Oleh: Bara Prastama
Eiridu, Ur,Llagash, dan Kish tercatat sebagai
beberapa kota yang pertama ada, sekitar 3000 tahun sm.
Kota-kota itu terletak di daerah subur di Lembah Mesopotamia. Seribu
tahun kemudian muncul kota Babylon yang terkenal itu. Kini hampir diseluruh
hamparan bumi ini kita dapat menemukan kota, dalam berbagai skala dari yang
besar, sedang hingga kecil. Kenapa harus ada ‘kota’ dalam kehidupan kita?
Padahal kita dapat membangun model ekonomi: sebuah negeri tanpa kota,
dengan catatan tiga asumsi berikut dapat terpenuhi. Sebuah negeri, Ada Penduduk
dan (hanya) mengkonsumsi dua barang: makanan dan pakaian. Masing-masing
penduduk mampu membuat pakaian untuk dirinya sendiri dan mendapatkan makanan
untuk dirinya sendiri. Setiap penduduk. Tidak ada yang memiliki lebih, tidak
ada yang kurang. Ini asumsi pertama kita, Equal productivity Membuat satu
pakaian: satu orang selama dua hari. Sepuluh pakaian: satu orang selama dua
puluh hari (produksi dalam jumlah banyak tidak menurunkan biaya per unit).
Kedua Tidak ada economies of scale in production, Biaya mengirim sepuluh lembar
pakaian sama dengan sepuluh kali mengirimkan satu lembar pakaian. (mengirim
dalam jumlah banyak tidak menurunkan biaya per unit). Economies of Scale in Transportation.
Jika tiga asumsi ekonomi itu dapat dipenuhi, maka tidak ada perlunya melakukan
perdagangan atau memusatkan produksi barang pada area tertentu, semua penduduk
dalam negeri itu mampu mencukupi dirinya masing-masing (self sufficient).
Dengan demikian kita telah membangun sebuah model ekonomi: sebuah negeri tanpa
kota.
Dalam kehidupan nyata, alangkah sulitnya memenuhi tiga asumsi itu. Keberadaan kota-kota di Lembah mesopotamia tadi memberi petunjuk bahwa sejak lima ribu tahun yang lalu manusia telah tidak sesederhana tiga asumsi itu. Keunggulan komparatif (comparative advantage), ini yang menyebabkan asumsi pertama dalam model ekonomi tadi sulit dipenuhi. Sebagian penduduk lebih lihai dalam berburu, sehingga punya pasokan makanan yang berlebih dibanding yang lain. Sebagian penduduk lebih lihai dalam membuat pakaian, (yang bahan utamanya dari kulit binatang). Sehingga punya pasokan pakaian yang berlebih dibanding yang lain. Kelebihan pasokan pada masing-masing pihak akan mendorong terjadinya perdagangan.
Dalam kehidupan nyata, alangkah sulitnya memenuhi tiga asumsi itu. Keberadaan kota-kota di Lembah mesopotamia tadi memberi petunjuk bahwa sejak lima ribu tahun yang lalu manusia telah tidak sesederhana tiga asumsi itu. Keunggulan komparatif (comparative advantage), ini yang menyebabkan asumsi pertama dalam model ekonomi tadi sulit dipenuhi. Sebagian penduduk lebih lihai dalam berburu, sehingga punya pasokan makanan yang berlebih dibanding yang lain. Sebagian penduduk lebih lihai dalam membuat pakaian, (yang bahan utamanya dari kulit binatang). Sehingga punya pasokan pakaian yang berlebih dibanding yang lain. Kelebihan pasokan pada masing-masing pihak akan mendorong terjadinya perdagangan.
Perbedaan keahlian tadi akan membentuk spesialisasi, ada grup pembuat pakaian dan grup pemburu binatang. Dengan spesialisasi, mereka mendapati membuat pakaian sekaligus dalam jumlah banyak jauh lebih efisien dibanding membuat satu-satu, begitupun pemburu. Ini berarti asumsi kedua kita gagal.
Spesialisasi juga mempengaruhi keputusan mereka menentukan tempat tinggal. Pemburu lebih suka mendekati hutan, pembuat pakaian memilih tinggal di dekat sungai dan menjemur kulit binatang bahan pakaian. Perbedaan tempat tinggal mengharuskan mereka melakukan perjalanan ketika harus saling bertukar produk. Mereka mendapati mengirim dalam jumlah banyak lebih efisien dibanding mengirim satu-satu. Asumsi ketiga kita juga gagal.
Interaksi dua grup penduduk ini selanjutnya akan mendorong munculnya sebuah ’kota’, tempat yang secara alamiah mereka tentukan, bukan di hutan di mana pemburu tinggal, juga bukan di pinggir sungai di mana pembuat pakaian tinggal, tetapi di antara dua tempat itu yang mereka merasa sama-sama efisien dari sisi jarak tempuh.
Kota yang kita bicarakan ini tentu kecil dan sederhana karena hanya melibatkan dua produk: pakaian dan makanan. tetapi saya berani meyakinkan anda bahwa ini adalah kota yang punya pondasi yang kuat untuk tumbuh dan berkembang, karena kota itu ada secara alamiah dan akibat saling berkebutuhan. Kota tadi ada karena penduduknya merasa harus ada. Kota tadi akan semakin besar dan kompleks sering dengan semakin kompleks jenis produk kebutuhan masyarakatnya.
Anda yang mempunyai kapital kuat bisa saja membangun kota dadakan, kemudian meletakan label ‘city’ dibelakang nama proyek Anda. Kerangka pikir pembentukan kota yang diuraikan tadi dapat membantu anda untuk memprediksi apakah ‘city’ anda dapat bertumbuh kembang dan berkelanjutan. Semoga ini juga membantu anda ketika akan menentukan lokasi investasi.
Silakan perhatikan, ada beberapa proyek ruko di Jabodetabek. Ratusan hingga ribuan unit dibangun dalam satu kawasan sehingga secara fisik membentuk ‘kota’. Hampir semua unit ruko itu telah laku terjual, tetapi setelah dua tiga tahun belum juga nampak kehebohan aktivitas perekonomian disana.
Ada pelajaran menarik dari bertumbuh kembangnya kota Athena dan kehancuran kota Roma: kota yang terbangun dari interaksi alamiah punya peluang yang lebih besar untuk berkembang berkelanjutan dibanding kota yang dibesarkan dengan penaklukan pemaksaan.
No comments:
Post a Comment