Oleh: Kenang Kelana
Layaknya manusia, ternyata buku juga punya sejarah yang panjang tentang
rumahnya, tentang bagaimana dan dimana mereka dikumpulkan menjadi satu kesatuan
bibliotika.
Drs. Muljani A. Nurhadi, M.Ed.
Andi Offset, Yogyakarta, 1983.
|
Sama tuanya dengan perkembangan zaman manusia, perpustakaan ternyata
juga mengikuti dengan dinamikanya sendiri. Seklipun perpustakaan bukan barang
hidup, namun maju mundurnya perpustakaan juga mengikuti perkembangan peradaban
manusia. Buku Drs. Muljani A. Nurhadi berjudul; "Sejarah Perpustakaan dan
Perkembangannya di Indonesia" memberikan banyak informasi tentang
perkembangan perpustakaan di dunia dan khususnya di Indonesia. Drs. Muljani
adalah lulusan mahasiswa FIP-IKIP Yogyakarta yang mendalami Ilmu Kepustakaan
sejak akhir tahun 1960an.
Baginya istilah perpustakaan dimulai sama tuanya dengan periode manusia
sebelum dan sudah mengenal tulisan (aksara). Pengertian perpustakaan dalam buku
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai tempat, gedung, ruang yang
disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi. Bahkan dalam buku ini
Muljani menyebutkan kalau bukan hanya tempat untuk mengumpulkan buku dan
pemeliharaan, akan tetapi perpustakaan juga dimaknai sebagai tempat sumber
informasi. Jadi akan berhak kemudian kita mengklaim bahwa artifak-artifak yang
jauh sebelum manusia mengenal tulisan sudah biasa disebut sebagai bahan pustaka
dan perpustakaan. Bisa dibayangkan jika kita memaknai Goa sebagai apa yang
disebut dengan perpustakaan.
Para ahli telah menemukan bahwa kebudayaan perpustakaan telah dirintis
pada masa kejayaan Arab. Orang-orang Arab yang telah maju peradabannya sekitar
tahun 3.750 SM telah memahat dan berhasil ditemukan ukiran dan lambang-lambang
yang informatif ke dinding-dinding bangunan, monumen-monumen serta
tempat-tempat peringatan untuk menunjukkan ke agungan para raja mereka, ukiran
itu tertuang dalam bentuk gambar dengan skrip Hieroglyphic.
Selanjutnya manusia memasuki babak baru ketika papyrus atau daun
sejenis lontar ditemukan sebagai media tulis menulis. Hanya sari tanaman ini
yang dapat digunakan untuk produksi material hingga akhirnya dapat menyerupai kertas, digunakan oleh bangsa
Mesir kuno serta kebudayaan Mediterania jauh sebelum kertas ditemukan di China.
Papyrus merupakan pengolahan bagian dari tanaman secara langsung, sedangkan
kertas dibuat dari serat yang sudah diolah dan diberi perlakuan khusus. Semakin
maju praadaban manusia sejak tahun—kurang lebih—100 SM bangsa China tercatat
sebagai penyumbang kertas bagi Dunia. Alkisah orang bernama Tsai Lun berhasil
membuat kertas dari bahan bambu yang mudah didapat seantero China pada tahun
101 SM, hingga akhirnya penemuan ini bisa bisa menyebar ke seluruh penjuru
seperti Jepang dan terutama bangsa-bangsa Arab pada masa kejayaan Abassiah.
Maka tidak lah mengherankan jika sejarah mencatat nama-nama seperti Bhagdad,
Konstantinopel dll sebagai emporium yang terbangun dari ilmu pengetahuan.
Sedang di dalam Indonesia sendiri perkembangan Perpustakaan juga bisa
dibilang sangat tua. Jauh sebelum bangsa Eropa datang dan memperkenalkan
mekanisme modern pembukuan (kertas), melalui bangsa India kita telah di ajarkan
tulis menulis (sekalipun beberapa dengan simbol) pada bebatuan, lontar d.s.t.
Memasuki era-kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah negara serta bangsa ternyata
semakin menunjukan tingginya peradaban dengan kualitas serta kuantitas jumlah
buku-buku yang terbit dan beredar untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Prasarana perbukuan semakin terarah ketika Indonesia memasuki periode
Demokrasi Terpimpin, produk literasi yang dibangun dan dikembangkan dianggap
semakin mengarah kepada kepribadian bangsa Indonesia dengan berkaca kepada
perkembangan masyarakatnya. Kebudayaan ikut dalam prospek pembangunan. Akan
tetapi melalui proses politik yang mencekam, Indonesia memasuki tahun-tahun
yang mengharukan dalam dunia literasi. Sekalipun jalannya produksi perbukuan
bersifat tetap. Namun disana-sini kita mengalami kebocoran yang sangat kronis,
mengingat ketika yang kita pahami perpustakaan adalah informasi, maka pada masa
ini beberapa informasi masih dikelola oleh sekelompok orang dan bahkan
dihilangkan kepada publik.
Buku
yang terbit pada tahun 1983 ini membantu banyak pihak untuk lebih memahami
apa-apa yang menjadi seluk beluk dari dunia perbukuan—informasi—perpustakaan.
Buku ini hadir ditengah-tengah pembaca dimana situasi perbukuan dan
keobjektifan menjadi barang yang langka untuk di bicarakan.