh Kenang Kelana
Tertawalah sebelum tawa di larang
Warkop DKI
Antara Tawa dan Bahaya Kartun dalam Politik Humor Seno Gumira Ajidarma KPG, 2013 429 halaman |
Kira-kira begitu memahami
tawa dalam sketsa kekuasaan. Di atur sesuai apa yang “in” pada zamannya. Dalam banyak hal tawa menawarkan
kepada kita sebuah kegembiraan, sebuah keceriaan yang dalam ilmu pengetahuan
medis dan agama tawa adalah obat penyembuh termurah sepanjang zaman.
Di
dalam buku ini, kita
seolah disodorkan
soal perangkat dalam ketertawaan, maksudnya adalah bagaimana
tawa membutuhkan instrument layaknya sebuah pertunjukan. Ada subjek mentawakan dan ada objek yang ditertawakan.
Manusia punya peran
dalam berkehidupan. Semua melengkapai dalam konteks keterbutuhan [sekelipun prihal
keinginan tidak semua insan pernah merasakan] begitu juga dalam candaan yang menghasilkan tawa. Mesti ada orang
atau peran untuk menjadi pihak yang ditertawakan. Dalam
pergaulan hal ini bisa dan lumrah, terjadi seolah tanpa
ada yang tersinggung atau marah sebab tawa kita adalah tawa semua orang.
Pada
bab awal
buku Antara Tawa Dan Becana kita akan
disuguhkan dengan sekian banyak teori pendukung yang mampu menjelaskan
pengertian tawa. Ini tanda bahwa tawa adalah hal yang serius banget!!!.
Mulai dari
Freud hingg kepada Bergson. Dalam prodaknya banyak orang
menggunakan instrument karikatur untuk membuat tawa kita menjadi milik (dibaca) semua orang. Ada Doyok,
Oom Pasikom dll.
Seno Gumira Adjiedarma |
Selanjunya pertanyaan yang
akan menjadi menarik adalah apakah semua tawa
adalah bahagia?!. Bagi saya persoalan tawa bukan hanya menjadi
sekedar lucu (lucuan) untuk meraih kebahagiaan. Mira,
begitu panggilan akrab sang penulis buku (Seno Gumira Adjiedarma) dengan prangkat semiotikanya
melihat prodak tawa dalam bentuk kartikatur yang menjadi alat legitimasi untuk
menunjukaan obsesi dan bahkan sesuatu yang sedang terjadi di sekeliling kita.
Beni & Mice misalnya—dua orang yang telah menjadi satu kemudian bubar lagi
belakangan ini—di
dalam buku-buku
karikaturnya yang sempat ‘booming’ beberapa tahun terakhir ini menjadi pengingat
kita akan situasi di Jakarta, dengan gambaranya
tentang banjir, tentang tumbuh suburnya kelas menengah yang rapuh diperkotaan
dan dalam nada yang satir ia menyebutnya dengan
kelompok ‘alay’.
Kesemuanya digambarkan dengan lucu dan jenaka serta ramah. Sekali lagi media tawa dalam bentuk karikatur menjadi alat representasi dalam
kehiduapan sehari hari.
Cover Surat Kabar Perancis |
Namun setali tiga uang
dari itu, kita juga akan medapatkan kenyataan bahwa tawa yang kita bicarakan
juga dapat menimbulkan bahaya, hingga menyebabkan kematian
segala. dihukum alamnya, tawa adalah pelepasan ke-tak-sadar-an atas kondisi/politik
identitas yang sedang berlangsung. Kita ambil contoh misal kartun Nabi
Muhammad yang digambarkan oleh salah seorang kartunis Denmak yang harus mengalami
bahaya bahkan ancaman kematian dari seseorang yang mengaku pembela Nabi
Muhammad.
Pada zamannya, Warkop
DKI membangun lelucon bagaimana aparat keamanan [mulai dari satpam sampai
polisi lalu lintas] digambarkan sebagai sesuatu yang bodoh dan cenderung robotik. Padahal semua yang berbau instansi kenegaraan apa lagi kemiliteran
terasa sangat tabu untuk dibicarakan, apalagi di “becandaiin”.
Salah
satu cerita Warkop DKI memperlihatkan adegan dimana Dono, Kasino dan Indro ikut
dalam rombongan latihan Satpam dan dipimpin oleh Boneng yang dalam cerita itu
mempunyai seorang kembaran. Dan tanpa mereka sadari bahwa atasan mereka adalah seorang
yang kembar dan kembaran dari komandan aslinya menderita
penyakit ganguan jiwa. Betapa lucu kemudian para pemain film itu
dipimpin oleh seorang yang sakit Jiwa.
Grup lawak Warkop DKI
menjadi fakta nyata prihal tawa tidak bisa dibatasi atapun dilarang. Dengan
konsekuensi logis bahwa yang kita tertawakan bermuatan Politis/Ideologis. Tawa mempunyai perannya sendiri, untuk
apa yang kemudian diistilahkan oleh Gramsci sebagai Counter Hegemoni. Dominasi atas
kenyataan yang menjadi objek tawaan adalah bukti keterkaitan antara tawa dan politik yang jelas menghasilkan
bahaya dan ancaman.
Tawa dalah prodak zaman, setiap masa menghasilkan kondisi
ketertawaannya masing-masing sesuai dengan kenyataan pada hari ini dan
seterusnya.
Cempaka
Putih. 07
04 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)