"Sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan. Maka, hanya dengan mengarang lah Kartini bisa menunjukkan kekuatannya.”
Panggil Aku Kartini SajaPramoedya Ananta ToerLentera Dipatara , 2006301 halaman |
Latar belakang dari novel ini
merupakan suatu biografi kartini, yang menjelaskan garis leluhur keturunannya,
kelahiran seorang “Kartini”, pendidikannya, sampai dengan perjuangan-perjuangan
dan karya-karyanya. Narasi yang menggambarkan Kartini mengalami konflik
kekeluargaan, dimana ia harus memilih antara ayah atau ibunya. ‘Kecintaannya’ lebih besar ditaruh pada sang ayahanda sehingga
apapun ia lakukan demi membuat ayahnya senang, dengan membuat lukisan-lukisan
sampai menulis sebuah karya sastra. Novel ini juga mengandung ide-ide dari
seorang Kartini dalam perjuangannya yang membela kaum wanita dari kekalnya
tradisi feodalisme yang memandang rendah kaum wanita. Belum lagi para wanita yang
berasal dari rakyat jelata. Beruntungnya Kartini terlahir sebagai anak
keturunan priyayi.
Secara
gamblang dalam novel Pram ini, mengurai persoalan stratifikasi sosial yang
sangat mencolok akibat adanya feodalisme. Pram yang menulis novel ini pada masa
Demokrasi Terpimpin atau pada era Soekarno, dimana pada masa ini ada niatan
untuk menghapuskan mental feodalisme dan dekolonisasi dalam masyarakat. Sehingga
untuk itu Pram mengharapkan hadirnya gagasan tersebut disambut dengan tumbuhnya
sifat nasionalisme pada masyarakat.
Saya
akan sedikit mengulas ulang tentang isi dari Novel ini. Pemberontakan
Diponegoro yang berhasil dipatahkan belanda, mengakibatkan banyak nyawa yang
melayang serta banyaknya harta benda yang terkuras dari kedua belah pihak. Tak
ayal perang ini adalah perang termahal dalam catatan sejarah penjajahan Belanda,
hal inipun menyebabkan nilai uang jatuh yang disebabkan karena kebangkrutan De Javasche
Bank yang waktu itu baru didirikan. Situasi ini membuat Belanda
menghadirkan sosok Johanes Van Den Bosch pada tahun 1830. Van Den Bosch yang
merupakam pensiunan Komisaris Jendral Hindia Barat, menawarkan kepada raja
Willem rencana Cultuurstelsel.
Pada
konsep yang ditawarkan itu, tidak terlihat kekejian yang Van Den Bosch
rencanakan tetapi saat ia datang ke tanah Jawa semua berubah sangat drastis. Ia
mulai lebih keras menghisap kekayaan bumi dan tenaga manusia Pribumi dan
menyebabkan surutnya harga dari manusia Pribumi. Menurut rencananya, penduduk
bila menghendaki, boleh menanami seperlima dari tanahnya dengan tanaman-
tanaman yang dikehendaki oleh Gubernemen yaitu nila, gula, kopi dan tembakau
yang hasilnya dapat diserahkan kepada pemerintahan dengan “harga pasar”, dan
dengan itu tanah mereka bebas dari pajak bumi, pada prakteknya dibeberapa
tempat tetap ada oknum yang mengambil paksa pajak bumi tersebut.
Semua
perlakuan tanam paksa itu terus berlangsung hingga saaat Golongan liberal mulai mendesak akan penghapusan tanam paksa
tersebut. Mereka itulah, Multatuli dengan karyanya Max Havelaar, E.S.W. Roorda van Eisinga alias Sentot dan juga yang
tidak kalah penting yaitu Dr. Ds. Baron van Hoevell yang meskipun berpihak
kepada tanam paksa tetapi di kalangan pendidikan ia merupakan pelopor golongan
liberal. Untuk pertama kali dalam sejarah penjajahan di Indonesia orang
mempergunakan kata “modern”. Faktanya penjajahan pada waktu itu mulai menjadi
intensif, menjadi modern, karena perkembangan negara induk penjajah sendiri.
Kaum
liberalis ini adalah orang yang mulai melepaskan diri dari cengkraman feodalisme,
menjadi dirinya, yaitu demokrasi. Golongan ini menghendaki kelonggaran-kelonggaran
dari cengkraman feodal, birokrasi dan diktator hierarki kepegawaian. Akibat
adanya golongan ini banyak terjadi perubahan dari pemerintahan Hindia Belanda, tanam
paksa yang semula di tekan lambat laun dilepas terkecuali bagi tebu dan kopi.
Multatuli yang melawan tanam paksa menjadi penganjur “kerja merdeka”, dengan
itu maka petani-petani menjadi terlantung-lantung dan dengan demikian munculah
kelas proletar untuk pertama kali di Indonesia, dan salah seorang proletar
adalah Madirono, mandor pabrik gula, bapak Ngasirah, Kakek Kartini. Demam
kapitalisme merambah luas, dengan ditemukannya mesin-mesin, dibangunnya
pelabuhan samudra yang berlangsung sekitar tahun 1877 semua menjadi sangat
mudah. Tetapi tetap saja semua itu tidak mengubah sedikitpun kondisi masyarakat
miskin di Jawa.
Pada
saat kelaparan melanda Demak dan Grobogan diangkatlah seorang Bupati yaitu Ario
Tjondronegoro. Dimana sebelumnya Ario Tjondronegoro adalah Bupati di Kudus
residensi Jepara, setelah ia diangkat menjadi bupati pada 1850, tidak
dikabarkan lagi adanya kelaparan yang melanda daerah tersebut. Bagaimana
tanggapan ia tentang tanam paksa tidak jelas, tetapi yang pasti ia sangat iba
melihat rakyatnya menderita dan kelaparan. Apa daya, ia hanya seorang Bupati,
tetapi ia adalah seorang Pribumi yang bisa dikatakan berfikir jauh tentang
semua kolonialisme dan perang-perang pemberontakan yang sudah terjadi
sebelumnya. Dalam usaha membela rakyatnya ia hanya bisa mengirimkan nota kepada
pemerintahan Hindia Belanda pusat, isi dari laporan itu adalah laporan-laporan
dan keluhan. Karena notanya itu pula setelah 2 tahun ia menjabat ia mendapat
gelar “Pangeran” dari Hindia Belanda karena jasa jasanya dalam memakmurkan
daerahnya.
Melalui
cara berfikirnya Ario Tjondronegoro pun dapat melihat perbedaan antara penjajah dan yang dijajah yang secara garis besar adalah dari faktor kemajuan,
semangat modern dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu ia mulai membekali anak-anaknya
dengan pengetahuan bahasa Belanda, karena pada waktu itu pengetahuan tentang
bahasa bisa dibilang nol. Hanya ada beberapa Bupati yang menguasa baca dan
tulis bahasa Belanda yang antara lain yaitu paman Kartini Pangeran Ario
Hadiningrat, ayah Kartini R.M.A Ario Sosroningrat dan sisanya Bupati Cirebon yang
sedikit mendapatkan didikan.
Keluarga
Kartini bisa dibilang keluarga yang terdidik karena sempat mendapat ilmu dari
guru rumahan dari Belanda. Kartini adalah sosok orang yang sangat menghargai
leluhurnya dengan cara mengingat dan menceritakan asal muasal leluhurnya dan
tak kalah penting hubungan Kartini dengan leluhurnya pun diwarisinya dengan
ciri fisik yang ada di tubuhnya baik itu dari ayahnya, ibunya maupun dari
kakeknya. Masa Kartini kecil tidak dapat diketahui secara keseluruhan baik itu
tempat kelahirannya maupun siapa yang mengasuhnya selama ia masih balita,
tetapi banyak hipotesis yang diajukan yaitu bahwa ia diasuh oleh ibunya, diasuh
oleh seorang emban, bahkan dugaan ia diasuh oleh ibu tirinya. Tetapi apapun
hasil dan dugaan itu yang pasti ada semacam konflik dalam keluarga Kartni,
karena dalam surat-surat yang ditujukan kepada Estella Zeehandelaar isinya
dapat digambarkan seseorang yang sedang mengalami konflik jiwa yang sangat luar
biasa. Sekiranya seperti itulah sedikit penjabaran dari isi novel ini.
Tanggapan
saya tentang novel ini cukup sederhana, novel karangan Pramoedya Ananta Toer
ini cukup memberikan informasi dan narasi umum yang berguna sekali terhadap
materi untuk pembelajaran sejarah, disamping penjelasan yang sangat rinci dari
isi ataupun biografi seorang Kartini. Dalam penulisan buku ini, penulis
menggunakan bahasa yang cukup mudah dicerna oleh kalangan mana saja karena
bahasa yang digunakan adalah bahasa pergaulan atau yang sehari hari digunakan
oleh orang banyak. Novel ini sangat berhasil menyajikan alur cerita yang
menarik bagi para pembacanya. Melalui bahasa yang populer dan nilai-nilai
humanisme yang membuat pembaca secara
tidak sadar sedang mempelajari sejarah pada setiap narasi novel ini, karena
Pram menyelipkan unsur pengetahuan dengan menonjolkan daya tarik dari alurnya.
[1] Resensi ini juga merupakan salah
satu syarat memenuhi tugas mata kuliah dasar-dasar filsafat yang diampu
oleh Dra. Budiarti, M.Pd. (Naskah ini sudah mengalami proses editing)
[2] Mahasiswa
Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta tahun masuk 2014. Mengambil
konsentrasi pendidikan sejarah, NIM. 4415140886, Line: linkenspr