Oleh: Iman Zaenatul Haeri, S.Pd*
"Melakukan kajian perkembangan pemikiran tentang Orientalisme tidaklah mudah, Orientalisme masa kini mengajarkan kepada kita banyak hal mengenai ketidakjujuran intelektual dalam menyamarkan dan mengaburkan pembagian-pembagian tersebut (Timur-Barat / Utara-Selatan / Imperialis-Anti-Imperialis / Rasis-Anti-Rasis), yang hasilnya adalah semakin parah dan semakin permanen pengkotak-kotakan yang tidak proposional."
Pengantar
Situasi politik, ekonomi, kebudayaan Timur Tengah belum stabil hingga kini. Berbagai perang saudara, pembunuhan masal serta aksi-aksi teror terus mewarnai pemerintahan Nasional di kawasan tersebut yang silih berganti dengan pilihan yang dipaksakan; otoriter atau demokratis bahkan sebaliknya tidak kunjung menyelesaikan masalah; perpecahan iya. Apakah kita bisa berharap, manusia yang lahir ditengah konflik multidimensi tersebut bisa membuat sebuah karya intelektual monumental yang mampu menjelaskan—diluar dugaan—situasi dunia global kekinian? Kita ambil contoh paling imajinatif bahwa ditengah-tengah konflik lahirlah seorang anak manusia yang mampu memetakan situasi tersebut secara tajam dan terbuka diluar keterbatasan psikisnya yang meragukan untuk berfikir objektif akan lingkup diluar dirinya. Hal tersebut tidaklah imajinatif sebab Edward W Said lahir di Palestina.
"Melakukan kajian perkembangan pemikiran tentang Orientalisme tidaklah mudah, Orientalisme masa kini mengajarkan kepada kita banyak hal mengenai ketidakjujuran intelektual dalam menyamarkan dan mengaburkan pembagian-pembagian tersebut (Timur-Barat / Utara-Selatan / Imperialis-Anti-Imperialis / Rasis-Anti-Rasis), yang hasilnya adalah semakin parah dan semakin permanen pengkotak-kotakan yang tidak proposional."
Orientalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek Edward Said Pustaka Pelajar, 2010 xxxii + 558 halaman |
Situasi politik, ekonomi, kebudayaan Timur Tengah belum stabil hingga kini. Berbagai perang saudara, pembunuhan masal serta aksi-aksi teror terus mewarnai pemerintahan Nasional di kawasan tersebut yang silih berganti dengan pilihan yang dipaksakan; otoriter atau demokratis bahkan sebaliknya tidak kunjung menyelesaikan masalah; perpecahan iya. Apakah kita bisa berharap, manusia yang lahir ditengah konflik multidimensi tersebut bisa membuat sebuah karya intelektual monumental yang mampu menjelaskan—diluar dugaan—situasi dunia global kekinian? Kita ambil contoh paling imajinatif bahwa ditengah-tengah konflik lahirlah seorang anak manusia yang mampu memetakan situasi tersebut secara tajam dan terbuka diluar keterbatasan psikisnya yang meragukan untuk berfikir objektif akan lingkup diluar dirinya. Hal tersebut tidaklah imajinatif sebab Edward W Said lahir di Palestina.
Ia dibesarkan
di Mesir dan Palestina, sebagian besar karir akademisnya dibangun di Amerika; perjalanan
hidupnya ini mengantarkan Said kedalam paradoks identitas. Ia hidup di
lingkungan Palestina yang mayoritas Muslim, meski ia berasal dari keluarga
Keristen; ia memilih Agnostik.[1] Ayahnya memaksakan
identitas “Edward” padanya meskipun menjadi Said—identitas Arabnya-- tidak
pernah ia pilih secara penuh.
Karyanya ini, Orientalisme,
merupakan pergulatan intelektualnya yang bahkan menurutnya:
“saya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa buku ini dapat menarik
banyak perhatian dari berbagai kalangan yang justru belum saya bahas secara
tuntas dalam buku ini, khususnya dari masyarakat Timur(jauh) itu sendiri”[2].
Pernyataan ini yang
menjawab keresahan beberapa kalangan mengapa Said tidak membahas secara luas
para orientalis yang fokus di wilayah “Timur Jauh”. Orientalisme
membahas mengenai Barat dan Timur. Yaitu relasi kekuasaan politik, Intelektual,
kultural dan Moral diantara keduanya. Orientalisme bisa dimaknai sebagai cara
Barat memandang Timur—meski masih banyak makna lain. Secara kasat, Timur dibagi
menjadi beberapa penggalan, yang pertama Timur Tengah yang diasosiasikan dalam
wacana Islam dan bangsa Arab, yang kedua adalah Timur Jauh; India, China, serta
beberapa wilayah Asia lainnya—seperti telah disebutkan Said tidak terlalu
mendalami untuk relasi wilayah Timur tersebut. Oleh sebab itu, maka wajar bila
Said tidak pernah menyinggung Suma
Oriental Tome Pires yang memiliki ekses Orientalis yang paling ketara dan
vulgar.
Orientalisme
menjadi penting bukan karena wacana ini hanya sekedar relasi dua peradaban
besar, tetapi wacana ini memiliki rentan waktu yang cukup panjang dengan
upaya-upaya tidak henti dari sekian banyak intelektuaL Barat yang sengaja
maupun tidak mempertahankan tradisi orientalisme dalam setiap kajiannya. Lalu
apa itu Orientalisme?
Secara
gamblang, tidak adil kiranya menjelaskan Orientalisme hanya sebatas eksplanasi
formal. Dimana karakteristiknya disebutkan dalam poin-poin yang tegas, definisi
yang sakral serta ruang lingkup yang tidak berubah; Said jelas tidak
mengarahkannya kesana. Said mengerti betul problematis upayanya untuk membedah
Orientalisme secara luas dan mendalam sehingga ia secara jujur menjelaskan
perbedaan pengetahuan murni dan pengetahuan politis, masalah metodologis yang ia temui serta
sisi-sisi psikologis atau analisa diri sejak Bab pertama buku ini.
Problematika
Pengetahuan Murni dan Pengetahuan Politis yang menjadi kontradiksi dalam
Orientalisme sebetulnya sudah dimulai ketika Barat memproklamirkan keberadaan
pengetahuan murni yang bisa didapatkan dengan kajian ilmiah. Tetapi Said sudah
menyadari secara historis, bahwa kelahiran Orientalisme
merupakan kenyataan politik dan Budaya, maka ia tidak berada di ruang hampa[3]. Oleh
sebab itu, objektivitas Barat memandang timur yang terdapat dalam Orientalisme
sangat-sangat dipertanyakan. Permasalahannya, rentan waktu yang sekian panjang
tersebut, cara pandang yang lahir dari keserampangan Barat memberi label
siapapun intelektualnya; mengajar, menulis dan melakukan penelitian tentang
dunia timur—entah ia seorang sejarawan, antropolog, sosiolog ataupun
filolog—mereka selalu disebut orientalis. Orang-orang yang dianggap ahli
mengenai dunia Timur, yang dalam buku ini dipertanyakan keahliannya.[4]Hal ini sekaligus
menggugurkan bahwa Orientalisme merupakan pengetahuan Murni.
Diakui ataupun
tidak, keberadaan Otoman Turki sebagai lambang kekuasaan Islam sejak abad ke 15
(silahkan ralat) hingga kemundurannya pada abad ke 19 telah menjadi momok
menakutkan bagi Barat (Eropa). Saat itu, Islam dipandang sebagai puncak
peradaban Dunia secara Politik, ekonomi, intelektual, teknologi, dan semua sub
keilmuan mencakup astronomi hingga kedokteran. Atau dalam bahasa sinis,
keunggulan dunia Arab tersebut ditafsirkan sebagai keunggulan musuh Kristus; sebab
kedatangan Islam membatalkan ketuhanan Yesus. Fenomena ini kemudian melahirkan
peristiwa-peristiwa bersejarah seperti Perang Salib. Sejak itu, Timur
diasosiasikan sebagai wilayah eksotis tidak tersentuh—sebagai ketidakmampuan
barat mencapai peradaban Islam, sebuah peradaban besar yang misterius,
keunggulan-keunggulan yang belum dapat difahami Barat yang terkemuka melalui
sastra-sastranya, dalam hal ini Said bahkan melihat benih Orientalisme dalam
karya Williams Sakspeare.
Sayang,
minimnya pengetahuan Barat tentang Timur menjadikan munculnya prinsip-prinsip
tersebut tidak hilang meski dalam beberapa dekade lanjutan, Barat sudah
memiliki data literatur timur yang begitu melimpah melalui perkembangan
Imperialisme dan Kolonialisme. Orientalisme adalah semacam asumsi budaya Barat
melihat budaya Timur. Ketika memasuki Era Kolonialisme, paradigma Orientalisme
tidaklah berubah. Bila kemudian Barat, setelah berhasil menaklukan wilayah
Timur, persis ketika Napoleon secara bersemangat mengeksplorasi sejarah-arkeologi
di Mesir setelah menemukan Piramid—keterkejutan bahwa ada peradaban besar yang
sudah lama—tidak membuat prinsip Orientalisme hilang.
Prinsip Orientalisme
Lalu apa yang
dimaksud prinsip-prinsip Orientalisme? Pengantar dari penerjemah bahasa
Indonesia buku ini, Achmad Fawaid, cukup menggambarkan kerangka ideologis dalam
Orientalisme. Menurut Fawaid, Representasi, adalah Kunci mengenal Orientalisme.
Said, lagi menurut Fawaid, secara
sederhana hanya membicarakan representasi Timur oleh Barat. Hal ini terbagi
menjadi beberapa prinsip, yaitu Pertama, mentimurkan Timur. Timur sebagai “Geografi
Imajinatif”. Prinsip ini menggambarkan timur dan Barat memiliki batas yang
tegas—padahal sudah tidak bisa dibuktikan bahwa Timur-Barat yang pemisahannya
cenderung kultural dan politis bisa bertahan hingga kini dengan temuan-temuan
dan perkembangan ilmu pengetahuan. Jadi tafsir Geografis Imajiner bukan
kebenaran mutlak, yang benar tanpa harus disuarakan atau ditunjukan bahkan
dibuktikan. Timur yang ditimurkan ini merupakan kisah panjang dari para
orientalis selama ratusan tahun untuk memproduksi maknawi yang sama secara
terus-menerus meskipun berasal dari sumber yang berbeda.
Meskipun Timur
sudah berkembang dinamis, sifat konservatif Orientalis tetap mereduksi Timur,
dengan gabungan serampangan atas hal-hal negatif yang lagi-lagi Timur
diposisikan sebagai Timur kembali oleh Barat secara imajinatif dan tekstual. Ketika
kondisi aktual Timur tidak sesuai dengan teks imajinatif orientalis, maka
kondisi aktual yang dikorbankan dan imajiner timur dalam Orientalis tetap
bertahan. Kedua, Pandangan Negatif terhadap Islam yang sifatnya konsisten. Para
Orientalis, dari yang paling vulgar hingga yang paling samar, tidak dapat
menghilangkan upayanya dalam memposisikan Islam dalam situasi yang problematis;
setiap kemajuan selalu dipandang rendah dan kemunduran dalam Islam sebagai
problem Internal yang cacat. Belum lagi bagaimana, orientalisme menyerang
Muhammad secara brutal dari segala sisi tanpa pertimbangan objektif. Said menambahkan:
“Seperti yang pernah saya katakan,
kepentingan Eropa terhadap Islam berasal bukan
dari keingintahuan mereka, tetapi dari ketakutan mereka terhadap agama pesaing
monoteistik bagi agama kristen ini, yang secara kultural dan militer lebih
berkuasa”[5]
Serangan ini
terkadang lebih luas, menyerang tidak hanya Muhammad, tetapi bangsa Arab. Orang
Arab misalnya, dianggap sebagai penunggang-penunggang unta, teroris, berhidung
bengkok, si hidung belang yang senang menerima suap, dan terkadang dalam
seksualitas. Hal yang terakhir ini mereduksi masyarakat Arab untuk digiring
pada seksualitas agar hanya memiliki sifat biologisnya, namun secara
istitusional, politis dan kultural, mereka nihil. Saya menjadi ingat mengenai
siaran Pers dari kedutaan Irak secara Resmi di Jakarta awal Maret 2015 lalu
terkait pemberitaan bahwa Irak berada dalam kondisi memprihatinkan, Dubes Irak mengkonfirmasi
dan mengatakan “jangan percaya media Barat”. Prinsip ketiga, adalah keyakinan
para Orientalis bahwa hanya Barat yang—dan memang Timur—harus ditampilkan oleh
Barat “mereka tidak bisa menampilkan diri mereka sendiri, mereka harus
ditampilkan.”[6]
Prinsip
tersebut secara terbuka sudah mengkonfirmasi kepentingan-kepentingan
Orientalisme yang saling berkelindan dengan Imperialisme, kolonialisme dan dominasi
peradaban Barat. Formula lanjutan dari prinsip yang ketiga ini menghasilkan
sebuah panggung teater bahwa timur layak ditampilkan Barat sebagaimana Barat
memahami Timur. Hingga pada titik-titik tertentu arahnya selalu sama; Timur
direndahkan secara Intelektual. Bila kesadaran ini berbenturan dengan
nilai-nilai Barat tentang kebebasan dan persamaan Hak, harus diakui bahwa para
tokoh liberal seperti John Stuart Mill, Arnold, Caryle, Newman, Macaulay,
Ruskin, George Elliot dan lainnya tidak bisa lepas dari prinsip Oreintalisme,
bahwa kebebasan mereka hanya untuk ras Eropa.
Situasi
kolonial memberikan angin segar bagi Orientalisme untuk berkembang lebih luas.
Arah politik dunia kolonial saat itu yang dimotori oleh Inggris dan Perancis.
Untuk Inggris, keberhasilannya menguasai India, serta beberapa pencapaiannya
untuk mengeksploitasi sejarah budaya bangsa tersebut hingga menemukan fakta
bahwa bahasa Sansekerta lebih tua daripada bahasa Ibrani.[7] Fakta tersebut digunakan
untuk memperkuat sikap anti-semit Barat untuk segera meninggalkan bahasa Injil.
Sedangkan Perancis ditandai dengan eksploitasi negara tersebut untuk menguasai
jalur terpenting di Timur setelah kekalahan oleh Inggris di India; akhirnya
Perancis berupaya menguasai Mesir.[8] Napoleon saat itu menerapkan
penguasaan Mesir yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Pertama, Napoleon
lebih tertarik dengan kemenangan bangsa Eropa di Timur ketimbang di Eropa
sendiri; kedua, sejak remaja Napoleon sudah tertarik pada kajian timur. Ketiga,
Napoleon mengenal Mesir secara taktis, strategis maupun historis. Ketiga hal
tersebut menyebabkan Napoleon benar-benar tekstual terhadap Timur. Bahkan dalam
buku ini, mengutip seorang penulis Biografi Napoleon, mengatakan:
“... untuk mencapai tujuan ini, enampuluh ulama yang mengajar di
Al-Azhar diundang ke kantornya (Napoleon) diberi Penghormatan militer penuh dan
kemudian dibujuk dengan cara memperlihatkan pada mereka kekaguman Napoleon
terhadap Islam dan Mohammad serta rasa hormat Napoleon yang tampak jelas
terhadap Al-Qur’an dan yang tampak sangat akrab baginya”.[9]
Kebijakan
Napoleon tidak serta merta dapat dipandang sebagai komunikasi budaya setara.
Sebab hal tersebut hanyalah bagian dari proyek “tekstual” untuk menguasai
Mesir. Agar Mesir terjamah oleh penelitian Eropa. Inilah yang kemudian menjadikan Mesir sebagai
wilayah imajiner (sesuai dengan skema teks yang dibangun Barat atas Mesir) dan
yang nyata dari semua itu adalah Terusan Suez. Sementara Mesir direduksi dalam
teks, semua pihak kagum dengan pencapaian Perancis mengeksplorasi Mesir sebab
membangunkan kemegahan dan setumpuk hasil Penelitian mengenai sejarah Mesir disisi
lain, nyatanya pembukaan terusan Suez berjalan dengan mulus.
Selain secara
imperial, orientalisme dibedah oleh Said, menjadi kepingan-kepingan teks yang
tidak hanya terdiri dari pemilahan antara Orientalisme Klasik dan Modern.
Tetapi lebih dalam lagi, Orientalisme telah masuk ke ranah-ranah keilmuan yang
paling dianggap objektif (saat itu). Yaitu dalam Antropologi dan Filologi. Sacy
dan Renan. Kedua tokoh ini merupakan kunci dari orientalisme dibidangnya. Sacy
generasi pertama orientalisme yang selalu menjadi rujukan dan Renan generasi
kedua. Pada halaman 194-195 disebutkan bagaimana Sacy secara gamblang
mengatakan bahwa, orientalisme patut memilih teks-teks timur sesuai kepentingan
Eropa dan mentransformasikan sebelum di apresiasi—disini kemudian prinsip
Orientalisme kembali muncul (teks Timur dipilah antara sesuai dan tidak dengan
kepentingan Eropa) lalu baru kemudian diapresiasi (?). Upaya awal Sacy kemudian
diteruskan oleh Renan melalui filologi. Meskipun filologi lahir pada 1777
ketika Friedrich August Wolf menciptakan sebuah studi, Renan-lah yang kemudian
mengangkat filologi menjadi bidang kajian Timur. Renan mampu membuktikan bahwa
bahasa Semit merupakan bahasa yang merosot dan kurang layak.[10] Hal ini menyebabkan
filologi menjadi sebuah labotarium “demonstrasi pedagogis” untuk menciptakan,
membatasi dan menghakimi materi telaahnya—timur.[11] Dalam bahasa yang disukai
Said, ia menganalogikan sebagai ayunan pendulum kesatu arah yang menyebabkan
ayunan balik yang sama ke arah berlawanan; Timur dibagi dua, setelah bahasa
Sanskerta diagung-agungkan untuk mempreteli bahasa Semit semata-mata demi satu
kongklusi; merendahkan Timur.
Secara
kronologis, perkembangan Orientalisme terwakili oleh banyak tokoh yang tidak
bisa semua saya sebutkan disini. Akan tetapi pada perkembangan lanjutan,
Orientalisme diteruskan oleh Gibbs dan Massignon. Apakah kedua tokoh ini
melanjutkan prinsip Orientalisme yang bersifat “meringkas” terhadap Timur? pada
perjalanannya, memang kedua tokoh ini bersikap kritis pada Orientalisme
sebelumnya; anti-positivistik, intuitif dan simpatik.[12] Perbedaaan metodologis
ada pada cara dimana mereka tidak mengabaikan hal-hal detail dari Timur, artinya
induktif. Hal-hal khusus melahirkan gagasan Umum yang sebelumnya deduktif. Secara samar, meskipun Gibbs sudah
menghilangkan dislokasi tentang Timur dalam Orientalisme, Gibbs berada dalam
tataran percaya bahwa Islam dirusak oleh para pemeluknya atau para pembaharu
yang oportunis, sebab Gibbs merasa jauh
didepan melampaui Islam yang tengah dipraktekan, dikaji dan berjalan dalam
realitas saat itu. Sedangkan Massignon, yang diakui membela Islam disatu sisi
dan membebaskan dirinya dalam “ortodoksi” disisi lain.[13] Meskipun keduanya tidak
pernah menafikan--secara samar tetap-- melemahkan Islam dihadapan Eropa. Sebab
mereka tidak mampu menolak hasrat Eropa Sentris untuk menundukan Islam
dihadapan Eropa[14]
Setelah Inggris dan Perancis; Amerika
Pasca Perang
Dunia I dan II, terhitung sejak 1960-an situasi politik berubah. Banyak
wilayah-wilayah kolonial yang merdeka dari Perancis maupun Inggris yang sudah
tidak dapat menguasai sepenuhnya wilayah jajahan di Timur; yang tersisa hanya
penguasaan tekstual dan Intelektual saja. Di Barat, kajian ketimuran mulai
Tumbuh di Amerika, seiring dengan peran, pengaruh dan kepentingan Amerika di
Timur; dibukalah banyak fakultas atau studi-studi ketimuran. Dari sekian tokoh
Orientalis Amerika, kita mengenai beberapa diantaranya Sania Hamady, Morroe
Berger, Raphael Patani dan lainnya.
Para
Orientalis Amerika tetap meneruskan prinsip Orientalisme dalam bentuk dogma;
pertama bahwa timur terbelakang dan Barat rasional. Kedua, Bahwa para
Orientalis tersebut lebih mengutamanakan manuskrip klasik Timur ketimbang bukti
langsung mengenai kehidupan timur dalam realitas. Ketiga, bahwa timur abadi,
seragam dan tidak mampu mendefinisikan dirinya sendiri.[15] Bila pada masa Renan,
anti-semit dipukul rata sebagai bagian dari Timur, para Orientalis Amerika
mereduksi menjadi sekedar Islam dan zionisme seketika hilang meskipun yang
dibahas adalah wilayah Israel. Secara kelembagaan, Amerika mencoba mendirikan
aparatus-aparatus riset mengenai Timur, seperti Institut Timur Tengah di
Washington tahun 1946, lalu beberapa asosiasi-asosiasi kajian Timur Tengah
bersama Ford Foundation, Departemen Pertahanan, Korporasi RAND, Institut Hudson
dan perusahaan multi-nasonal lainnya. Said memaparkan dengan jelas bagaimana
kemunculan Orientalis Amerika secara riwayat kehidupan akademis orang tersebut.
Memakai sumber-sumber Arab yang tidak valid, seleksi data yang serampangan dan
semua itu menjadi thesis-thesis yang absurd mengenai Islam. Sebuah penggalan
dari kajian teks kritis Said menggambarkan bagaiman seorang Orientalis Amerika
menulis dalam kalimat:
“sesekali waktu, Khalifah muncul, namun
selanjutnya memutuskan kontak dengan masyarakat Baghdad dan terus bermukin di
Merv, dengan mempercayakan pemerintahan atas Irak kepada salahseorang
kepercayaanny, Al Hasan bin Sahl, saudara dari al-Fadl, yang hampir dengan
seketika dihadapkan dengan pemberontakan Syi’ah, yang dipimpin oleh
Abu’l-Saraya, yang pada bulan Jumadil akhir 199/Januari 815 meminta bantuan
senjata dari Kuffah untuk membantu Ibnu Tabataba dari keluarga Hasan”[16]
Lalu Said
menambahkan“seandainya ada orang yang
sama sekali tidak memahami Islam membaca penggalan ini, dia tentu tidak akan
tahu apa itu syiah dan siapa itu keluarga Hasan. ... Pada akhirnya dia akan
begitu saja percaya bahwa pada Dinasti Abbasiy’ah, termasuk Harun Al-Rasyid,
ternyata orang yang tolol, hina dan pembunuh-pembunuh yang haus darah, yang
duduk bermalas-malasan di Merv. Bahkan dalam Cambridge History of Islam,
kekuasaan Islam bahkan tidak mencakup Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol).[17]
Sampai disini,
dapat dicermati bahwa Orientalisme tetap konsisten mempertahankan prinsip prinsipnya meskipun sebenarnya Timur sendiri sudah mengalami dinamika
sejak Orientalisme muncul pertama kali. Fokus Said mengenai Pengetahuan dan
kekuasaan, diakui olehnya dipengaruhi oleh Michel Foucault. Lalu kemudian
apakah Said memang benar-benar tidak pernah membahas wilayah Timur lain selain
Timur dekat/ Timur tengah? Dalam
beberapa penggalannya mengenai Orientalisme, Said menceritakan bagaimana pada
Kongres Orientalisme pertama tahun 1873, para Orientalisme sudah terikat secara
politis dalam wilayah kajiannya. Satu nama yang dikenal para sejarawan
Indonesia adalah Snouck Hurgronje. Setelah menjadi pengkaji Islam—kita semua mengetahui—ia akhirnya menjadi penasihat pemerintah belanda dalam menangani
tanah jajahan Islam Indonesia.[18] Lalu pada halaman
berikutnya, Said mengupas bagaimana Hurgronje meskipun menyadari terkadang
“Hukum Islam” harus menyerah pada tekanan sejarah—ia tetap memeprtahankan
abstraksi-abstraksi bahwa hukum Islam terikat pada kehendak otorite penguasa.[19]
[1]Agnostik
adalah sikap mempercayai Tuhan bila sudah membuktikan sendiri.
[2]xvi
[3]
18
[4]
2-3
[5]
535
[6]
457
[7]
208
[8]
113
[9]
123
[10]
216
[11]
219
[12]
399
[13]
422
[14]
441
[15]
468-469
[16]
472-473
[17]
Ibid,
[18]
322
[19]
395